Bagaimana jadinya apabila Iron Man dan Batman hadir dalam upacara tabuh rah di Bali? Akankah kedua sosok pahlawan super itu saling gasak di arena upacara yang biasanya diisi pertarungan dua ekor ayam itu? Lalu darah siapakah yang akan tumpah dan menjadi persembahan dalam upacara tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan itu barangkali akan mengemuka saat memandang dua lukisan karya I Wayan Bayu Mandira yang bertajuk ”Tabuh-Rah #1” dan ”Tabuh-Rah #2”. Pada lukisan pertama, kita melihat Batman tengah menunggang seekor burung besar. Sementara di lukisan kedua ada Iron Man yang juga sedang menaiki seekor burung ukuran raksasa.
Dua lukisan itu dipajang secara berhadap-hadapan sehingga kita yang melihat keduanya mendapatkan imaji seolah Batman di lukisan pertama dan Iron Man di lukisan kedua tengah bersiap untuk berduel. Namun, benarkah mereka akan berduel?
Barangkali tidak, tetapi bisa jadi juga iya. Yang jelas, dua lukisan Bayu Mandira yang tampaknya memang diciptakan berpasangan itu terlihat cukup mencolok dalam pameran seni rupa bertajuk Menjemput Kebahagiaan di Bentara Budaya Yogyakarta, 20-28 Februari 2018. Pameran ini menampilkan karya dari Sakapat Group, kelompok perupa yang anggotanya terdiri atas empat seniman muda asal Bali yang sama-sama kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Selain Bayu Mandira, anggota Sakapat Group adalah I Putu Adi Suanjaya, I Wayan Sudarsana, dan I Wayan Noviantara. Keempatnya sama-sama mempelajari seni lukis di ISI Yogyakarta sejak tahun 2012 dan beberapa telah lulus, tetapi terus menetap di Yogyakarta. Empat perupa ini masih berusia sangat muda, 23-26 tahun, dan mereka tampaknya bisa dipandang sebagai representasi generasi terbaru perupa Bali yang mewarnai dunia seni rupa Tanah Air.
Menurut Bayu Mandira, tema pameran Menjemput Kebahagiaan terinspirasi dari upacara mendak bagia—yang secara harfiah juga berarti ’menjemput kebahagiaan’—yang dikenal dalam masyarakat Bali. ”Mendak bagia merupakan upacara untuk mensyukuri apa yang telah kita dapat dalam kehidupan. Kami mengangkat tema ini karena kami ingin bersyukur bahwa kami masih bisa berkarya dan berkesenian,” tutur perupa berusia 24 tahun itu.
Dalam pameran ini, para anggota Sakapat Group tampaknya bersepakat untuk menghadirkan karya yang memiliki korelasi dengan kebudayaan Bali. Tentu saja elemen budaya Bali itu hadir secara berlainan karena ada perupa yang menampilkannya secara sangat nyata, tetapi ada pula yang berupaya ”menyembunyikannya” di balik elemen-elemen visual lain.
Dua lukisan Bayu Mandira ihwal tabuh rah merupakan contoh karya yang jelas-jelas mengambil elemen kebudayaan Bali sebagai inspirasi. Namun, Mandira mengolah elemen tersebut dengan cara unik karena ia menggabungkan kebudayaan Bali dan cerita ihwal pahlawan super yang digemarinya. Itulah kenapa kita mendapati Batman dan Iron Man hadir dalam upacara keagamaan tabuh rah.
Namun, yang mengejutkan dari karya Mandira bukanlah kehadiran Iron Man dan Batman, melainkan upaya sang perupa menghadirkan suasana tabuh rah dengan penuh keceriaan dan bahkan diselipi humor. Dalam ”Tabuh-Rah #1” dan ”Tabuh-Rah #2”, Mandira menghadirkan warna-warna cerah, seperti merah, pink, dan ungu muda yang mengesankan suasana ceria. Di sisi lain, dua sosok superhero dalam dua karya tersebut ditampilkan secara karikatural karena memiliki tubuh gemuk dan cebol.
Karena itu, dalam dua lukisan karya Mandira, kita tak melihat suasana pertarungan yang tegang dan suram karena memang tak ada sosok petarung yang siap melukai satu sama lain. Yang kita lihat justru sebuah humor, seperti yang tampak pada sosok Batman dengan kostum aneh dan rona merah di kedua pipinya (apakah itu bekas ciuman bibir ataukah hasil sapuan bedak?). Juga Iron Man yang mengenakan penutup kepala full face, tetapi memegang cangkir berisi minuman hangat (apakah Tony Stark hendak ngopi sambil memakai kostum lengkap?).
Eksplorasi medium
Dua lukisan I Wayan Sudarsana dalam pameran Menjemput Kebahagiaan juga masih menampilkan jejak kebudayaan Bali. Namun, jejak itu tampil secara sangat lamat-lamat dan nyaris tak terlihat. Dalam lukisan ”Industrial”, Sudarsana menghadirkan figur seekor sapi dengan sejumlah sekrup dan baut menempel di kepala dan badannya.
Sementara itu, dalam lukisan ”Parasitisme”, kita melihat makhluk-makhluk kecil yang menjadi parasit dan menempel pada seekor sapi. Pada dua lukisan itu, jejak kebudayaan Bali hadir dalam figur seekor sapi, hewan yang dihormati dalam agama Hindu. ”Dua lukisan itu bercerita tentang bagaimana manusia berhubungan dengan alam. Saya memilih figur sapi sebagai simbol bumi karena sapi dalam agama Hindu itu adalah simbol Ibu Pertiwi,” kata Sudarsana yang kini berusia 24 tahun.
Berbeda dengan dua rekannya, I Wayan Noviantara justru menghadirkan simbol kebudayaan Bali secara jelas. Dalam sekali pandang, tiga lukisan Noviantara dalam pameran ini akan langsung dikenali sebagai sebuah cerita tentang kebudayaan Bali. Pada karya-karya itu, perupa berusia 26 tahun tersebut tampak terinspirasi dari figur Cili, boneka yang dalam kebudayaan Bali merupakan simbol Dewi Sri atau dewi kesuburan.
”Saya, kan, berasal dari keluarga petani dan sehabis panen kami biasanya bikin figur orang-orangan yang namanya Dewi Sri. Di tempat saya, Cili dibuat dari anyaman daun kelapa,” ujar Noviantara.
Yang terutama menarik dari lukisan-lukisan Noviantara adalah upayanya untuk melakukan eksplorasi medium. Lukisan-lukisan Noviantara tampak berbeda dengan lukisan kebanyakan karena permukaan kanvasnya memiliki tekstur kasar yang sangat unik. Tekstur kasar itu bukanlah ilusi visual karena sapuan kuas, melainkan dibuat dengan mencampurkan bahan tertentu, seperti serbuk kayu atau pasir ke atas kanvas.
Sebelum membuat lukisan, Noviantara mengoleskan lem di seluruh permukaan kanvas, lalu menaburkan serbuk kayu atau pasir ke atasnya. Sesudah itu, ia membuat pola atau sketsa menggunakan paku, baru kemudian menambahkan warna ke atasnya.
Upaya mengeksplorasi medium juga dilakukan I Putu Adi Suanjaya yang menghadirkan dua karya video dan satu lukisan dalam pameran. Dalam karya video ”The Power of Energy” itu, Suanjaya menghadirkan obyek-obyek berbentuk bunga sebagai simbol energi yang ada dalam kehidupan. Sayangnya, dua karya video itu belum bisa ”berbicara” sekuat lukisan Suanjaya.
Lukisan Suanjaya dalam pameran ini menampilkan figur-figur boneka yang juga kerap muncul dalam beberapa lukisannya yang lain. Lukisan itu menarik karena Suanjaya—yang baru berusia 23 tahun—berhasil memberi nyawa pada boneka-boneka tersebut. Seandainya Suanjaya memilih membuat video art berbasis figur boneka yang sudah menjadi ciri khasnya, hasilnya mungkin akan lebih menarik. (Haris Firdaus)