Gaun putih Isyana Sarasvati rancangan Sebastian Gunawan itu tampak anggun dan cerah. Sangat kontras di antara kostum gelap pengaba Avip Priatna dan semua awak Jakarta Concert Orchestra. Sesegar itu pula ”Voice of Spring”, walsa kondang dari Johann Strauss, yang dinyanyikan Isyana. Karya yang ditulis Strauss tahun 1882 dan menjadi ”lagu wajib” waltz itu mendapat sentuhan personal dari Isyana yang memberi kesan ringan, mengalir indah, dan segar.
Isyana membawa kabar gembira musim semi itu dengan menari-nari kecil. Ia seperti mengajak penikmat menari. Waltz, atau walsa, memang mengajak orang berdansa, sesuai dengan tema pergelaran Invitation to the Dance. Semua karya bertema tari, termasuk ”Les Filles de Cadix” dari Leo Delibes yang juga dibawakan Isyana. Karya lain antara lain ”Invitation to the Dance” dari Carl Maria von Weber, sampai komposisi baru ”Panen Raya” karya Fero Aldiansya Stefanus yang diinspiriasi oleh sukacita panen di bumi Minangkabau.
Avip sengaja memilih tema dansa untuk memberi gambaran kepada khalayak bahwa musik klasik sangat variatif. Di dalamnya ada karya yang lahir dari tarian rakyat. Repertoar terkait dansa juga sangat beragam. Dari yang kelas ”berat”, seperti ”Totentanz” karya Franz Liszt sampai ”Voice of Spring”-nya Strauss. Untuk ”Totentanz” harus dicatat kontribusi kemampuan pianis muda Jonathan Kuo (15) yang berhasil menghidupkan tarian orang mati alias ”Totentanz”.
Untuk tarian menyambut indahnya musim semi, penampilan Isyana pantas diberi aplus. Isyana yang dikenal dengan lagu pop, seperti ”Keep Being You” dan ”Tetap dalam Jiwa”, itu dalam konser menunjukkan sisi lain kemampuannya. Ia mengeluarkan teknik vokal klasiknya yang kebetulan, dulu, juga diajarkan oleh Avip Priatna sendiri. Sentuhan pop sedikit terbawa dan justru menjadikan getaran musim semi terkesan bersuasana muda.
”Saya sebisa mungkin menginterpretasi karya sesuai yang ditulis Strauss, tetapi juga sesuai dengan Isyana yang berusia 25 tahun. Saya membawakan se- light mungkin, sesantai mungkin...,” kata Isyana.
Avip Priatna sengaja memilih Isyana karena, selain tahu persis kemampuan vokal penyanyi didikannya itu, ia juga ingin merengkuh kaum muda dalam pergelaran musik klasik. Ternyata, fans Isyana berdatangan. Mereka menjadi bagian dari penonton yang disuguhi sukacita tarian hingga akhir konser lewat ”Hungarian Dance No 5” dari Johannes Brahms.
”Teror” Krakatau
Di Bandung ada kenikmatan lain berupa atmosfer tegang, mengancam yang disuguhkan Bandung Philharmonic dengan pengaba Robert Nordling. Aroma ”teror” itu terasa dalam ”Krakatoa” karya Stacy Garrop. Karya berupa Konserto untuk Biola ini merupakan world premiere atau karya yang baru pertama kali ini diperdengarkan. Suasana meletusnya gunung Krakatau dibangun dalam tiga bagian, yaitu imminent, eruption, dan dormant. Tahap detik-detik menjelang letusan, saat meletus, dan masa ketika gunung itu tenang digarap menarik sebagai tema.
Pada bagian imminent, atmosfer senyap, tetapi mengancam dibangun lewat efek bunyi dari permainan biola yang dimainkan dengan teknik cal legno. Pada teknik ini, dawai biola dipukul dengan stick atau bagian kayu dari alat penggesek (bow). Hasilnya adalah efek suara yang lemah, membisik. Digunakan pula teknik circular bowing, yaitu mengerakkan alat penggesek dengan cara memutar. Lazimnya biola digesek secara naik-turun. Hasilnya adalah efek suara seperti terputus-putus, atau berselang-selang.
Suara ”aneh”, imajinatif alat gesek ini berhasil membangun suasana tegang, meneror rasa dalam ”Krakatoa”. Michael Hall yang bertindak sebagai solis viola menunjukkan ke-virtuoso-annya. Tingkat keterampilan teknik yang mumpuni Hall sangat vital dalam mengartikulasikan atmosfer tegang yang dirancang komposer Stacy Garrop.
Bandung Philharmonic cukup berani menampilkan karya baru yang boleh dikatakan agak kurang ”lazim” dibandingkan dengan karya lain dalam pergelaran ini. Malam itu disuguhkan pula antara lain ”Peer Gynt Suite No 1” karya Edvard Grieg. Pada bagian kedua karya ini, Robert Nordling berhasil mengantarkan ke telinga penikmat nuansa ratapan duka, miris, dan kelabu. Bagian terlirih pun masih dimainkan secara terukur, terjaga nuansa dukanya. Disuguhkan pula ”Night on Mountain Bald” atau ”Malam di Gunung Gundul” karya komponis Rusia, Modest Mussorgsky.
Bandung Philharmonic juga menampilkan komposisi bernuansa Sunda, ”Aki Manggul Awi” karya Tan Deseng. Karya ini oleh Fauzie Wiriadisastra dikemas dalam brass atau tiup logam. Karya ini aslinya dibuat untuk kecapi suling. Fauzie yang juga pemain kecapi dan alat tiup ini "menerjemahkan" dalam bahasa tiup logam secara mengena.
Tingkat kelembutan alat tiup logam dapat disiasati dengan teknik tiup oleh pemain yang rata-rata sudah cukup mumpuni. Jejak nuansa Sunda masih cukup terasa dalam garapan Fauzie. ”Itu bahasa-bahasa yang tidak dikenal dalam alat petik, kecapi,” kata Fauzie tentang tingkat kesulitan penggarapan aransemen.
”Masyarakat Bandung mulai bisa meng apresiasi dan merasa senang memiliki orkestra di kotanya,” kata Airin Efferin, Co Founder dan CEO Bandung Philharmonic.
Dua pergelaran simfoni itu jadi pembuka indah tahun 2018. ”Awal tahun kita mulai dengan yang lebih segar, banyak harapan,” kata Avip Priatna.