Target Komersialisasi
Titis menyasar hedonisme yang mengarah pada penyimpangan-penyimpangan tanggung jawab sosial. Penyimpangan itu menimbulkan dampak konflik. Konflik menimbulkan target. Tak ayal, muncul korban di dalam pencapaian target. Perempuan sampai sekarang menjadi target paling rentan.
Di belakang lukisan wajah menyeringai, terdapat papan hitam. Nama-nama perempuan korban kekerasan seperti Marsinah dan Sum Kuning tertulis dengan kapur putih di papan hitam itu.
Bidang papan hitam tersebut cukup luas. Di situ pula tertulis nama-nama perempuan lain, seperti Naomi, Larasati, Iis, Rosa Yuni, Reny, Yuyun, Hediana, Juminten, Aida, Yani, Kanna, Vonny, Leli, Wiendari, Ulfa, Wulan, Revoluta, dan puluhan nama perempuan lainnya.
Perempuan-perempuan itulah, seperti dikatakan Yenti, di era sekarang masih saja paling rentan menjadi korban, baik korban kekerasan, korban industrialisasi, maupun korban komersialisasi.
”Berdasarkan suatu data survei, satu dari tiga perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Bahkan, ada data yang menyebutkan setiap tiga jam sekali di Indonesia terjadi kekerasan seksual,” kata Yenti.
Perempuan sebagai korban industrialisasi atau komersialisasi dapat dilihat dari berbagai aspek. Karena dampak budaya patriarki, kesempatan kerja lebih besar bagi laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Di tingkat komersialisasi, perempuan lebih banyak menjadi target konsumtivisme.
Karya seni instalasi Titis itu diberi judul ”Target”. Karya ini ditempatkan persis di belakang pintu masuk ruang pamer. Ini mencolok sekali.
Karya itu ternyata membuka adegan-adegan lain yang tak kalah seru ketika perempuan-perempuan diminta untuk memandang dunia.
Melihat ke dalam
Perupa KaNa menampilkan karya lukisan berjudul ”Ibu Mulutnya Banyak”. Seraut wajah perempuan dilukis di bidang berlatar warna kuning. Gambar beberapa mulut bertebaran di wajah itu.
Inilah refleksi KaNa ketika sebagai perempuan diminta memandang dunia. Ia justru melihat ke dalam diri sendiri sebagai seorang ibu, sebagai seorang perempuan yang bermulut banyak.
”Di tengah keluarga, tak jarang seorang ibu menjadi bawel bagi anak-anaknya. Ini karya introspektif, karya seorang perempuan perupa yang justru melihat ke dalam diri sendiri,” ujar Yenti.
Ary Trisna Oktavierasasi atau Ary Okta dalam lukisannya berjudul ”Berkata-kata” juga merefleksikan hal serupa. Di bidang kanvasnya, Ary melukiskan betapa banyak mulut menganga dengan aneka rupa persoalan dan bahan pembicaraan di mulutnya.
Ketika sebagai perempuan diminta untuk memandang dunia, Ary melukiskan banyak mulut yang banyak pula berkata-kata. Ary juga menampilkan karya seni instalasi. Di situ ia menempatkan banyak ayam betina sedang mengeram di sarangnya.
Ary memberi judul seni instalasinya itu ”Berkata Apa”. Kemudian ia menuliskan, ”Ketika kebebasan berkata-kata, tidak lagi dikurung tidak lagi dikungkung. Maka, berkata-katalah yang baik, yang membuat hidup kita menjadi lebih baik”.
Ary berusaha melihat ke dalam diri sendiri ketika perempuan diminta memandang dunia.
Lukisan karya Reny Alwi berjudul ”Tugas Penting” terasa lebih satire, lebih berkelakar. Reny melukiskan seorang laki-laki sedang menggendong anak kecil. Tangan kanannya membawa sebuah piring. Laki-laki itu sedang menyuapi seorang anak kecil yang dilukisnya melonjak-lonjak.
Ini pertanda laki-laki itu sedang dibuat kewalahan dalam menyuapi anak kecil tadi. Celana panjang di kaki kanan laki-laki itu juga tampak tergulung hingga betis.
Neneng Sia Ferrier menampilkan lukisan berjudul ”Family Jewels” dan ”Wishing Peace to The World”. Lukisan-lukisan ini bernuansa romantisisme.
Moendy Astuty menampilkan lukisan berjudul ”Sarang Madu”. Di lukisan itu ada tubuh bugil seorang perempuan yang dikerumuni lebah. Kental sekali nuansa eksploitatif tubuh seorang perempuan bagai sebuah sarang madu.
Anne K Adijuwono menampilkan lukisan abstrak yang diberi judul ”Current I Love” dan ”Let The Sea Hypnotize Me”. Lukisan abstrak Anne bercorak lingkungan yang diwakili indahnya pemandangan laut.
Para perempuan perupa lainnya yang turut menampilkan karya di dalam pameran ini meliputi Aida Prayogo, Elisha Mursalim, Hediana Utarti, Lydia Poetrie, Maria Tiwi, Naomi, Revoluta, Ulil Gama, dan Wa Ode Yurijo.
Tiga Akhiri
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise di dalam sambutan pameran ini menuliskan prioritasnya. Yohana menyebutkan prioritas tersebut sebagai Three Ends atau Tiga Akhiri.
”Pertama, akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kedua, akhiri perdagangan orang, khususnya anak dan perempuan. Ketiga, akhiri ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi,” kata Yohana.
Selain Yenti, bertindak sebagai kurator pameran lainnya Puguh Tjahjono, Misiyah, dan Gayatri W Muthari. Puguh mengatakan, lukisan tidak ubahnya sebuah proses studi.
Karya-karya lukisan merupakan refleksi atas peristiwa yang terjadi di sekeliling pelukisnya. Karya itu bisa bersifat kritik dan elaboratif terhadap konsep dan praktik konstruksi sosial.
”Pameran yang mendaulatkan 16 perempuan perupa menyampaikan bahasa kreatifnya ini sungguh merupakan langkah yang sangat genial,” kata Puguh.
Kurator Misiyah menitikberatkan pada persoalan perempuan dalam menggerakkan semangat hidup dan kehidupan. Ia mengawalinya dengan kemampuan perempuan dalam mengolah luka menjadi daya.
”Perempuan tidak selalu menjadi korban yang pasif jika dibekali dengan kesadaran kritis dan dibangkitkan kesadaran kolektifnya,” kata Misiyah.
Gayatri W Muthari memberikan catatan tentang perempuan, seni, dan sejarah dunia. Ia mengutip Virgiana Woolf. ”Pada banyak sejarah, tanpa nama ialah seorang perempuan.”
Pameran Artpression 16 Perempuan Memandang Dunia menjadi bagian usaha menorehkan sejarah baru tentang perempuan, seni, dan sejarah dunia.