Menjadi salah satu band terbesar di dunia, menyajikan musik yang disukai penggemarnya, serta menjadi panutan dalam pilihan sikap hidup, apa lagi yang perlu dilakukan oleh U2? Ternyata mereka memilih tetap melakukan apa yang mereka cintai, yaitu bermain musik dengan hati.
U2 memang terlahir untuk membuat perubahan. Sejak muncul pada tahun 1980-an, band rock asal Dublin, Irlandia, ini seolah membuat dunia menjadi lebih indah. Bono (vokal), The Edge (gitar), Adam Clayton (bas), dan Larry Mullen Jr (drum) pun langsung memasang standar tinggi untuk musik mereka.
Sejak merilis album pertama mereka, Boy (1980), U2 tumbuh berkembang dari bocah polos di dunia musik menjadi remaja berbahaya dan kemudian dewasa bijaksana. Mereka telah membuat 13 album studio dan hampir semuanya tidak mengecewakan penggemarnya.
Tidak hanya bermusik, mereka juga peka terhadap apa yang terjadi di dunia. Mereka kemudian menjadi pejuang untuk berbagai kondisi ketidakadilan di politik dan kemanusiaan. U2 terus berkampanye dan menjadi duta untuk segala kebaikan.
Jika urusan duniawi sudah kelar, bagaimana dengan urusan paling pribadi, yaitu rasa? Membuat sebuah album yang sangat personal adalah pilihannya. U2 melakukannya dengan merilis album baru mereka, Songs of Experience, pada awal Desember 2017. Album yang disebut sebagai lanjutan album sebelumnya, Songs of Innocence (2014), ini paling tidak menjadi cara bagi para personel U2 mengekspresikan apa yang mereka alami dan rasakan selama empat dekade bermusik.
Album Songs of Experience mendapatkan reaksi beragam. Sebagian dari penikmat musik U2 menganggap album ini enggak asyik. Materi lagunya terlihat aneh (atau mungkin saja berbeda) untuk model musik U2. Meski begitu, para penggemar U2 mungkin lupa bahwa dalam beberapa album terakhir, U2 sudah mulai berhenti memanjakan pendengar dengan musik yang populer. U2 sudah menentukan arah musik mereka dan mengajak penggemar untuk memahami mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh band rock Pearl Jam, yang membuat album-album yang jauh dari sekadar mencari posisi puncak tangga lagu. Dan buktinya, Pearl Jam tidak ditinggalkan penggemarnya.
Musik personal
Dalam wawancara dengan penyiar radio kondang, Howard Stern, dan dikutip oleh situs resmi band www.U2.com, Bono mengatakan bahwa album Songs of Experience menyajikan musik paling personal yang pernah dikreasikan oleh personel band. Lagu-lagu dalam album tersebut menjabarkan perasaan mereka kepada orang-orang tersayang. ”Album ini seperti sebuah surat… saya hanya ingin jujur (tentang perasaan tersebut),” kata Bono.
U2 membuka album Songs of Experience dengan menyajikan lagu ”Love is All We Have Left”. Dalam kefanaan, U2 berpendapat, hanya cintalah yang akan membuat mereka terikat dengan yang mereka sayangi. Dalam lagu ”You’re the Thing about Me” pun sama, U2 menemukan cinta dalam hidupnya. Lagu ”Love is All We Have Left” tampil dalam tempo pelan, sedangkan ”You’re the Best Thing about Me” lebih energik. Kedua-duanya enak didengar.
Banyak pendengar merasa tidak terlalu menyukai album Songs of Experience karena U2 tampak memainkan tempo lagu-lagu dalam album tersebut. Selama ini, pencinta musik U2 telanjur akrab dengan permainan band yang simpel dan beat-beat yang nyaman di telinga. Ketika tersaji musik yang lebih personal, kuping pendengar harus di-setting ulang. Kita tidak perlu terburu-buru mendengarkan album ini. Nikmati saja satu per satu lagunya. Lambat laun, pesan yang disampaikan U2 dalam album ini akan terasa.
Ada 13 lagu dalam album Songs of Experience. Lagu terakhir, ”13 (There is a Light)”, menutup kisah dari album U2 sebelumnya, Songs of Innocence. Lagu ini menyajikan versi lain dari lagu ”Song for Someone”. Satu bait lagunya, ”…this is the song/song for someone…” menjadi jembatan kedua album tersebut. Lagu-lagu U2 memang diciptakan untuk the innocent (yang polos) atau the experienced (yang berpengalaman). Melalui album Songs of Experience, U2 memberikan apa yang mereka miliki, yaitu cinta. (WWW.U2.COM/YUNIADHI AGUNG)