Perempuan-perempuan Purjito
Sejak 2007 hingga sekarang, Purjito telah menggelar enam pameran tunggal di sejumlah kota di Indonesia. Dari pameran-pameran itu, terlihat jelas bahwa karya-karya Purjito sangat majemuk, baik dari sisi gaya, tema, teknik penggarapan, maupun pilihan material. Belakangan, kita juga tahu bahwa seniman asal Yogyakarta itu ternyata tidak hanya membuat patung dan relief, tetapi juga melukis.
Kecenderungan karya Purjito yang beragam itu pula yang tampak dalam pameran tunggalnya paling mutakhir yang bertajuk ”Rahim Bumi Ibu Pertiwi”. Pameran yang digelar di Hotel Hyatt Regency, Yogyakarta, itu berlangsung pada 8 Desember 2017 hingga 8 Januari 2018 dan menampilkan sekitar 130 karya yang berupa patung, relief, dan lukisan.
Pameran tersebut juga bisa menjadi sarana retrospeksi untuk melihat karya dan pencapaian Purjito sejak mulai menekuni seni patung tahun 1985. Sebab, dalam pameran ini, kita bisa menemukan karya-karya Purjito dari periode awal hingga karya yang dibuatnya beberapa tahun belakangan.
Namun, saat menjelajahi karya-karya Purjito di Hyatt Regency Hotel, baik yang ada di halaman, teras, taman, maupun kolam ikan, kita barangkali akan menemukan bahwa sosok perempuan tampak begitu dominan. Apalagi, figur-figur perempuan ternyata tidak hanya tampil secara gamblang dalam patung-patung Purjito, tetapi juga berdiam dalam lukisan-lukisan dan relief buatannya.
”Saya memang ingin menampilkan banyak perempuan karena di Indonesia kita terlalu banyak menokohkan laki-laki,” ujar Purjito yang belajar seni patung di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Salah satu sosok perempuan yang barangkali akan langsung menarik perhatian kita dalam pameran ini adalah patung ”Ibu Bumi” buatan 2015 yang berukuran sangat besar. Patung berbahan fiberglass atau kaca serat yang memiliki panjang 4,5 meter itu menampilkan sosok perempuan yang tengah berbaring menyamping. Kepala patung itu disangga oleh salah satu tangannya yang menekuk membentuk sudut 45 derajat, sementara posisi kedua kakinya juga setengah tertekuk.
Melihat patung ”Ibu Bumi”, kita seperti bertemu sosok perempuan yang terasa begitu kuat, besar, dan dominan, tetapi sekaligus menenteramkan. Oleh karena itu, patung tersebut barangkali menjadi metafora yang pas mengenai bumi atau alam yang selama ini menghidupi dan mengayomi, tetapi juga bisa merusak kehidupan manusia bila kita durhaka padanya.
Di dekat ”Ibu Bumi”, kita bertemu ”Srikandi” (2015) yang tak kalah mengintimidasi. Patung ini berupa kepala perempuan dengan wajah menyamping yang tingginya hampir 2 meter. Sama seperti tokoh Srikandi yang kita kenal dari kisah Mahabharata, patung ini juga memancarkan kekuatan dan keberanian yang begitu tajam.
Sembah
Karya Purjito lain yang menampilkan figur perempuan secara menarik adalah patung-patungnya yang termaktub dalam seri ”Sembah” (2014). Secara garis besar, karya ini terdiri dari tiga jenis patung yang dibedakan berdasarkan posisi tubuhnya. Patung pertama berupa sosok perempuan yang setengah berlutut, dengan lutut kaki kiri ditekuk dan bertumpu ke tanah, kaki kanan ditekuk membentuk posisi kuda-kuda, dan kedua tangan terentang ke depan dengan posisi telapak tangan menengadah ke atas.
Patung kedua menampilkan sosok perempuan yang berdiri dengan kepala tertunduk dan posisi tangan ditangkupkan di depan dada. Ada pun patung ketiga berupa figur perempuan yang sedang berdiri dan hampir semua tubuhnya ditutupi kain kecuali bagian wajah. Namun, berbeda dengan patung pertama dan kedua, wajah patung ketiga ini tampak kabur dan tak jelas.
Melihat gestur patung-patung ”Sembah” yang diwarnai gerak menyembah dan menundukkan diri, sebagian orang mungkin akan beranggapan bahwa karya tersebut menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan inferior. Namun, bila kita melihat gestur patung-patung tersebut secara lebih jeli dan mendalam, sesungguhnya tak ada kesan lemah—apalagi inferior—dalam karya itu.
Lagipula, bisa jadi patung-patung ”Sembah” sebenarnya tidak bisa diringkus ke dalam satu kategori jenis kelamin atau bahkan jender. Sebab, patung-patung tersebut—meski secara fisik memiliki kemiripan dengan sosok perempuan—sangat boleh jadi mewakili manusia atau bahkan makhluk hidup secara universal, tak peduli apa jenis kelamin atau kategori biologinya.
Bagi Purjito, menghadirkan sosok perempuan mungkin juga merupakan jalan masuk untuk membicarakan sesuatu yang bersifat kontemplatif dan spiritual. Dan, itulah yang kita lihat dalam sejumlah karya patung yang sudah disebut sebelumnya, juga beberapa patung lain, misalnya ”Menggapai Mimpi” (2012), ”Merajut Hari Esok” (2011), dan ”Penjaga Pintu Sorga” (2011).
Kecenderungan semacam itu juga ditemui dalam sejumlah lukisan Purjito yang ia buat pada dekade 1990-an. Dalam beberapa lukisan bergaya dekoratif, misalnya ”Dewi Rembulan” (1996), ”Dewi Malam” (1997), ”Dewi Dewi” (1991), dan ”Rumangsa” (1993), muncul sosok-sosok perempuan berkarakter wajah sangat unik dengan nuansa kontemplatif. Dalam lukisan-lukisan itu, figur perempuan selalu melambangkan sesuatu yang lain, bukan tiruan dari sosok wanita di dunia sehari-hari. (Haris Firdaus)