logo Kompas.id
HiburanFFI Mau ke Mana?
Iklan

FFI Mau ke Mana?

Oleh
Nurman Hakim
· 5 menit baca

Festival Film Indonesia (FFI-2017) sedang menjadi sorotan perihal teknis (peraturan untuk film bisa diikutkan). Namun, saya tidak ingin berbicara soal itu, saya lebih ingin bahas agenda besar FFI, mau ke mana FFI? Apakah ia turut ambil bagian dari strategi kebudayaan? Apakah sistem seleksi dan penjurian FFI sudah tepat?Setiap festival film bagus di dunia memiliki tiga agenda besar: business, geopolitic, dan aesthetics (Turan, 2002). Ketiganya memiliki porsi berbeda pada tiap negara. Bagi Academy Awards (Oscar), aspek bisnis dan geopolitik lebih dominan, bagi Cannes aspek estetika dan geopolitik lebih menonjol. Bagi FFI? FFI mengadopsi sebagian besar sistem seleksi dan penjurian model Oscar, apakah FFI memiliki agenda sama dengan Oscar? Rasanya tidak.David Bordwell, dalam buku Introduction of Film Art menerangkan, film sebagai formal system (film sebagai bentuk utuh) tercipta dari bersinerginya form (bentuk dan isi: "skenario") dan style (gaya). Gaya meliputi; mise-en-scene (akting pemain, tata artistik, kostum, make up, pencahayaan), tata kamera, penyuntingan, dan tata suara. Antara bentuk plus isi dan gaya terintegrasi menjadi satu kesatuan, koheren. Saya ilustrasikan dengan nasi goreng, untuk memudahkan teori Bordwell itu. Jika mau diandaikan, nasi adalah bentuk plus isi dan bumbu-bumbunya (cabai, bawang, garam, kecap, dan sebagainya) adalah gaya. Ketika bumbu-bumbu itu oleh juru masak (sutradara) disatukan dengan nasi dalam wajan panas, jadilah nasi goreng (formal system). Bagaimana bisa kita memulai menilai seporsi nasi goreng hanya dengan mencicipi cabai, kecap, atau bawangnya secara terpisah? Kita harus memakan nasi goreng itu, dua-tiga suap atau lebih, untuk bisa mengetahui nikmat atau tidaknya.Begitu pun menilai sebuah film, harus dimulai dengan "melahapnya" secara utuh, melihatnya sebagai suatu kesatuan teks. Setelah itu barulah kita cari unsur-unsur yang membuat film itu kuat dan sarat makna. Unsur-unsur itu ketika melekat, ia menjadi entitas "lain". Sutradara yang menyatukan itu semua secara kreatif dan artistikBaru-baru ini FFI menggunakan cara berbeda, pada tahap seleksi film fiksi panjang, ia menilai bumbu-bumbu terlebih dahulu untuk menentukan nasi goreng yang baik. Seleksi dilakukan oleh 16 asosiasi, termasuk komunitas film. Asosiasi penata kamera memilih tata kamera terbaik, penata artistik memilih artistik terbaik, dan seterusnya. Dalam buku pedomannya, FFI menggunakan tiga kriteria guna mendapatkan film yang baik; kejernihan gagasan dan tema, kualitas teknis dan estetika, juga profesionalisme. Dua poin pertama sudah jadi kaidah umum menilai sebuah film, tetapi dengan sistem seleksi FFI 2017, hasil itu sulit tercapai. Poin terakhir, profesionalisme, bermasalah. Sulit mengukur profesionalisme pada sebuah karya seni.Lihatlah daftar nominasi film dari komite seleksi tahun ini dan kemarin, "kualitas" di antara film tampak jomplang. Ada yang kuat makna dan ada yang sekadar hiburan. Lalu, tolok ukur mana yang sebaiknya kita terapkan dalam FFI? Instrumen strategisFFI berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ia dibiayai APBN. UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan, di sana termaktub tentang strategi kebudayaan. Pada simposium "strategi kebudayaan menuju Indonesia hebat" diadakan di UGM pada 15 Juni 2017, Hilmar Farid selaku dirjen kebudayaan membuat pernyataan bagus "yang terpenting dalam UU kebudayaan adalah cara untuk memobilisasi pikiran menjadi kekuatan dan strategi yang konkret". FFI adalah bagian dari strategi yang konkret itu, tetapi tampak melenceng dalam menjalankan strategi itu.Film (baca: FFI) sebagai salah satu instrumen strategi kebudayaan baiknya bicara soal harkat martabat manusia, makna hidup, juga norma-norma yang menumbuhkembangkan kehidupan kita bermasyarakat, sekaligus "mengoreksi" realitas kehidupan yang tak diinginkannya. Tepatlah yang dikatakan Nietzsche, seniman "menolak" kenyataaan, ia tak bisa lepas dan lari dari kenyataan, untuk itu ia mencipta kenyataan baru. Karya cipta itu akan kembali kepada masyarakatnya untuk sebuah peradaban yang lebih baik. Jadi sebaiknya, kontestasi pada film (FFI) adalah kompetisi gagasan, isi, dan arti dalam film, bukan kecanggihan dan pameran teknis belaka. Kecanggihan teknis dengan sendirinya inheren di dalam gagasan itu. Kompetisi gagasan akan menempatkan film sebagai karya seni, kompetisi teknis akan menempatkan film sebagai pameran teknologi yang tak mengandung arti.Sistem seleksi dan penjurian FFI, sebagian besar mengadopsi Oscar di Amerika. Ada dua alasan (latar belakang) mengapa Oscar menggunakan sistem itu, sementara alasan kita (FFI) apa? Pertama, Oscar pada kelahirannya dengan sistem seleksi dan penjurian seperti itu sebab ia ingin mengukuhkan kapitalisme industri film meskipun pada perjalanannya, soal estetika mengikutinya, tetapi yang utama adalah kepentingan modal (agenda bisnis). Strategi kebudayaan Amerika terbentuk oleh industri dan kapitalisme.Kedua, proses seleksi dan penjurian film di Oscar dengan menggunakan tabulasi yang kompleks diaudit akuntan PricewaterhouseCoopers. Ada sistem threshold (ambang batas) layaknya pemilihan umum. Dengan menggunakan ballot (surat suara) yang mengadopsi sistem demokrasi Amerika. Surat suara dikirimkan ke 6.687 academy members. Sistem ini tak luput dari masalah. Oscar 2016 dianggap mengandung rasisme, terlalu memihak kepada kulit putih. Film Selma yang menakjubkan itu hanya dapat dua nominasi Oscar. Protes pun disuarakan. Film Selma bercerita tentang diskriminasi kulit hitam. Sementara 92 persen academy members berkulit putih. Perlu dicatat, jumlah sebanyak 6.687 academy members dengan komposisi tertentu (latar belakang pekerja film aktif ataupun tidak) maka secara hitungan statistik, probabilitas mendapatkan film-film nominasi dan pemenang, mendekati "ke-akuratan".Ada sistem seleksi dan penjurian lain yang mungkin lebih pas kita terapkan untuk FFI. Misalnya, Asia Pacific Screen Awards (APSA) yang diadakan di Australia. Film didaftarkan kepada APSA oleh asosiasi-asosiasi produser film di Asia Pasifik dan nonasosiasi yang berprestasi, tetapi pada proses seleksi nominasi melibatkan 4-5 orang, terdiri atas orang-orang yang punya kapasitas dan fasih menilai film dan kemudian menyerahkannya kepada dewan juri yang terdiri atas 6-7 orang saja. Ini untuk menjaga tujuan, gagasan, dan agenda dari festival itu sendiriNah, bagaimana kita bisa menjaga gagasan, tujuan, dan agenda besar FFI jika seleksi dilakukan dengan sistem saat ini? Juga pada tahap penjurian, apalah arti suara juri mandiri (bukan dari asosiasi) yang jumlahnya hanya 17 dari 75 orang itu meskipun juri mandiri tahun ini sebagian besar berisi nama-nama yang punya kapasitas dalam menilai film. Sebab, tak ada argumentasi, tak ada debat, tak ada wacana, yang ada hanya suka atau tidak suka dengan voting suara.Sebuah festival film semestinya bergerak ke arah yang jelas, ia bisa digunakan untuk membentuk dan mengonstruksi identitas bangsa.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000