logo Kompas.id
Hiburan Menarasikan HB Jassin di Abad...
Iklan

Menarasikan HB Jassin di Abad Ke-21

Oleh
Rony K Pratama
· 4 menit baca

GENAP seabad Hans Bague (HB) Jassin mangkat melanjutkan rentang nyawa berikutnya. Ia wafat meninggalkan karya berlimpah yang sesekali dikenang melalui pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Meskipun generasi muda yang lahir pada 1980-an ke atas acap kali sayup-sayup mendengar dan menghafal namanya, kiprahnya dalam jagat kesusastraan Indonesia tak berkurang.Sejarah mencatat, putra kelahiran Gorontalo, Sulawesi Utara, 31 Juli 1917, itu diberi predikat "Paus Sastra" karena ketelatenannya mengumpulkan pelbagai karya sastra anak bangsa yang masih berusia jagung. Jassin pernah mengakui di depan publik bahwa proses kreatifnya dipengaruhi oleh kedua orangtuanya sejak dini. Bague Mantu Jassin, ayah HB Jassin, memiliki watak yang keras dan disiplin sehingga lingkup pergaulannya dibatasi hanya seputar selasar rumah.Tindakan itu membuatnya tumbuh sebagai anak yang introver, tak berani mengemukakan pendapat secara bebas, dan digelayuti perasaan serba salah. Karena itu, berdampak pada perkembangan psikologi Jassin beberapa tahun kemudian: kerap meletup-letup tanda menyeruak daya kreativitasnya dalam menulis.Pola didikan Mantu membuatnya layu tatkala berkesempatan mengemukakan pendapatnya di depan umum. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kelihaiannya dalam keterampilan menulis. Ia tumbuh sebagai anak gagap verbal, tetapi tangkas di atas pena. Realitas demikian niscaya dipengaruhi gaya pendidikan informal dalam keluarga, terutama berkat tangan dingin ayah Jassin.Sementara itu, Habiba Jau, ibu Jassin, memiliki perlakuan hangat kepadanya. Ini berbeda 90 derajat sebagaimana pola asuhan ayah Jassin. Bila ayahnya kerap naik pitam, ibu Jassin justru meredam kemarahan itu melalui pendekatan kultural-personal.Kelembutan sang ibu membuat Jassin betah di rumah. Ia hampir absen melempar kemurkaan kepada Jassin karena ibunya menyadari betapa kenakalan anak-anak merupakan hal wajar dan seyogianya disikapi dengan tenggang rasa. Oleh sebab itu, HB Jassin pada periode anak hingga remaja berada di dua dunia yang saling berkontradiksi, tetapi kondisi itu menempanya menjadi manusia yang tahan banting.Berdaulat penuhPembeda Jassin dan generasi lain yang lahir sebelum revolusi fisik tahun 1945 adalah ketegasan sikap dalam menghadapi dua persoalan yang ambivalen. Ia tak memosisikan diri pada ping pong benar atau salah dalam konteks polemik di antara para sastrawan dan budayawan. Jassin acap berpikiran dingin dan mengambil jarak terhadap masalah.Posisi ini tak mudah karena membutuhkan kedalaman berpikir dan obyektivitas dalam bersikap. Apalagi, di usianya yang relatif muda, tuntutan keadaan sering kali menjeratnya pada sikap emosional tanpa dasar. Namun, ia memilih berada di tengah demi menjaga independensi.Tiga tahun sebelum HB Jassin tamat di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, ia memberikan pidato simposium dalam rangka dies natalis di fakultas yang sama pada 5 Desember 1954.Kendati pun usianya sangat muda dan tergolong masih berstatus mahasiswa, Jassin mendapatkan kepercayaan besar sebagai individu yang mampu mengurai benang-benang kusut perihal perdebatan mengenai kesusastraan Indonesia. Dalam pidato berjudul "Kesusastraan Indonesia Modern Tak Ada Krisis" Jassin menengahi polemik antara Soedjatmoko dan Boejoeng Saleh (BS).Sebelum menyampaikan pidato, HB Jassin sempat menolak permintaan panitia karena pelbagai prasyarat sebagai pembicara di depan umum tak dimilikinya. Respons demikian sebetulnya bentuk kerendahan hati karena menurut pengakuannya ia tak memiliki "kecekatan bicara, kecakapan berpikir, kecepatan merumuskan, daya reproduksi, daya reaktif terhadap ucapan dan pendapat yang berlainan dari pendapat sendiri" (Jassin, 1967).Di depan para mahasiswa sastra, Jassin memulai argumentasinya secara eksplisit dan tak mengulang pernyataan masing-masing perspektif yang berpolemik. Pengulangan itu, menurut Jassin, hanya akan memperkeruh keadaan dan menumpulkan rumusan baru yang menjembatani dua dikotomi.Karena itu, ia mendedah terlebih dahulu duduk perkara yang semula didiskusikan khalayak dalam forum interaktif dan tertulis. Jassin menyikapi problem itu seperti cara pandang yang berlainan; satu melihat dari timur dan lainnya memandang dari barat, utara, dan selatan. Obyeknya tak berubah, sedangkan sudut pandang sudah barang tentu berbeda.Kedewasaan Jassin dalam memandang perseturuan di antara pengarang membuatnya diakui sebagai pemerhati sastra yang netral. Ia seperti apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, yakni "adil sejak dalam pikiran" karena keluwesannya dalam mencermati masalah.Jassin tak acuh terhadap topik perbincangan, apalagi bergegas mengambil kesimpulan tanpa dasar. Ia melihat kausalitas masalah secara sistemis sehingga memahami alasan di balik seseorang berpendapat, terlebih premis-premis yang diajukan itu berkelindan dengan konstruksi berpikir subyek yang niscaya heterogen.Walaupun Jassin memaklumi pendapat orang lain, baik dangkal maupun kritis, ia tak lantas bungkam dan menyikapinya secara remeh, tetapi malah mengkritisi dua kubu yang berseberangan itu secara arif dan obyektif. Sikap ini perlu ditenun generasi sekarang di tengah pergulatan sektoral yang tak kunjung reda karena sentimen egosentrisme.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000