Gugatan dari Film Korea

Battleship Island
Perang selalu menjadi tragedi kemanusiaan mengerikan. Keberadaan hakikat manusia dan kemanusiaannya diuji dalam peperangan. Pada kondisi perang, seseorang akan selalu dipaksa hidup dalam situasi yang serba hitam putih. Teman atau lawan, pahlawan atau pengkhianat, dibunuh atau membunuh.

Battleship Island
Dalam peperangan, kekejaman dan kekejian juga bisa berhadap-hadapan dengan rasa kemanusiaan dan kebajikan pada satu waktu yang bersamaan. Rasa cinta, memaafkan, serta belas kasihan bisa berbenturan dan bercampur aduk tak keruan dengan kebencian, angkara murka, serta keinginan membalas dendam atas kematian orang yang dicintai.

Battleship Island
Semua bentuk kualitas mental, drama, dan tragedi kehidupan manusia pada masa perang itu tergambar dan terekam lewat film The Battleship Island. Film berlatar belakang masa-masa menjelang kekalahan militer Kekaisaran Jepang di Perang Dunia II itu digarap kolosal oleh sutradara visioner Korea Selatan, Ryoo Seung-wan.
Adegan diawali gambaran mengerikan kondisi di area tambang batubara Pulau Hashima. Ratusan pria, dewasa, remaja, serta orang tua dipaksa bekerja menggali dan menambang batubara di kedalaman hingga 1 kilometer di bawah permukaan laut, di sebuah pulau, Hashima, yang terletak sekitar 18 kilometer arah selatan lepas pantai kota Nagasaki.
Penyiksaan, baik oleh tentara dan pegawai Jepang, maupun sesama orang Korea yang berkhianat dan bekerja sebagai mandor-mandor pertambangan untuk orang Jepang. Tambang batubara Pulau Hashima sendiri memang dikuasai dan dijalankan oleh perusahaan swasta Jepang, yang memasok kebutuhan terutama tentara kekaisaran negeri itu.
Dipimpin seorang direktur tambang yang keji tetapi berpenampilan klimis dan menyukai musik Barat, para pegawai, mandor, dan prajurit Jepang berupaya memastikan produksi batubara terus meningkat dan stabil apa pun caranya. Mereka tak segan menyiksa para pekerja paksa.
Sejumlah upaya melarikan diri dari tempat berjuluk Pulau Neraka itu kerap kali digelar, tetapi selalu gagal. Upaya pelarian memang akan selalu sia-sia, bahkan berujung kematian lantaran mereka, yang kalaupun berhasil kabur dari pulau berdinding tinggi seperti penjara besar itu, masih harus berenang sejauh belasan kilometer hingga bisa mencapai pantai terdekat di pulau utama Jepang.
Pemusik oportunis
Adalah Lee Gang Ok (Hwang Jung-min), musisi pemain saksofon dan juga pemimpin kelompok band sekaligus ayah dari seorang putri satu-satunya, Lee Sohee (Kim Su-an), yang juga ikut terjebak di pulau kematian tersebut. Awalnya, Gang Ok dan kelompoknya dijanjikan bekerja di Jepang dan mendapatkan bayaran besar.
Untuk itu, Gang Ok tidak ragu menyuap para aparat Jepang dengan uang yang dimilikinya. Berbekal surat keterangan, yang belakangan ternyata tipuan Jepang, Gang Ok tadinya sudah sangat optimistis. Namun, perjalanan nasib berkata lain. Bersama ratusan orang lainnya, mereka dikirim dengan menggunakan kereta api dan kapal laut menuju pulau tempat kerja paksa.
Saat perjalanan dengan kapal laut, Gang Ok juga bertemu banyak korban penipuan dan penculikan lain, termasuk seorang preman kota Seoul, Choi Chil- sung (So Ji-sub), dan perempuan bekas jugun ianfu, yang sebetulnya sudah berhasil melarikan diri dari tempatnya ditahan di Tiongkok, Mallyon (Lee Jung-hyun).
Selain itu, di antara ratusan penumpang kapal, juga terdapat seorang anggota pasukan khusus Korea didikan Amerika Serikat, Park Mu Young (Song Joong-ki), yang datang dengan misi penyelamatan. Mu Young ditugasi menyelamatkan salah seorang pemimpin pergerakan kemerdekaan Korea, yang ditawan Jepang dan dipaksa bekerja di tambang simbol revolusi industri Jepang tersebut.
Saat keduanya bertemu, disepakati sebuah misi penyelamatan sekaligus untuk melarikan diri dari pulau yang pada masa modern, sekitar dua tahun lalu, ditetapkan menjadi salah satu dari 23 situs warisan dunia Jepang versi UNESCO.
Gang Ok yang mengetahui rencana itu menawarkan diri membantu dan setengah mengancam akan membocorkan jika Mu Young tak mengikutsertakan diri dan putrinya dalam operasi melarikan diri tersebut. Dengan koneksinya yang luas, Gang Ok membantu Mu Young membuat kunci duplikat ruang telegraf untuk mengirim pesan rahasia meminta pertolongan dari markas pusatnya.
Ketegangan memuncak ketika Mo Young menemukan catatan- catatan, yang membuktikan sesuatu yang fatal dan mengejutkan. Namun, kekacauan kembali memuncak saat Pulau Hashima porak poranda dibombardir serangan udara tentara sekutu. Para pekerja paksa di bawah kepemimpinan Mu Young kemudian sepakat menyelamatkan diri bersama-sama. Aksi melarikan diri massal itu digarap dengan sangat kolosal.
Operasi pelarian massal lantas berubah menjadi pertempuran jarak dekat di antara sekelompok pekerja paksa, yang berhasil mempersenjatai diri, melawan pasukan Jepang penjaga pulau tersebut. Pihak pekerja yang dimotori Chil-sung dan anak buahnya melawan dengan sengit demi melindungi sesama rekannya, yang berjuang keras bisa naik ke atas kapal satu-satunya dari dermaga yang tak dirancang untuk menaik turunkan penumpang.
Pengingkaran
Akankah pelarian besar-besaran ratusan pekerja paksa asal Korea itu berhasil?
Akhir kisah tentang itu digarap secara apik oleh sang sutradara, yang mencoba terus mengontekstualisasikan alur cerita dengan latar sejarah ketika itu walau kisah yang diceritakan dalam film ini sendiri sebenarnya fiksi atau sekadar bentuk interpretasi dan dramatisasi dari fakta sejarah sebenarnya.
Namun, film berdurasi 132 menit itu sendiri terasa kental berisi gugatan terhadap pengingkaran sejarah, terutama terkait dengan kebijakan mempekerjakan secara paksa ratusan orang Korea di lokasi tambang batu bara itu.
Dari studi Komisi Verifikasi Korban-korban Mobilisasi Paksa di Bawah Kolonialisme Jepang ditemukan, sedikitnya 500-800 orang Korea dipekerjakan secara paksa di Pulau Hashima, sepanjang 1943-1945. Sementara temuan dari catatan resmi lain menyebut, ada setidaknya 143 orang korban tewas sepanjang masa itu. Jumlah sebenarnya diyakini jauh lebih besar lagi.