Pengakuan Kunti sebagai Ibu
Dewi Kunti dalam pewayangan bukan saja digambarkan cantik jelita, tetapi juga punya karisma sebagai ibu sejati. Dialah yang ikut mewarnai lahirnya dua generasi (bangsa) besar Pandawa dan Kurawa, yang akhirnya bertempur untuk membangun kehidupan baru.
Namun, siapa sesungguhnya Dewi Kunti? Kisah itu yang dibeber dalam pergelaran wayang kulit di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Sabtu (22/4). Pentas yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa ini menampilkan lakon dipadatkan ”Pengakuan Ibu Kunti” dengan tiga dalang, semua mahasiswa pascasarjana universitas tersebut, yakni Ki Wahana, Nyi Raras, dan Ki Damai Sagita.
Secara prinsip hanya tiga pengadegan pokok lakon ini. Pertama, mengisahkan Prabu Karna yang sesungguhnya anak Dewi Kunti, mencari jati dirinya. Kedua, mengisahkan Dewi Kunti yang mengandung tanpa suami. Ketiga, mengisahkan pertempuran dua saudara kandung anak Dewi Kunti, yakni Prabu Karna dan Raden Arjuna, dalam perang Baratayuda.
Begitu tragisnya ketika Prabu Karna bertapa meminta petunjuk kepada dewata siapa sesungguhnya jati dirinya. Akhirnya Dewa Matahari, Batara Surya, turun menemui Karna, dan menyatakan bahwa Karna adalah anaknya. Adapun ibunya adalah Dewi Kunti, yang mengandung bukan karena perkawinan.
Dialog antara Batara Surya dan Karna intinya menempatkan betapa identitas diri itu amat berarti bagi manusia. Artinya, bukan sekadar identitas data pribadi, melainkan juga identitas sebagai manusia berpribadi. Hanya dengan itu manusia bisa ikut membangun kehidupan.
Dalam pengadegan berikutnya Karna menghadap Dewi Kunti, menanyakan apakah benar dirinya anaknya. Dalam adegan ini muncullah adegan flashback yang menggambarkan Kunti bisa hamil tanpa suami dan melahirkan Karna.
Dalam kilas balik ini digambarkan Kunti berguru pada Resi Durwasa, yang kemudian memberinya aji Adityah Redaya Sakti. Dengan ajian itu, Kunti bisa mendatangkan dewa- dewi, siapa yang dikehendaki. Kunti bisa meminta apa pun kepada dewa atau dewi yang dipanggil.
Saat sedang mandi, tiba-tiba Kunti menerapkan ajiannya untuk memanggil dewa. Mungkin karena menginginkan kehangatan selagi mandi, Kunti mendatangkan Dewa Matahari Batara Surya.
Dewi Kunti malah menyuruh kembali ke kahyangan saat Batara Surya hadir menemuinya. Kunti menyatakan tidak meminta apa pun. Apakah karena Kunti dalam kondisi dalam kamar mandi, Batara Surya tetap memberikan hadiah, yaitu seorang anak lelaki.
Kunti merasa malu hamil tanpa suami, dibuanglah sang bayi yang dikemas dalam kotak ke Sungai Aswa. Bayi itu akhirnya ditemukan oleh seorang kusir di Keraton Hastinapura yang bernama Adirata. Anak tersebut diberi nama Karna, yang akhirnya bisa menjadi Adipati di Awangga, di bawah kekuasaan negara Hastinapura.
Sampai di situ adegan flashback itu berakhir, kembali pertemuan Kunti dengan anaknya Karna. Kedatangan Karna menghadap ibunya di saat perang Baratayuda sedang seru-serunya. Bahkan, dalam kesempatan itu Karna ingin dipeluk dan dicium Dewi Kunti, ibunya.
Dalam pelukan sang ibu itulah Karna menyatakan rela mati berperang dengan saudara seibunya, yaitu Raden Arjuna, dari Kerajaan Pandawa. Dalam pelukan sang ibu, saat itulah Karna telah dilantik menjadi senopati (pimpinan) pasukan Kurawa untuk menghadapi Arjuna sebagai senopati pasukan Kerajaan Pandawa dalam Perang Baratayuda.
Mendengar itu, Dewi Kunti menangis dan makin memeluk erat Karna anaknya. Sebagai ksatria turunan dewa, Karna justru menasihati ibunya ketika Dewi Kunti meminta agar Karna bergabung dengan saudara-saudaranya di Pandawa.
Karna menyatakan bahwa pemikiran ibunya melemahkan kehadirannya sebagai ksatria. Selama hidupnya, Karna tidak pernah bersama saudara-sudaranya. Dirinya mendapatkan kemuliaan dari Kerajaan Hastina (Kurawa), makan, minum dari tanah Hastina.
Dalam pemikiran Karna, kalau saja dia bergabung dengan saudara kandungnya Pandawa artinya dia melakukan pengkhianatan. Meskipun tahu bahwa Kurawa pihak yang serakah dan menjadi penyebab munculnya perang Baratayuda, Karna tetap harus membela. Tanah airnya adalah Hastina, bukan Pandawa. ”Saya rela mati dengan Arjuna demi kebenaran, ibu,” begitu kata Karna.
Banyak kisah
Banyak sekali kisah Kunti digarap dalam pergelaran wayang orang, tari, sendratari, dan wayang kulit. Meski pandangan tentang Kunti dalam berbagai versi pergelaran hampir sama, yaitu menempatkan Kunti sebagai ibu yang bijak, ibu yang menjadi simbol pribadi wanita yang tangguh dan layak menjadi teladan, dalam lakon ”Pengakuan Ibu Kunti” ini ketiga dalang sebagai penggarap lakon lebih menempatkan kehebatan Kunti sebagai perempuan yang menurunkan bangsa yang besar.
Meskipun demikian, digambarkan bahwa Kunti bukanlah perempuan suci, bukan perempuan tak berdosa. Kakak Kunti bernama Basudewa betapa murkanya ketika mengetahui Kunti yang berstatus gadis itu hamil. Kunti merasa salah dan berdosa. Apalagi demi harga diri dan statusnya, dia membuang Karna ke sungai.
Kunti tumbuh menjadi ibu terberkati. Dialah yang menurunkan darah Barata, darah orang-orang besar, yaitu lima ksatria Pandawa: Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Kelima ksatria pandawa yang semuanya titisan para dewa itulah yang akhirnya menjadi penentu penumpasan keangkaramurkaan lewat perang Baratayuda. Pada akhirnya muncullah zaman baru yang melahirkan Raja Parikesit yang juga darah Pandawa.
Kunti memang bukan perempuan sempurna, bahkan pernah tercela. Berkat perjuangannya, Kunti lantas bisa menjadi simbol bahwa dirinya ibu dari segala ibu. Sebagaimana diungkapkan Romo Budi Subanar SJ yang ikut membidani lahirnya lakon ”Pengakuan Ibu Kunti”, itu dipilih untuk menafsir ulang kisah Kunti. Dewi Kunti melahirkan dua ksatria yang berdiri di dua pihak dalam Baratayuda.
(THOMAS PUDJO WIDIJANTO)