Penting, Edukasi Media Alternatif Digalakkan di Kampus
Media alternatif di Eropa justru marak menyuarakan pemikiran-pemikiran baru dan publiknya memberikan ruang yang penting.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Edukasi mengenai media alternatif di perguruan tinggi di Indonesia dianggap masih minim. Pembelajaran itu sangat penting untuk digalakkan agar kekritisan akademisi muda kian tumbuh. Tak kalah signifikan, buku-buku mengenai sejarah media tersebut harus diperbanyak.
Pemimpin Redaksi Konde.coLuviana Ariyanti, di Jakarta, Senin (25/3/2024), mengatakan, kampus juga dinilai perlu mencetak buku-buku tentang sejarah media alternatif. ”Tak sekadar menyampaikan pendidikan sejarah pers, tapi juga small newsroom (ruang berita kecil),” ujarnya.
Luvi, demikian sapaannya, menjelaskan soal media alternatif di Eropa yang marak menyuarakan pemikiran-pemikiran baru. ”Pemikiran alternatif penting. Justru, media altrenatif sering diundang untuk mengisi seminar internasional karena pemikirannya berbeda,” katanya.
Mahasiswa selama ini kerap berorientasi pada media-media arus utama. Luvi mengamati beberapa media besar yang kini malah digunakan untuk berkampanye atau memilih agenda-agenda sesuai kepentingan pemiliknya. Fenomena itu hendaknya diubah mulai kelas menengah.
”Terutama, di kampus sebagai think tank (wadah pemikir) untuk mengubah paradigma mahasiswa,” ucap anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu. Peran media tersebut sangat urgen untuk membela mereka yang mengalami ketidakadilan.
Konde.co, umpamanya, memperjuangkan hak-hak perempuan, kalangan marjinal, dan stereotipe. Media itu didirikan karena Luvi mendapati maraknya kekerasan dan pelecehan. ”Harus ada media khususnya yang memperjuangkan korban-korbannya,” ucapnya.
Luvi berharap materi tersebut paling tidak bisa dimasukkan dalam satu bab jika buku-buku mengenai media alternatif dapat diterbitkan. ”Bisa mengubah perspektif anak muda soal media alternatif yang bertumbuh. Mereka bisa punya mimpi baru untuk mendirikan media alternatif,” ucapnya.
Ia tak menampik bahwa media alternatif menghadapi berbagai tantangan, seperti pendanaan dan langganan yang diupayakan berbayar. ”Ada media yang sambung-menyambung dari donasi. Mau cari iklan susah karena identitasnya dipandang sebelah mata. Media besar saja yang dilihat,” tuturnya.
Ia lantas mencontohkan media alternatif di Eropa dengan jurnalis perempuannya kerap mondar-mandir ke luar negeri untuk membuat artikel mengenai mereka yang dipenjara. ”Laku. Punya pelanggan dengan biaya bulanan Rp 6 juta. Jadi, gerakan karena mereka yang ditahan selama ini dianggap tak penting,” katanya.
Publik Eropa sudah punya kesadaran untuk mencari tahu pemikiran media alternatif yang beda dan diberi ruang yang penting. ”Aku bermimpi dan pernah bilang sama teman-teman kelompok marjinal. Dalam konteks gerakan, seharusnya kelas menengah menyampaikan pemikiran kepada akar rumput,” ujarnya.
Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) Wita Krisanti mengatakan, media-media alternatif di Indonesia masih sangat sedikit. Ia menyambut baik media-media tersebut yang menyuarakan kalangan marjinal dan menjaga independensinya.
”Sebagian media sekarang beritanya sudah clickbait (sekadar memancing pembacanya untuk mengklik tautan),” katanya. Media alternatif kerap memberikan perspektif lain, umpamanya soal situasi di tempat kerja, religi, dan fenomena sosial, tetapi tetap valid.
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran, Kunto A Wibowo, menjelaskan, mahasiswanya sudah mempelajari media alternatif. ”Malah dikaji di beberapa prodi (program studi). Kalau prodi manajemen komunikasi, mata kuliahnya seperti industri media,” katanya.
Sementara mereka yang memilih prodi ilmu komunikasi mempelajari materi itu dengan mata kuliah kajian media kritis dan digital mediated communication. ”Di Fikom sudah banyak mahasiswa yang mengakses media alternatif. Dalam diskusi, mereka justru sering menyampaikan contoh-contohnya,” ujarnya.