Hasil survei Bursa Efek Indonesia dan IBCWE menunjukkan, hanya 8 dari 200 emiten terbesar yang dipimpin perempuan.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran untuk menerapkan inklusivitas di perusahaan-perusahaan di Indonesia dinilai masih rendah. Salah satu faktor yang praktiknya sudah baik pun, seperti kesetaraan jender, masih diwarnai sejumlah kendala. Pencapaian menuju kondisi yang ideal dianggap masih panjang.
Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) Wita Krisanti di Jakarta, Rabu (20/3/2024), mengatakan, aspek-aspek lain, seperti disabilitas, pengidap HIV/AIDS, dan mantan pencandu narkoba. Belum lagi, latar belakang pendidikan, agama, etnis, ekonomi, dan sosial.
”Kalau semua spektrum diperhitungkan dan ada orang yang menjadi representasi di dalamnya, baru boleh dibilang inklusivitas tercapai,” ucapnya. Perekrutan atau kesetaraan difabel untuk mencapai posisi puncak perusahaan saja, umpamanya, masih jarang terjadi di perusahaan-perusahaan.
Di sela seminar bertema ”Uniqlo Sebarkan Inklusivitas Serta Berbagi Inspirasi untuk Perempuan Bekerja di Indonesia pada Momentum International Women’s Day 2024” itu, Wita mengamati proporsi perempuan yang memegang jabatan penting sudah mulai baik.
Kendati demikian, mereka masih kerap menghadapi situasi mengungkung yang diistilahkan, misalnya dengan sticky floor. Kondisi tersebut lazim dialami perempuan yang baru lulus kuliah dan hendak bekerja, tetapi tuntutan lain menghambatnya untuk maju.
”Mereka ditanya, kapan menikah. Lalu, selesai cuti melahirkan, digosipkan. Baru punya anak, kok, sudah kerja, bahkan bisa jalan-jalan,” tuturnya. Perempuan menyimpan tekad untuk melesat, tetapi tak berdaya seakan-akan tubuhnya merekat di lantai yang lengket.
Wita memaparkan, indikasi lain dengan survei yang digelar Bursa Efek Indonesia dan IBCWE, tahun 2022. Hasil peninjauan itu menunjukkan, hanya 8 dari 200 emiten terbesar yang memiliki pemimpin perusahaan tertinggi atau chief executive officer (CEO) perempuan.
”Setelah hasil survei keluar pun, besoknya, seorang CEO perempuan keluar. Di level eksekutif masih all boys club (klub laki-laki),” katanya. Wita mengutarakan lagi indikasi soal perempuan yang dipromosikan memimpin perusahaan, terlebih saat pandemi, tetapi sebenarnya rawan mengalami perundungan.
”Istilahnya, glass cliff. Kelihatannya berada di puncak, padahal di ujung jurang karena perusahaannya memang lagi krisis. Kayak dijebak begitu,” ujarnya. Jika gagal, perempuan itu menghadapi cemoohan yang mengandung sentimen jender. Fenomena lain, glass ceiling, juga merintangi kenaikan karier.
”Seolah melejit, tetapi waktu mau loncat terbentur. Banyak tuntutan tak terlihat. Mau mencapai kedudukan tinggi, seperti menempuh perjalanan yang sunyi saja,” tuturnya. Perempuan hamil juga sering dipandang sebelah mata karena stigma rendahnya produktivitas sehingga sulit mendapatkan pekerjaan.
Menurut Corporate Affairs Director Uniqlo Indonesia Irma Yunita, pihaknya sering menggandeng komunitas dan disabilitas untuk mengimplementasikan inklusivitas. ”Tak hanya kolaborasi, tetapi juga peningkatan kapasitas sampai olahraga. Contohnya, run for equality (lari untuk kesetaraan),” ujarnya.
Tanggung jawab yang dipercayakan kepada pegawai perempuan Uniqlo pun tergolong besar. Selain manajemen tingkat atas, kepemimpinan perempuan mencakup hingga 61 persen. ”Kami juga punya program mentoring dan sesi edukasi untuk merayakan inklusivitas,” katanya.
Head of People and Culture FWD Insurance Indonesia M Meirza Anbiya mengatakan, perusahaannya mendorong pegawai perempuan untuk menyampaikan masukan. ”Kalau cuti melahirkan sudah selesai, karyawan juga hanya ke kantor seminggu sekali. Bulan depan, seminggu dua kali dan seterusnya,” ucapnya.