Becermin dan Berdoa di Depan Pusara
Ziarah kubur menjadi media refleksi diri, silaturahmi, dan memperkuat iman jelang Ramadhan.
Ada berbagai tradisi ziarah kubur di Indonesia menjelang Ramadhan. Apa pun nama dan caranya, ada satu hal yang pasti: ziarah menjadi medium umat Islam untuk berefleksi diri, menyambung silaturahmi, dan membayar rindu pada leluhur, ulama, umara, atau anggota keluarga yang telah tiada.
Setiap 10 hari menjelang Ramadhan, sebagian warga Palembang, Sumatera Selatan, melaksanakan tradisi ziarah kubro alias ziarah mengunjungi makam sejumlah ulama dan umara (pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam pada abad XVII-XIX). Tidak hanya warga Palembang, warga Kalimantan, Jawa, Malaysia, Yaman, hingga Arab Saudi juga ada yang mengikuti tradisi yang identik dengan budaya komunitas Arab ini.
Ziarah kubro diikuti para ulama, habib (keturunan Nabi Muhammad SAW), dan muhibbin (orang saleh). Barisan terdepan adalah pemegang bendera panji-panji Islam dan penabuh rebana yang memimpin lantunan shalawat. Barisan tengah adalah ulama dan habib yang dinaungi payung-payung kuning khas Palembang. Barisan terakhir adalah muhibbin ataupun peserta umum.
Semua pesertanya laki-laki. Saat rombongan melintas, para perempuan melihat dan mendokumentasikannya dari pinggir jalan atau rumah. Ada pula warga yang bergotong royong menyediakan makanan dan minuman gratis untuk peserta ziarah.
Walau berbeda latar belakang suku atau etnik, di sini kami dipersatukan sebagai saudara sesama Muslim. Maka itu, saya tidak merasa asing setiap mengikuti kegiatan ini.
Di antara ribuan orang bersorban, berpeci, dan berjubah putih yang mengikuti rangkaian hari terakhir ziarah kubro di Palembang, Minggu (3/3/2024), terselip sosok dengan paras berbeda dibandingkan peserta lain yang mayoritas berperawakan Timur Tengah. Ia adalah Haji Sulaiman alias Haji Abok alias Huang Ching Lai (58), warga Palembang keturunan Tionghoa.
Ia mualaf sejak 1988 karena panggilan hati. Setelah mualaf, dia berusaha menjadi Muslim yang kafah (totalitas). Ia aktif mengikuti kegiatan religius, termasuk ziarah kubro yang diikutinya 10 tahun terakhir.
Meski cenderung berbeda secara fisik, Haji Abok tidak canggung menjalani tradisi yang konon sudah ada sejak era Kesultanan Palembang Darussalam tersebut. Bahkan, dia dianggap saudara oleh peserta lain yang didominasi warga keturunan Arab.
”Walau berbeda latar belakang suku atau etnik, di sini kami dipersatukan sebagai saudara sesama Muslim. Maka itu, saya tidak merasa asing setiap mengikuti kegiatan ini,” ujar Haji Abok yang juga Ketua Pengurus Masjid Muhammad Cheng Ho Palembang.
Secara pribadi, Haji Abok menganggap ziarah kubro bukan sekadar kegiatan mengunjungi makam. Bagi dia, ziarah kubro adalah sarana refleksi diri sebelum menyambut Ramadhan. ”Kegiatan ini membuat saya merasa semakin dekat dengan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW,” katanya.
Dulu, ziarah kubro dilakukan setiap Minggu pada 10 hari terakhir bulan Syakban. Kegiatan ini berlanjut dengan ziarah pada Jumat dan Sabtu terakhir sebelum Ramadhan. Sejak 2006/2007, ziarah kubro dilakukan selama tiga hari berturut-turut pada Jumat-Minggu. Tujuannya agar peserta dari daerah lain bisa berpartisipasi secara penuh.
Baca juga: Kuthomoro, Tradisi Nyadran Keraton Yogyakarta yang Terus Dilestarikan
Zainuddin Fanani (63) adalah salah satu peserta yang jauh-jauh datang dari Samarinda, Kalimantan Timur, untuk ikut ziarah kubro. Meski ditopang tongkat kayu, ia berjalan dengan semangat di antara ratusan orang yang berdesakan ke makam Sultan Mahmud Badaruddin I (berkuasa 1724-1757) di Kompleks Pemakaman Kesultanan Palembang Darussalam, Kawah Tengkurep.
Ini adalah ziarah kubro perdananya. Dia terkesan terhadap antusiasme peserta yang begitu mencintai ulama dan umara di Palembang. Itu adalah bukti bahwa tatkala ulama menyampaikan kebenaran sesuai dengan Al Quran dan sunah Nabi Muhammad SAW, serta umara amanah, mereka akan dicintai sepanjang zaman.
Sekretaris Panitia Ziarah Kubro, Habib Rafiq Husin bin Syekh Abubakar, menuturkan, ziarah kubro adalah pengejawantahan sunah Nabi Muhammad SAW. Ziarah ke makam ulama dan umara dilakukan untuk mengambil berkah dari mereka. Sementara itu, ziarah ke makam keluarga untuk mendoakan agar Allah SWT mengampuni dosa dan mengangkat derajat mereka yang telah tiada.
Ziarah ke makam ulama besar juga dilakukan Lilis Shofiyanti (31) saat berkunjung ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ia mengunjungi makam Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) atau Datu Kalampayan, seorang ulama besar Kalsel yang pemikirannya berkontribusi bagi agama, sosial, dan pemerintah.
Lilis adalah peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang kala itu sedang mendigitalkan kitab Sabilal Muhtadin karya Datu Kalampayan. Untuk memperlancar proses digitalisasi, Lilis dan rekannya berziarah ke makam sang ulama. ”Jadi kebayang, oh, gini ya orang yang punya legacy di masa hidupnya. Apa yang ditinggalkan jadi ajaran atau memakmurkan masyarakat sehingga beliau sangat dihormati,” ucap Lilis.
Ia sadar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang hidup di abad ke-18 tidak mungkin kenal dengan dirinya, warga Jakarta yang lahir di abad ke-20. Tapi, tak ada salahnya mengucap salam. Ia juga berdoa agar kehidupannya diberkahi. ”Di Islam ada kepercayaan bahwa beliau (mendiang) hidup, tapi di alam berbeda. Jadi, kita minta beliau mendoakan kita yang hidup di dunia ini untuk keberkahan dan keselamatan.”
Perkuat persaudaraan
Menjelang Ramadhan juga diramaikan dengan tradisi nyadran yang sangat populer di Jawa Tengah, termasuk di Desa Karanggude Kulon, Karanglewas, Banyumas, Jawa Tengah. Nyadran di desa itu digelar pada Kamis (29/2/2028).
Pada siang bolong, ibu-ibu berdatangan ke kompleks pemakaman Kabunan dengan membawa aneka makanan, seperti nasi tumpeng, sayur-mayur, oseng tempe, tahu, kerupuk, dan peyek. Saat mereka datang, juru masak mengolah gulai kambing di wajan jumbo. Asap dan aroma daging nan lezat menguar ke udara, menggedor selera.
Setelah semua siap, aneka masakan dan gulai kambing itu dikumpulkan di halaman samping Masjid Baitul ’Ilmi Al-Barokah. Sejurus kemudian, makanan itu dibagi-bagikan kepada seribuan orang yang datang dan duduk di bawah naungan pohon sawo kecik nan rindang.
Warga yang telah menerima bagiannya segera memasukkan ke dalam keranjang yang mereka bawa dari rumah. Setelah doa bersama, mereka pulang membawa berkat. ”Ini kami saling bertukar nasi dan lauk-pauk. Wujud syukur dan biar lancar rezeki,” kata Supiah (56), warga Desa Karanggude.
Koordinator Sadran Desa Karanggude Kulon, Ahmad Subandi (74), mengatakan, tradisi ini sudah digelar turun-temurun sejak lama. ”Ini adalah bentuk rasa syukur sudah diberi kesehatan dari Allah SWT. Kemudian, ini menyambut bulan puasa dan para warga mendoakan para arwah yang sudah dipanggil Allah SWT,” ucap Subandi.
Selain bertukar makanan, sebelumnya warga gotong royong membersihkan makam. Ada pula yang sekalian nyekar.
Obat duka
Nyekar juga dilakukan Suci Amaliyah (27). Pekerja lepas itu datang ke makam ibunya di Tegal, Jawa Tengah. Nyekar adalah bagian dari laku ziarah yang berasa dari kata sekar. Dalam bahasa Jawa artinya ’bunga’. Jadi, nyekar berarti ’menabur bunga di atas makam saat ziarah kubur’. Hal ini biasa Suci lakukan menjelang Ramadhan, saat Lebaran, dan kala meminta doa restu sang ibu.
Buat dia, nyekar adalah momen yang personal. Maklum, dia masih sering menangis setiap nyekar ke makam ibunya yang wafat tiga tahun lalu. Cerita hidupnya ditumpahkan di pusara sang ibu. Walau percakapan terjadi satu arah, hati Suci jadi ringan. Nyekar jadi obat rindu.
Berziarah juga membuat dia ingat kematian. Saat ibunya meninggal, Suci melihat ada banyak orang yang datang dan mendoakan ibu. Suci ingin seperti itu saat meninggal: didoakan dan diingat banyak orang. ”Selama ini aku cuma kerja, kerja, kerja. Pas ke makam Mama jadi mikir, modalku untuk meninggal apa, ya? Kebaikan apa yang sudah kuperbuat di hidup?” tuturnya.
Di depan pusara, mereka becermin dan berdoa. (DKA)