Kami Merasa Dipeluk Taylor Swift
Konser Taylor Swift menunjukkan betapa kekuatan idola mampu menggerakkan jutaan orang di berbagai belahan dunia.
Pesta Swifties, sebutan untuk penggemar Taylor Swift, dimulai pada Sabtu (2/3/2024) malam. Ini adalah konser The Eras Tour hari pertama dari enam kali konser yang digelar di National Stadium, Singapura.
Euforia menonton Taylor Swift, yang diberi nama kesayangan TayTay oleh para penggemarnya, menggelora. Sejak pagi, para Swifties telah mengalir. Selain dari Singapura, mereka juga berasal dari sejumlah negara, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, China, Korea Selatan, Polandia, bahkan Amerika Serikat. Mereka datang dengan busana mengikuti tema-tema album Swift.
Menjelang magrib, mereka berjalan teratur menuju arena konser. Sebagian berlari kecil dan bergegas masuk sebelum penampilan Mbak TayTay dimulai pukul 19.00.
Kami akan datang setiap hari. Jadi dua hari menonton konser, empat hari mendengarkan konser. Tidak apa-apa kalau tidak bisa melihat karena kami bisa berimajinasi, ha-ha-ha.
Di seberang stadion, ribuan Swifties lainnya yang tidak kebagian tiket hari itu menggelar tikar atau duduk di atas kursi kecil. Di antara mereka ada Tan Wanyi (20), Intan Sofia (20), dan Raphaelle Q (19), tiga mahasiswa asal Singapura yang baru akan menonton konser Swift pada 4 dan 8 Maret. Mereka tetap datang untuk ”mengintip” lagu-lagu kejutan yang dibawakan Swift pada hari pertama.
”Kami akan datang setiap hari. Jadi dua hari menonton konser, empat hari mendengarkan konser. Tidak apa-apa kalau tidak bisa melihat karena kami bisa berimajinasi, ha-ha-ha,” kata Tan.
Ketika konser dimulai di dalam stadion, senyum ketiganya merekah. Mereka lantunkan lirik Cruel Summer yang menjadi salah satu lagu awal konser Swift. Lamat-lamat terdengar suara penonton di dalam stadion, ketiganya ikut bersorak.
Suasana di dalam dan luar stadion sama riuhnya oleh suara ribuan orang. Inilah megakonser dari seorang biduan global yang dijuluki banyak orang sebagai figur penghibur abad ini. Figur yang memikat hati sekaligus mampu menggerakkan jutaan penggemarnya di berbagai belahan dunia.
Mengapa itu bisa terjadi? Mari kita simak pengakuan para Swifties dari sejumlah negara yang susah payah datang ke Singapura untuk menonton Mbak Taytay.
Adrian Espinosa (23), Swiftie asal Filipina yang ditemui di National Stadium, tergila-gila pada Swift karena lagu-lagunya membantu Adrian menghadapi masalah kesehatan mental. ”Taylor menyelamatkan aku di masa kecilku.... Musiknya membuat aku merasa senang dan melupakan masalah sejenak,” kata Adrian.
Baca juga: Sihir Taylor Swift, Gelang Persahabatan dan Kesehatan Mental para Fans
Sejak saat itu, Adrian selalu memutar lagu-lagu Swift, terutama ”Clean” dari album 1989, ketika merasa sedih.
Adrian tidak hanya terpikat pada lagu Swift, tetapi juga pribadinya. Sosok Swift yang jauh di mata mengajarkan Adrian untuk tidak memedulikan perkataan orang, seperti ketika Swift tidak terpengaruh oleh kritik publik karena sering bergonta ganti pacar.
Nurin Najwa, Swiftie dari Malaysia, juga merasa TayTay tidak hanya bernyanyi, tetapi juga mengajarkan kehidupan, termasuk soal asmara. Lika-liku persoalan asmara Swift, termasuk yang menyesakkan, seperti cermin bagi kisah cinta Nurin yang juga pernah patah lantaran dikhianati. ”Dia seperti kakak perempuan bagi saya,” tuturnya.
Pangersaning Gusti Bayu Alam (24), Swiftie asal Jakarta, menyukai Swift sebagai sosok perempuan idenpenden dan menginspirasi. ”Dia berdaya, independen, dan relatable,” ujarnya di Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Perempuan yang biasa disapa Channing itu berkesimpulan seperti itu setelah melihat beberapa permasalahan yang pernah menimpa hidup Swift. Misalnya, ketika Swift berseteru dengan label musik lamanya untuk mendapatkan kembali hak rekaman master enam album pertama Swift.
”Dia bermain anggun untuk membela diri sendiri ketika ada yang jahat. Dia merekam ulang album-albumnya. Jadi Taylor itu tetap berkarya dan berprestasi dan saya ingin melakukan hal seperti itu juga karena itu balas dendam terbaik,” katanya.
Channing juga mendapati lagu-lagu Swift sesuai dengan cerita hidupnya. Perempuan ini pernah merasakan jalinan percintaan rumit seperti kisah di album Swift, Folklore (2020). ”Album itu relate banget. Aku merasa dipeluk sama lagu-lagu itu, seperti 'Cardigan' dan 'Illicit Affair', bahwa it is OK and this shall pass,” ujar Channing, yang sudah mengantongi tiket konser Swift di Singapura untuk 3 Maret.
Baca juga: Ketika Taylor Swift Mampir ke Ancol
Lama kelamaan Channing merasa Swift memahami perasaan dan kebutuhan audiensnya saat harus menghadapi hidup yang tidak baik-baik saja. Itulah mengapa Swift, kata Channing, sangat layak dijadikan idolanya.
Jordy Prayoga (27), penggemar berat Swift asal Jakarta, juga melihat sosok Swift bukan sekadar biduan, tetapi juga sosok perempuan yang cerdas, kreatif, dan punya naluri bisnis kuat. Talenta itulah yang membuat Jordy nge-fans berat pada Swift. Ia mengikuti musik dan menyimak lirik-lirik lagu Swift, mengoleksi benda-benda yang mengingatkan dia kepada sosok Swift, dan poster-poster besar bergambar diri Swift sedang manggung.
Ketika mendengar lagu-lagu Swift, ia merasa seperti sedang dibisiki cerita dan nasihat yang benar-benar ia butuhkan. ”Lirik-liriknya itu relate banget dengan kehidupanku sejak remaja sampai sekarang. Mungkin itu, ya, yang bikin kenapa aku merasa ngefans dan harus nonton secara langsung konsernya,” kata Jordy, yang sudah mengantongi tiket untuk konser Swift pada Senin (4/3/2024).
Lirik-lirik lagu Swift, lanjut Jordy, menjadi teman perjalanannya mengarungi kehidupan yang kadang-kadang membuatnya galau, apalagi pada usianya sekarang. ”Taylor Swift seperti tahu kebutuhan anak-anak muda berkaitan dengan suasana hati mereka. Nah, aku sih merasa relate-nya di sini. Dia jenius nangkep kebutuhan anak seusiaku,” ujar Jordy.
Di bidang lain, Swift juga ia pandang sebagai sosok pencinta lingkungan yang terus mengajak penggemarnya ikut menjaga kelestarian Bumi dan menyebarkan perdamaian. Tidak heran, ia juga ikut merespons dengan cepat usulan para Swifties untuk menggalang persahabatan lewat simbol gelang (friendship bracelets).
”Aku antusias banget untuk ikut friendship bracelets dengan menyiapkan banyak gelang yang akan aku pakai pas nonton konsernya pada Senin nanti,” kata Jordy.
Secara umum, Swift adalah sosok yang nyaris sempurna bagi penggemarnya. Ia cantik, cerdas, independen, tegar, pandai berbisnis, berpengaruh, terkenal, inspiratif, serta peduli pada lingkungan dan perdamaian global. Ia mungkin jauh secara fisik, tetapi begitu dekat di hati penggemarnya. Bahkan, terasa selalu siap memeluk dan menemani penggemarnya mengarungi hidup yang makin rumit.
Ikatan dan kedekatan
Bagaimana perasaan seperti ini terbentuk secara nyaris seragam di hati dan pikiran Swifties di berbagai negara dengan latar belakang dan mungkin persoalan yang berbeda-beda?
Idi Subandy Ibrahim, pakar komunikasi massa dan budaya popular menjelaskan, kehebatan dari Swift—dan idola global lainnya seperti Coldplay dan band K-Pop BTS—adalah bagaimana mereka mampu membentuk ikatan dan menciptakan perasaan terhubung yang kuat antara mereka sebagai idola dan jutaan penggemarnya.
”Apa yang diimpikan penggemar, pemenuhannya ditemukan pada diri sang idola. Secara positif, idola menjadi kerangka etik bagi penggemar karena ia bisa menawarkan sesuatu yang membuat penggemar terhubung dan merasa terwakilkan aspirasinya,” tambah Idi.
Kekuatan seperti itu, lanjut Idi, juga dimiliki dan dimanfaatkan oleh band-band, penyanyi, dan idola pada era-era sebelumnya. Yang membedakan dengan sekarang adalah jangkauan idola era sekarang jauh lebih luas dan masif berkat teknologi digital.
Selain itu, persoalan global saat ini lebih kompleks dan imbas yang dirasakan orang di seluruh dunia nya lebih besar seperti persoalan pemanasan global, pandemi Covid-19, dan aneka tekanan hidup yang mengganggu kesehatan mental.
Idi melihat sosok idola seperti Swift berikut karya-karyanya mampu mengisi celah-celah kekosongan yang ada di hati banyak orang. ”Jangan lupa bahwa pascapandemi, orang mulai recovery. Tetapi, tidak selalu mulus. Mungkin masih ada residu kesedihan, kehampaan, atau kesepian. Ruang ini mampu diisi oleh bintang seperti Swift. Orang menjadi merasa terhubung dengan Swift yang dalam dunia nyata sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa dengan penggemar. Dia jadi sahabat imajiner,” tambahnya.
Sosok idola seperti Swift, lanjut Idi, memiliki kekuatan menggerakkan yang melampaui kekuatan negara, institusi pendidikan, bahkan institusi agama. Begitu idola sekuat Swift menyerukan perdamaian dan persahabatan global, penggemar menyambutnya dan bergerak dengan simbol gelang persahabatan. Kekuatan ini makin berlipat ganda karena penggemar juga terhubung dengan penggemar lainnya di seluruh dunia dan memproduksi makna yang kira-kira sama.
Baca juga: Hegemoni Musik Asing, dari Taylor Swift hingga K-Pop
Kekuatan ini dilihat dan dimanfaatkan oleh industri budaya populer yang sejak dulu memiliki kecanggihan dalam memasarkan para bintang yang memiliki kelebihan dari bintang lainnya. Dari situ cuan terus mengalir.
Secara negatif, lanjut Idi, pemasaran bintang yang canggih ini bisa dilihat sebagai bentuk kolonialisasi bintang dari negara maju ke negara berkembang sebagai pasar. Negara berkembang jadi penggerak kapital.
Konser Swift, The Eras Tour, di Singapura jadi contoh yang gamblang. Dengan kekuatan ekonomi-politiknya, negeri itu bisa memonopoli konser Mbak TayTay hingga enam hari tanpa menyisakan sehari pun untuk konser di negara mana pun di kawasan Asia Tenggara, berikut seluruh keuntungannya.
Mbak TayTay memang serasa memeluk penggemarnya, tetapi industri membuat Swifties dari luar Singapura mesti merogoh kocek lebih dalam demi berjumpa dengan idolanya.