”Tunggu Kami, Mbak Taylor…”
Swifties Indonesia bersiap menyambut konser Taylor Swift di Singapura. Apa saja persiapan mereka?
Swifties adalah salah satu fandom artis terbesar di muka Bumi saat ini. Perhelatan The Eras Tour akhirnya membuka pintu kesempatan penggemar Taylor Swift ini untuk bertemu dengan idola, termasuk Swifties Indonesia. Hati girang tidak terkira, persiapan juga pol-polan. ”Tunggu kami, Mbak Taylor…”, begitu mereka membatin.
”Ini pertemuan pertama kami untuk bahas persiapan konser karena kita beda-beda tempat tinggalnya. Selama ini kami diskusi lewat grup Whatsapp. Grup Whatsapp kami namanya Ketemu Mama Tay,” kata Anggun Mrz (24) lewat Zoom di sebuah restoran di Plaza Indonesia, Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Anggun bersama tiga kawannya, yaitu Melati Suci (27), Alya Dina (25), dan Ayu Ihsana (25), berkumpul di sana pada pukul 19.00 seusai pulang kerja. Saking sibuknya kerja menjelang cuti nonton konser, keempat karyawan swasta ini baru bisa meluangkan waktu untuk wawancara. Itu pun secara virtual.
Keempat perempuan ini akan menonton konser pada 9 Maret. Tanggal itu menjadi hari terakhir perhelatan konser Taylor Swift di National Stadium, Singapura. Penyanyi asal Amerika Serikat ini menggelar konser selama enam hari, yakni 2-4 Maret dan 7-9 Maret 2024 sebagai rangkaian dari The Eras Tour.
Demi bisa melihat ”Mbak TayTay”, sebutan sayang untuk Swift dari Indonesia, Anggun, Melati, Alya, dan Ayu sebetulnya telah ikut ”berperang” mencari tiket pada Juli tahun lalu. Sialnya, mereka gagal. Seperti mimpi, promotor lalu mengumumkan perilisan tiket konser tambahan pada Januari 2024 meskipun dengan pandangan terbatas.
Kali ini, mereka tidak ingin gagal. Alya akhirnya ganti berburu penyedia jasa titipan atau jastip di X alias Twitter. ”Karena kami takut kena scam, orang jastipnya nawarin COD jadi kita ketemuan langsung. Dia juga kasih akun tiket Ticketmaster dan kartu keluarga sama kita juga sampai cek ulasan di Instagram untuk chat akun yang pernah beli di jastip itu,” ujar Alya.
Penggunaan jastip tentu menaikkan harga tiket. Jika harga tiket yang mereka incar sekitar Rp 1 juta per orang, Alya dan teman-teman membayar sekitar Rp 2,5 juta. Harga ini, menurut Anggun, masih masuk akal karena dengar-dengar banyak jastip yang menaikkan harga tiket dari Rp 1 jutaan sampai menjadi Rp 6 jutaan untuk kategori yang sama.
Anggun dan teman-teman akan berada di Singapura selama 7-10 Maret. Menurut rencana, mereka akan berangkat pada 7 Maret lalu menginap di Changi Airport. Sebelum menonton konser, mereka berencana untuk jalan-jalan keliling Singapura, seperti ke Fort Canning Park dan ION Orchard.
Namun, untuk menekan pengeluaran, mereka memilih menginap pada 8-9 Maret di Johor Bahru, Malaysia. Mereka akan menginap di Singapura pada 9-10 Maret setelah akhirnya berhasil menemukan hostel murah.
Kalau dihitung-hitung, Anggun, Melati, Alya, dan Ayu mengeluarkan uang kira-kira Rp 10 juta per orang atau total Rp 40 juta untuk empat orang demi konser sekalian jalan-jalan. Dana ini sudah termasuk tiket konser, transportasi seperti pesawat, penginapan, dan uang jajan. ”Dulu pas Taylor Swift ke Jakarta tahun 2014 aku enggak nonton. Eh, ternyata 10 tahun kemudian dia konser. Enggak apa-apa jor-joran,” tutur Anggun.
Perjuangan menonton konser yang lebih mulus dirasakan oleh Dewi Tyas (26), arsitek di Bintaro, Jakarta Selatan. Dewi dan seorang temannya akan menonton konser Mbak TayTay pada 8 Maret. ”Ini bakal jadi konser Taylor pertama aku dan aku sangat excited,” ucap Dewi yang telah mengenal Swift sejak SMP.
Awalnya, Dewi menantikan kabar kepastian Swift konser di Indonesia. Ketika mendengar kabar Swift justru akan konser selama enam hari di Singapura, ia terkejut. Namun, ia memakluminya karena paham dengan skala besar konser Mbak TayTay, terutama tentang kerumitan dan keamanan panggung.
Tapi aku sempat panik. Kategori yang aku mau udah habis terus ada kategori lain yang over budget. Terus aku lihat ternyata ada tiket murah cuma 88 dollar Singapura jadi aku pilih itu, memang ini tiket restricted view, sedikit di backstage. Aku sempat plonga-plongo karena kaget bisa dapat.
Saat berburu tiket, Juli lalu, Dewi mengantre di situs Ticketmaster, perusahaan resmi penjualan tiket, di komputer kantor. Sembari mengantre, dia harus menunggu kiriman kode akses agar bisa bertransaksi.
Dewi sempat pesimistis lantaran tidak kunjung mendapatkan kode. Padahal, mereka sudah mengatur strategi manis untuk mendapatkan tiket kategori tertentu beserta menyiapkan rencana cadangan jika harus mendapatkan kategori lain.
Setelah menunggu berjam-jam sampai ditinggal makan siang, Dewi ternyata bisa masuk. Meskipun sempat bingung soal kode akses, dia berhasil membeli tiket menggunakan kode dari salah satu kenalannya.
”Tapi aku sempat panik. Kategori yang aku mau udah habis terus ada kategori lain yang over budget. Terus aku lihat ternyata ada tiket murah cuma 88 dollar Singapura, jadi aku pilih itu. Memang ini tiket restricted view, sedikit di backstage. Aku sempat plonga-plongo karena kaget bisa dapat,” kata Dewi.
Dalam rangka ke Singapura, Dewi menyiapkan dua jenis bujet, yaitu untuk menonton konser dan liburan. Untuk Taylor Swift, besaran dana yang telah keluar mencapai Rp 6 juta. Jumlah ini sudah termasuk untuk tiket konser, tiket pesawat, penginapan, dan baju. Untuk menghemat anggaran, Dewi juga menginap di Johor Bahru bersama temannya.
”Aku kaget juga dana yang keluar sampai enam jutaan. Aku mungkin enggak beli merchandise,” tutur Dewi yang akan kembali ke Indonesia pada 11 Maret.
Kostum dan gelang
Salah satu aspek yang membuat konser Taylor Swift terasa hidup adalah kostum dan gelang yang digunakan Swifties. Mereka sangat modis dan sering mengenakan baju sesuai tema dalam 10 album Swift. Pakaian yang terinspirasi album Speak Now (2010), umpamanya, identik dengan sentuhan feminin berwarna ungu, sedangkan pakaian album Red (2012) lekat dengan kesankasual bernuansa merah.
Demikian juga yang dilakukan oleh para Swifties Indonesia. Dewi akan mengenakan baju dengan konsep Speak Now dengan nuansa ungu. Ia telah membeli baju lengan panjang velvet ungu dan rok leather hitam.
”Pertimbangannya aku dengar stadium-nya panas jadi aku enggak mau terlalu ribet kayak rumbai-rumbai. Pakaianku nanti juga lumayan blink-blink dan untuk make up aku mau tempel diamond juga,” tutur Dewi.
Baca juga: Sihir Taylor Swift, Gelang Persahabatan dan Kesehatan Mental Swifties
Anggun akan mencari baju yang mengusung tema Red, 1989 (2014), atau Lover (2019). Ia sempat ke ITC Mangga Dua untuk mencari baju dari bahan sekuin yang berkilau. Namun, ia berpikir tidak akan bisa memakainya lagi sehingga batal beli.
”Jadi ini aku sedang memesan gaun ruffle warna merah muda untuk tema Lover seharga Rp 300.000 dan minggu depan bajunya sampai. Bisa sekalian buat Lebaran nanti. Tapi aku juga punya baju cadangan rok putih shimmer panjang dan atasan biru dongker atau merah muda lengan panjang,” ujar Anggun.
Selain itu, Anggun dan Alya juga membuat gelang persahabatan. Gelang itu biasanya terbuat dari manik-manik berbagai warna dan memiliki kata-kata yang merujuk pada judul lagu, lirik lagu, atau istilah tertentu. Swifties biasa menukar gelang itu satu sama lain saat konser sebagai tanda persahabatan.
Enam konser Swift bisa menghasilkan pendapatan pariwisata sebesar 350 juta-500 juta dollar AS. Namun, konser Swift akan memberi manfaat lebih di masa depan karena menaikkan pamor Singapura sebagai pusat acara kelas dunia di Asia.
Anggun sudah membuat 20 gelang, sedangkan Alya sudah membuat 30 gelang. Mereka menargetkan membuat gelang setidaknya 50 gelang seorang agar bisa memakai 25 gelang di setiap tangan.
”Kami bikinnya malam, misalnya setelah pulang kantor mulai buat dari pukul 20.00 sampai pukul 11.30. Sehari bisa buat 4-5 gelang. Kalau rajin, ya buat enam gelang sambil nonton Netflix. Belajar buat gelangnya juga otodidak dari Pinterest,” tutur Anggun.
Untung besar
Bisa dibayangkan, konser eksklusif di Singapura akan mendatangkan Swifties dari sejumlah negara, terutama negara Asia Tenggara. Dengan kapasitas National Stadium sebesar 55.000 orang, setidaknya 330.000 orang datang untuk menggerakkan perekonomian Singapura.
Mengutip The Strait Times, Direktur Penelitian Makroekonomi di Maybank, Erica Tay, memperkirakan, enam konser Swift bisa menghasilkan pendapatan pariwisata sebesar 350 juta-500 juta dollar AS. Namun, konser Swift akan memberi manfaat lebih di masa depan karena menaikkan pamor Singapura sebagai pusat acara kelas dunia di Asia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira sepakat, konser mempunyai sumbangan besar terhadap ekonomi di tempat konser itu digelar. Konser menggerakkan roda industri transportasi, kreatif, pelayanan jasa, elektronik, kuliner, sampai pelaku UMKM.
”Itu akan mendorong perputaran ekonomi dan berdampak ke pendapatan asli daerah. Efeknya berantai, karena ada penonton konser yang datang dari luar kota lalu bisa meluangkan waktu untuk melihat wisata lain atau sekadar jalan-jalan ke mal dan lebih bagus lagi kalau artinya artis lokal. Di Amerika Serikat, Taylor Swift dianggap menyelamatkan AS dari resesi,” kata Bhima.
Ada beberapa faktor yang membuat Indonesia kurang diminati sebagai tempat konser artis besar dunia. ”Ada faktor kurangnya profesionalitas dari sisi penyelenggara acara, sistem tiket yang bermasalah, dan jaminan keamanan yang kurang,” ujar Bhima.
Baca juga: Tahunnya Mbak Taylor
Bhima melihat, Indonesia tidak memetik manfaat signifikan atas konser Swift di Singapura. Perputaran ekonomi yang terjadi kecil karena Swifties hanya menghabiskan uang untuk transportasi lokal atau pembelian baju dan riasan. Jika dibandingkan, Malaysia masih kecipratan manfaat ekonomi karena banyak Swifties Indonesia yang menginap atau terbang ke Malaysia sebagai strategi penghematan.
”Untuk Indonesia, devisanya keluar karena pengeluaran lebih banyak di luar negeri. Soalnya pengeluaran yang terjadi di dalam negeri bukan untuk hal yang primer,” jelas Bhima.
Alya menambahkan, sebagai penggemar, dia merasa agak kecewa karena Swift tidak menggelar konser di Indonesia. ”Soalnya jadi banyak dana dan waktu yang harus disiapkan, ” ujarnya.
Indonesia memang butuh Taylor Swift, tetapi sepertinya Taylor Swift belum membutuhkan Indonesia. Terlepas dari itu, selamat berpesta, Swifties Indonesia!