Taylor Swift menggelar The Eras Tour ke banyak negara. Selain aksi panggung, mode pakaiannya juga dinanti.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·4 menit baca
”And I don’t know why/ But with you I’d dance in a storm/ In my best dress/ Fearless//”
Sepenggal refrain lagu ”Fearless” dari album kedua Taylor Swift bertajuk serupa masih relevan dengan dirinya. Sudah 16 tahun berlalu sejak rilis album Fearless, Swift masih mengaku kesulitan menari. Namun, nyatanya, ia tetap lincah menjalankan koreografi dari panggung ke panggung di tengah badai teriakan cinta dari penggemarnya dalam balutan busana terbaiknya. Pastinya, penuh percaya diri, tanpa gentar pada apa pun.
Seusai memukau para Swifties dengan Reputation Stadium Tour pada 2018, Swift kembali mengentak lewat The Eras Tour yang dimulai dari Maret tahun lalu di Glendale, Amerika Serikat. Berbeda dengan tur sebelumnya yang selalu mengusung judul albumnya. Kali ini Swift seakan ingin merangkum perjalanan kariernya lewat album-album terdahulu serta memberi ruang bagi empat album lainnya, Lover (2019), Folklore (2020), Evermore (2020), dan Midnights (2022) untuk turut bersinar lewat The Eras.
Walakin, di luar karyanya, gebrakan kostum panggung Swift ikut memendarkan terang yang mencuri perhatian. Bahkan, rangkaian busana dalam tur keenamnya ini pun disebut-sebut terbaik. Mengutip Chief Fashion Critic The New York Times, Vanessa Friedman, The Eras Tour bukan hanya pertunjukan musik, melainkan landas peraga dengan kurasi baju yang luar biasa. Standar baru nan tinggi bagi penyanyi-penyanyi lainnya.
Sejumlah desainer kembali bekerja sama dengan perempuan asal Pennsylvania, AS, ini. Mulai dari Alberta Ferretti, Roberto Cavalli, Elie Saab, Etro, Nicole + Felicia, Zuhair Murad, Jessica Jones, Ashish, Oscar de la Renta, hingga Versace merancang busana untuk The Eras Tour disesuaikan dengan tema album dan palet warna yang diinginkan Swift.
Misalnya gaun ungu muda ringan dan longgar dengan detail tumpuk buatan Alberta Ferretti yang dikenakan ketika membawakan nomor lagu dari album Folklore yang bernuansa hangat dan sederhana. Atau gaun tanpa lengan berwarna oranye dengan aksen kerut yang ringan melambai dari Etro yang dikenakannya merepresentasikan sejumlah lagu dari album Evermore.
Kontras saat Swift menyanyikan lagu dari album Reputation yang cenderung bernada pembuktian diri. Ia memilih jumpsuit asimetris bermotif ular berwarna hitam merah yang pas badan dari Roberto Cavalli. Begitu pula ketika ia memainkan ”Cruel Summer” dari album Lover, Swift memilih siluet pakaian renang one-piece dengan manik-manik menjuntai yang membuatnya bercahaya. Sementara itu, kaus putih berbahan sequin dengan tulisan merah hitam ”We Are Never Getting Back Together Like Ever” dipadu celana ketat hitam super pendek dari Ashish tentu saja dipakai untuk album Red dengan tembang berjudul sama.
Penampilannya saat muncul dengan hits dari album Speak Now juga mengingatkan Swift pada Speak Now World Tour lebih dari satu dekade lalu. Gaun-gaun megah dikenakannya. Salah satunya besutan Zuhair Murad yang bertatahkan hampir 20.000 kristal di atas 50 meter kain tulle yang diubah menjadi ballgown tanpa lengan.
”Tur ini mewakili momen yang sangat penting dalam karier Taylor karena dia menyusun dan membangunnya sebagai perjalanan melalui momen yang berbeda, atau seperti judulnya, era musik yang mendefinisikan kariernya,” tutur Ferretti kepada Harpers Bazaar.
Sejak semula, Swift memang menyatakan The Eras Tour semacam tribut bagi perjalanan kariernya sehingga segala elemen di dalamnya juga mewakili. Termasuk busana yang bertransformasi. Pertama kali ia menggelar Fearless Tour pada 2009-2010, Swift masih beranjak memasuki usia 20 tahun dengan transisi dari identitas musik country ke pop secara umum.
Dari sini, gaya berpakaiannya pun tak jauh bergeser. Gaun midi selutut tanpa lengan dengan motif floral atau polos, tetapi berwarna cerah mendominasi. Sesekali ia tampak menyala dengan fringe dress super mini yang hingga kini menjadi salah satu ciri khasnya. Semuanya selalu dipadu dengan sepatu bot koboi dan gitar andalannya.
Setahun setelahnya, Swift yang gemar teater mencoba tema teatrikal dengan kostum aneka rupa, tetapi mayoritas berupa gaun-gaun lebar bak putri kerajaan. Baru pada The Red Tour, Swift menampakkan sisi lain dari dirinya. Dari bermegah-megah, Swift banting setir dengan opsi beragam kaus dan celana pendek di sepanjang konser.
Berlanjut di tur dunia 1989 dan tur stadium Reputation yang menunjukkan kepada khalayak bahwa selain lebih dewasa, Swift juga lebih berani dan tak gentar berekspresi seperti yang acap kali digaungkan lewat lagu-lagunya. Kala itu, ia juga harus berhadapan dengan sejumlah masalah dan tudingan yang memicu kebencian pada dirinya sehingga pilihan baju panggungnya terasa seperti bentuk pertahanan diri yang efektif.
Dengan konsep yang tertata dan pesan yang bergulir berkesinambungan bersama karya, Swift memang pantas menjadi idola. Para perempuan yang mengaguminya pun tidak segan mengambil inspirasi gaya berpakaiannya sebagai bentuk citra diri. Di berbagai belahan negara, para fans rela berdandan bak Swift untuk datang ke konser The Eras. Pekan depan, rangkaian The Eras Tour untuk wilayah Asia Tenggara akan digelar di Singapura selama enam hari.
Pijar Swift memang terus benderang seperti kristal dan manik-manik yang selalu menempel pada busana-busananya di atas panggung. Sekali lagi, Swift membuktikan dirinya tak pernah gentar menghadapi apa yang ada di depannya.