Tren mode konon berputar tiap dua dekade. Tak heran gaya 90-an muncul lagi. Tetapi, benarkah demikian?
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·6 menit baca
Atasan dengan ragam gaya dan ukuran berpadujeans basicatau celana kargo makin mudah ditemukan di tiap sudut keramaian. Gaya yang trendi pada era 1990-an ini kembali digilai para anak muda yang kerap disebut-sebut sebagai Generasi Z. Jangankan anak muda, para generasi milenial yang rindu zaman belia juga enggan ketinggalan momen.
Sebenarnya, apabila dirunut, hadirnya cara berbusana ini sudah terendus sejak pertengahan 2019. Namun, kebangkitan dari mati surinya resmi terjadi kala pandemi pada 2020. Kenyamanan berpakaian mendorong kian masifnya bawahan longgar dan atasan yang membebaskan ini. Kaus kedombrangan yang disebut oversized atau malah dengan memamerkan pusar yang kemudian acap dikenal dengan crop top, atau kaus pas badan berbahan adem dengan lengan superpendek yang populer disapa baby tee, kembali menjadi favorit.
Alih-alih surut, tren padu padan ini awet bertahan meski pandemi sirna. Bahkan, pilihan baju semacam ini diadopsi pula oleh para pengguna hijab dengan memodifikasi detail dan siluet agar sesuai. Baju untuk anak-anak pun turut terimbas. Pada 2024, mode ini diprediksi belum akan berganti.
Setidaknya ini tecermin juga ketika Indonesian Fashion Chamber (IFC) Jakarta Chapter menggelar Jakarta Fashion Trend di Tananusa, Sarinah, Rabu (24/1/2024). Sebanyak 51 desainer menampilkan parade busana besutannya. Tema urban, anak, hingga modest bertebaran sepanjang acara.
Kegiatan yang disebut sebagai ramalan arah tren mode pada tahun ini tetap menggarisbawahi sisi Indonesia, yakni kekayaan wastra Nusantara. Di tengah kembalinya pakaian ala Britney Spears atau Christina Aguilera, kombinasi dengan wastra yang juga sedang digandrungi orang-orang di Tanah Air tak boleh ketinggalan.
Dengan dukungan dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia di beberapa wilayah, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kediri, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, serta Dekranasda Buton Tengah, nuansa wastra ini dapat tertuang dalam baju kontemporer. Atas dasar ini, desainer Ichwan Thoha menggagas tema ”Cyber-Xotic” pada tahun ini.
”Artinya, layaknya kecepatan era digital yang membawa banyak perubahan dalam gaya hidup kita, tapi tetap harus berpijak pada akar budaya Indonesia. Pilihannya juga masih ready to wear agar dapat dipakai dalam keseharian,” ujar Ketua IFC Jakarta Chapter Erika Ardianto ketika membuka rangkaian peragaan busana.
Sesi pembuka dibuka baju muslim karya Hannie Hananto. Di sini, Hannie yang memilih warna menyala, seperti fuchsia, mengambil celana longgar bergaya harem dipasangkan dengan kemeja panjang berbahan ringan. Ada juga celana basic cargo dengan kemeja biasa warna-warni dipadu dengan luaran.
Selanjutnya, hadir Putri Anjani by Indina dengan gaun longgar, celana longgar ⅞. rompi, hingga overall dress yang pernah digemari pada 90-an dengan warna monokrom dan penyesuaian pada masa kini. Opie Ovie juga senada memilih crop top dengan bawahan longgar untuk koleksi yang ditampilkan kali ini.
Sementara itu, modifikasi modest wear yang disuguhkan pada sore itu identik dengan kerut, lengan gelembung, dan luaran serupa mantel panjang yang juga hidup di masa 90-an. Ranaya, Via Sunarto, HSE by Efnie, dan Monika Jufri memainkan detail ini dalam enam tampilan yang dihadirkan.
Sesi ”Kids Wear” justru kian menegaskan pengaruh 90-an. Sebagian model berusia yang berusia 10-13 tahun sengaja didandani dengan kaus ngatung dipadu rok atau celana jins yang nyaman. Aksesori berupa suspender dijadikan pelengkap yang tepat untuk memperkuat nuansa 90-an tanpa disadari.
Di sesi penutup, Batic Chic dan Rose.Ma.Lina juga menuangkan nuansa 90-an tersebut. Dengan sentuhan batik dan tenun, tren celana longgar dengan atasan ngatung ini diadopsi. Bahkan, mereka juga menambahkan aksen jaket dan hoodie dari yang ukuran besar hingga sebatas pinggang.
Desainer Chaera Lee pun melakukan hal yang sama. Menariknya, meski desainnya kali ini seperti ditujukan untuk kaum pria, para perempuan tampaknya sesuai pula untuk mengenakan karyanya.
Erika meyakini tren mode ini memang terus bergulir dan punya waktu untuk bangun lagi dari tidur panjangnya pada satu titik. Hal ini lumrah di industri mode. Namun, kecenderungan tren kini berbeda dengan beberapa tahun sebelum pandemi melanda. Saat ini, kesadaran orang menjadi diri sendiri membuat istilah tren ini menjadi lebih cair karena siapa pun berhak mengenakan apa yang dia suka dan dia mau. Para desainer pun menjadi lebih leluasa berkarya.
Tren dan jati diri
Dalam buku Reinvention and Restlessness; Fashion in The 90s, Colleen Hill, kurator kostum di Museum Fashion Institute of Technology, New York, melihat dekade 90-an ini begitu menarik dari sisi mode. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai kebebasan yang saat ini juga kian gencar diluapkan para gen Z.
Hill mengambil contoh Kurt Cobain, pentolan grup musik Nirvana, yang memperjuangkan fluiditas jender saat itu dengan mengenakan gaun bermotif bunga. Kemeja yang digunakannya selain motif kotak yang identik dengan aliran musik grunge yang dianutnya, Cobain kerap tertangkap enteng memakai kemeja bermotif floral berwarna yang di zaman sekarang juga jamak terlihat.
Di era masa kini, konsep fluiditas jender ini bisa dilihat pada penyanyi Harry Styles. Kehadirannya saat ajang Grammy Awards 2023 dengan celana longgar dan tanktop gemerlap dipadu luaran blazer sebatas pinggang mencuri perhatian. Sekilas konteksnya mirip dengan konsep unisex yang muncul pada 1960-an dan bertahan hingga 1990-an, bahkan sampai sekarang.
Pada dekade 60-an ini tumbuh istilah boyfriend jeans dan boyfriend shirt yang kemudian populer akibat Marylin Monroe mengenakan jeans milik pacarnya saat itu. Istilah ini sempat redup, tetapi menyala pada 90-an, dan kembali lagi kini. Jenis pakaian yang juga banyak dipilih anak muda kini makin mengamini bahwa sejatinya mode tak terbelenggu aturan gender merupakan tren sesungguhnya.
Di sisi lain, cara berpakaian yang mengutamakan kenyamanan juga menjadi ciri dari era 90-an. Kenyamanan ini uniknya ditentukan oleh diri kita sendiri, bukan norma sosial atau pandangan sekitar.
Jadi, tak ada yang salah keluar rumah saat itu hanya dengan kaus gombrong dan celana superpendek atau kaus baby tee dengan jins kedodoran ala rapper sepanjang nyaman bagi si pemakainya.
Hill menambahkan, tontonan era 90-an yang mudah diakses anak muda melalui pelantar digital saat ini yang dikonsumsi masif ketika pandemi menjadi inspirasi mereka memilih gaya yang sesuai dengan jati dirinya.
Hal ini valid. Kaus sebatas pusar dengan celana jeans basic, overall pendek dengan tanktop, hingga gaun longgar ala musim panas mengingatkan pada karakter Rachel Greene, ikon serial Friends, yang nyatanya diidolakan juga oleh generasi Z.
Walakin, Hill tetap berpendapat kebebasan dan kenyamanan yang membuat mode 90-an hidup lagi. Sebab, pada dasarnya mode adalah soal jati diri, bukan semata tren seragam yang membuat seseorang tercerabut dari akarnya.
Tahun boleh berganti. Tren juga terus diprediksi. Namun, pilihan diri adalah hak pribadi.