Singapura menasbihkan diri menjadi ”hub” atau titik perjumpaan ekosistem seni di Asia Tenggara dan Asia Pasifik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
Ajang Art SG yang berlangsung di Singapura, 17-21 Januari 2024, menjadi momen perjumpaan dan pertukaran antara seniman, kolektor, dan penikmat seni dari berbagai negara. Untuk kedua kalinya, Singapura berupaya menasbihkan diri sebagai jembatan atau titik pertemuan ekosistem seni dari kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik.
Anne (21) berjingkat maju memasukkan kepalanya ke dalam lubang patung berukuran separuh badan yang digantung menyerupai ornamen itu. Patung instalasi itu berlubang di bagian mata sehingga setiap pengunjung yang ingin mencobanya akan dapat melihat melalui lubang itu. Mereka yang mengenakan patung itu akan terlihat seperti mengenakan topeng besar sekali di bagian kepala hingga menutupi bahunya.
”Ini unik sekali. Sangat berbeda dengan yang biasa saya lihat di pameran-pameran seni. Kesannya misterius dan banyak warna,” ucap warga Singapura yang sengaja meluangkan waktunya berjalan-jalan menyaksikan pameran seni Art SG di Marina Bay Sands Expo & Convention Centre, Singapura, Jumat (19/1/2024) itu.
Instalasi patung itu merupakan karya Eko Nugroho, salah satu seniman yang berpameran di Art SG. Dalam pameran seni itu, Eko mendapatkan tempat istimewa karena sebagian karyanya dipesan dan dikoleksi khusus oleh UBS, institusi perbankan yang mendukung perhelatan seni tersebut. Ini adalah kali kedua Art SG digelar setelah pertama kali diluncurkan pada 2023.
Dalam karya instalasi bertajuk ”We Are Here Now”, Eko menampilkan tiga patung yang berasal dari berbagai bahan daur ulang atau sampah yang dibawanya dari Yogyakarta. Ada tutup botol kecap, saus, dan aneka plastik yang digunakannya. Sekilas, patung itu menyerupai topeng yang besar sekali dengan warna-warni yang mencolok. Karya itu juga menyiratkan bentuk dari sosok atau karakter yang muncul dari lukisannya. Selain patung, Eko membawa lukisan yang materialnya kombinasi antara kanvas dan bordir.
Setiap pengunjung yang mencoba mengenakan topeng besar itu akan difoto, dan foto diri mereka akan ditempelkan pada satu karya patung Eko lainnya yang menyerupai astronot. Di akhir acara seni itu, patung itu akan dipenuhi foto-foto pengunjung yang mengenakan topeng besar dari kumpulan sampah warna-warni.
Wajah penuh sampah itu seolah menjadi refleksi Eko atas situasi dunia saat ini. Namun, tak melulu problematik, karya Eko lainnya yang bertitel ”Guarding the Sunrise” mengekspresikan harapan dan semangat kebersamaan pascapandemi. Karya ini dibuat di atas kanvas yang kemudian ditimpa dengan bordir. Ia melibatkan empat tukang bordir asal Tasikmalaya yang selama pandemi mengalami kesulitan.
”Saya ingin berkolaborasi menggandeng perajin di sekitar saya. Perajin-perajin di Jogja itu, kan, banyak, tidak hanya perajin ini saja. Kalau seni bisa saling support dan saling tolong, itu efeknya bisa merembet ke mana-mana. Terjadi sirkulasi yang produktif dan bagus. Mereka bahagia dan survive,” ujar Eko.
Percakapan ide juga dinikmati oleh Pageey (25), seniman baru asal Malaysia. Ia khusus datang ke Art SG untuk melihat seni kontemporer dan ide-ide yang dapat menjadi inspirasinya berkarya. ”Yang menarik dari Art SG adalah kita bisa bertemu banyak orang dan seniman dari berbagai negara. Ini seperti Art Basel di Hongkong, tetapi ini lebih cenderung ke seniman-seniman Asia Tenggara. Tetapi, ini bagus, saya bisa mencari inspirasi,” ucapnya.
Sekitar 114 galeri turut serta dalam pameran Art SG 2024. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah galeri tahun lalu yang berpartisipasi, yakni sekitar 150 galeri. Namun, perhelatan kedua ini masih menyiratkan prospek yang menjanjikan sebab dunia yang terus membaik pascapandemi mengisyaratkan daya beli dan kemampuan investasi yang lebih baik dari para kolektor dan penikmat seni.
Ekosistem seni
Kurator asal Perancis, Edward Mitterrand, yang mengurasi koleksi bertitel ”Rough” di kompleks seni Gillman Barracks, Singapura, menilai, Singapura sebagai tempat bagi ekosistem seni yang cukup menarik. Art SG sudah pasti akan bersaing dengan Art Basel di Hongkong sebagai ajang pameran.
Namun, dari tahun ke tahun, Asia Tenggara dan sebagian Asia Pasifik menunjukkan peningkatan pendapatan yang positif. Situasi ini akan mengubah relasi orang dengan seni. Mereka akan lebih mungkin untuk membeli karya seni meski banyak hal akan memengaruhi, seperti edukasi dan pemahaman akan seni.
Posisi geografis Singapura yang berada di kawasan Selat Malaka menjadi nilai tambah bagi perhelatan Art SG. Secara historis, daerah di kawasan Selat Malaka merupakan titik temu atau titik sambung dari pelintasan laut yang mengarah ke barat atau timur dan utara ataupun selatan. Daerah yang berada di titik sambung pelintasan laut dunia ini secara alamiah memiliki karakter sebagai penghubung atau hub bagi pelintas-pelintas dari China, India, Timur Tengah, dan sebagian Australia.
Gambaran dari masa lalu ini menginspirasi Magnus Renfrew, Co-founder Art SG, untuk menjadikan Singapura sebagai hub bagi seni di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Singapura selama bertahun-tahun juga telah menjadi rumah bagi kelompok berada yang berpotensi menjadi kolektor seni.
”Singapura juga memiliki institusi yang bagus, seperti National Gallery of Singapore dan National Arts Council (NAC), Singapore ArtScience Museum, dan sebagainya. Mereka memiliki koneksi dengan komunitas kolektor lokal dan filantropis,” ujarnya.
Apa yang disampaikan Magnus relevan dengan dukungan masif yang dilakukan oleh Pemerintah Singapura dalam gelaran Art SG. Hampir semua galeri lokal membuka pameran dalam saat yang sama dengan gelaran Art SG. Kawasan seni di Gillman Barracks dan Tanjong Pagar, misalnya, membuka koleksi-koleksi mereka untuk menyemarakkan Art SG yang dikemas dalam satu program besar Singapore Art Week (SAW), 19-28 Januari.
Tidak ketinggalan juga ArtScience Museum yang menggelar pameran bertajuk ”Mars” dengan menampilkan 300 obyek terkait planet merah itu. Obyek yang dipamerkan meliputi manuskrip, patung, hingga film dan meteorit.
”SAW adalah sebuah platform besar tempat para seniman bebas berekspresi dalam berbagai bentuk. Kami tidak mengikatnya dalam satu tema tertentu karena kami ingin membebaskan setiap seniman mengekspresikan karya mereka sesuai dengan perhatian dan topik masing-masing,” ucap Direktur Visual NAC Tay Tong.
Singapura juga memiliki institusi yang bagus, seperti National Gallery of Singapore dan National Arts Council (NAC), Singapore ArtScience Museum, dan sebagainya.
Selama ini, pemerintah setempat juga menyediakan berbagai tunjangan atau skema pembiayaan (grants) yang dapat diakses oleh seniman lokal ataupun mancanegara. Skema itu meliputi juga studio dan ruang pameran yang sepenuhnya didukung oleh pemerintah bekerja sama dengan sektor swasta. Ruang-ruang studio seni sebagian adalah milik swasta yang disewakan murah bagi seniman. Begitu pula ruang publik, seperti stasiun MRT yang dengan bebas dapat menjadi medium berekspresi.
Upaya menasbihkan Singapura sebagai titik perjumpaan bagi ekspresi seni tidak hanya terbatas dalam gelaran SAW, tetapi merupakan proses panjang selama 365 hari. ”Ini kerja yang berkesinambungan dan melibatkan semua pihak untuk memungkinan ekosistem seni bertumbuh. Ini adalah soal bagaimana menciptakan terjadinya percakapan antarseniman, dan komunitas seni. Tidak hanya membawa seniman dari luar ke Singapura, tetapi sebaliknya juga mengirim seniman Singapura ke luar. Kami, misalnya, mengirimkan seniman ke ArtJog di Yogyakarta,” ucap Tay.
Di masa lalu, kawasan Selat Malaka, termasuk yang sekarang menjadi wilayah Singapura, adalah hub bagi jalur pelayaran laut. Kini, di era kontemporer, kawasan itu berpotensi menjadi hub bagi pertukaran karya seni lintas budaya dan negara.