Nasi Uduk yang Diburu hingga Blusukan
Tiba satu jam saja setelah Nasi Uduk Bu Amah buka, siap-siap gigit jari. Sambal kacang sampai bawang goreng pun dibeli.
Meski bertempat di jalan sempit yang hanya bisa dilalui sepeda motor, Nasi Uduk Bu Amah mampu melintasi zaman hingga hampir enam dekade. Pelanggan tak hanya berduyun-duyun untuk memboyong sajian utama yang tandas dalam puluhan menit, tetapi juga terpikat bawang goreng hingga sambal kacangnya.
Sejumlah pembeli mondar-mandir menyinggahi warung di Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta, tersebut. Jalan Pengukiran II itu lebih pantas disebut gang lantaran tak bisa dilewati mobil. Pengemudi kendaraan roda dua pun kalau tak awas saat berpapasan bakal bersenggolan.
Nasi Uduk Bu Amah, demikian tujuan para konsumen, yang buka mulai pukul 15.30 tersebut. Winda Asmarani (47) yang akrab disapa Wiwin sibuk melayani pengunjung sembari mencatat pesanan yang sudah diambil. Ia didampingi Yeny Lestari (43) yang membungkus nasi dan lauk-pauk.
Di gang sebelah warung itu, Murdjaiti (67) alias Ijah menggoreng ayam dengan minyak menggelegak dan lidah api menari-nari yang menjilati wajan. Baru sekitar pukul 16.10, ia berseru untuk memberi tahu Wiwin dan Yeny seturut lauk yang mulai habis.
Kurang dari 20 menit berselang, sekitar 150 porsi sudah ludes. Hingga pukul 17.00, pelanggan masih saja berdatangan dan terpaksa gigit jari. Kalaupun masih tersedia, nasi uduk dan lauk-pauknya hanya bisa dibungkus. Tak terlihat pengunjung yang mengeluhkan ketiadaan meja dan kursi untuk bersantap.
Terlebih, jalan tersebut riuh dengan anak-anak yang bermain, pejalan kaki hilir mudik, dan pedagang minuman bergerobak menjajakan dagangannya. Berkali-kali pula, pengamen singgah menyanyikan lagu dangdut dengan pengeras suara sember yang bisingnya memekakkan telinga.
Pembeli yang mafhum, apalagi mengingat mereka tak segan berburu Nasi Uduk Bu Amah sampai blusukan, memang menggamblangkan kelezatannya yang bikin lidah bergoyang. Bulir-bulir nasi sungguh kaya santan dengan aromanya yang sudah merebak sebelum dikunyah.
Ayam goreng pun terkunyah gurih dilumuri aneka bumbu yang amat meresap. Saat dipadukan, kenikmatan ayam dan nasi bukannya saling melibas, tetapi menyatu dengan selaras. Tahu, hati, ampela, tempe, sampai-sampai sambal kacang dan bawang goreng yang begitu krispi pun tak kalah sedap.
Baca juga: Merapi di Antara Seruputan Kopi?open_from=Kuliner_Page
Sudah lumrah, bukan hari itu saja Nasi Uduk Bu Amah tandas kurang dari satu jam. Paling lambat, Ijah sudah menutup warungnya pada pukul 18.00. Ia tampak melepas lelah, sementara Yeny berbenah dan Wiwin berkutat dengan catatan penjualannya. Sesekali, dering telepon masih menggema.
”Sudah biasa konsumen tanya atau pesan lewat telepon. Kayak hari ini, order yang paling banyak 70 porsi,” ujar Ijah. Jika pesanan sudah sangat banyak, ia malah sudah tak menerimanya lagi sejak pukul 13.00. Tak urung, mereka yang langsung datang pada sore hari tak kebagian hidangan tersebut.
Bisa dimafhumi jika Ijah menyarankan pelanggan untuk bertanya dulu lewat telepon dengan nomor yang tercantum di internet. ”Kalau mau beli banyak, bisa pesan paling lambat sehari sebelumnya. Jadi, belanjanya nanti dilebihkan,” katanya.
Pembeli bisa melunasi pembayaran dengan transfer bank dan mengirimkan buktinya lewat aplikasi percakapan. Tak jarang, orang-orang gedongan mengirim pesuruhnya untuk menjinjing buntalan nasi uduk dengan mobil mentereng yang terpaksa diparkir di muka jalan itu.
Ijah lantas menyebut beberapa pesohor yang kerap mengecap santapannya. Seporsi nasi uduk dibanderol Rp 10.000, ayam Rp 30.000, tahu Rp 5.000, hati atau ampela Rp 2.500, dan tempe Rp 2.500. Jika dihendaki, pesanan bisa saja diambil pada pagi atau siang hari. Nasi Uduk Bu Amah tutup setiap Minggu.
Tak rahasia
Ia mengaku tak menyimpan rahasia untuk menyiapkan masakan khas Betawi tersebut. Ijah hanya teliti memilah bahan-bahan mentah yang benar-benar berkualitas. Minyak goreng, umpamanya, dipilih dengan harga tak kurang dari Rp 135.000 per jeriken berisi 5 liter.
Demikian pula beras seharga tak kurang dari 20.000 per kilogram (kg). Ia hanya menerima sereh, daun salam, cabai, kelapa, dan bawang merah yang segar. Setiap pukul 07.00, penjual bersepeda motor mengantar semua permintaan Ijah, termasuk ayam hidup.
”Ayamnya (ayam) kampung. Saya pengin yang dilepas (diumbar) supaya dagingnya enggak lembek, tapi kenyal. Kalau sakit, matanya merem, atau lemas, saya enggak mau,” tuturnya. Ia pun ogah menghaluskan kacang untuk sambal dengan blender, tetapi masih menumbuknya dengan alu dan lumpang.
Usaha itu bermula ketika mertua Ijah, Amah, asal Bogor, Jawa Barat, mengikuti suaminya ke Jakarta tahun 1949. Sepeninggal suaminya, Amah mesti mencari nafkah, termasuk untuk menghidupi anak semata wayang mereka, Asmadiredja, yang belum genap berumur 10 tahun.
Ia mulai menjual nasi uduk sekitar tahun 1965. Amah yang ulet masih lincah untuk turun tangan memasak, belanja, dan berjualan hingga tiga tahun sebelum berpulang pada 2017. Tak terhitung banyaknya pemilik modal yang membujuk nenek dengan tiga cucu tersebut untuk bekerja sama, tetapi selalu ditampik.
Baca juga: Tinutuan dan Rahang Tuna, Cita Rasa Manado yang Enak dan Enak Sekali
”Amah enggak mau buka cabang, soalnya capek. Sampai sekarang masih banyak yang ngajak, tapi enggak, deh,” ucap Ijah yang sudah ikut berdagang sejak 1970-an. Paling penting, ia bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari dengan dibantu tiga kerabat dan dua tetangganya.
Yeny menimpali soal pesanan terbanyak sampai 400 porsi per hari hingga ia dan pekerja-pekerja lain kewalahan. Permintaan saat pandemi mencapai puncaknya itu tak pernah mereka penuhi lagi. Kini, 250 porsi per hari yang terjual saja sudah tergolong banyak.
Hingga mancanegara
Tak hanya nasi uduk, banyak konsumen tergila-gila dengan sambal kacang, bahkan bawang goreng racikan Ijah. Pelanggan boleh mengeteng sambal kacang saja seharga Rp 75.000 per 250 mililiter. Suguhan pendamping yang masih likat tersebut bisa dicampur air hangat hingga takarannya menjadi setengah liter.
”Cabai masih mahal. Kalau normal, harga sambal kacang Rp 50.000. Bawang goreng juga dijual, Rp 450.000 per kg. Sampai dibawa ke Bandung, Makassar, dan Surabaya,” ujarnya. Sejumlah pembeli bahkan mengepak makanan itu untuk dibawa ke mancanegara, seperti Singapura, Australia, hingga Amerika Serikat.
Hary Kusnadi (48) menyukai Nasi Uduk Bu Amah karena begitu gurih yang sungguh pas dengan sambal kacangnya. Ia pun terpikat dengan ayam goreng yang kaya akan bumbu. ”Santannya berani. Biar jauh, terabas saja. Habis, saya suka wisata kuliner,” kata warga Gandaria Utara, Jakarta, tersebut.
Iman Fajri (48) rata-rata berkunjung ke Nasi Uduk Bu Amah sebulan sekali, yang ia gandrungi sejak lima tahun lalu karena pulennya. ”Sambal kacangnya saja enak. Santannya terasa banget. Bawang gorengnya juga renyah,” tutur warga Jagakarsa, Jakarta, itu.