Menua Bersama, Berdua Saja
Pernikahan tanpa anak tetap bisa menggairahkan dan tak kurang senangnya. "Childfree" menjadi jalan lain mencari bahagia.
Kontra dan stigma acap mengikuti pembahasan mengenai konsep childfree yang mulai banyak dijalani pasangan di era ini. Padahal, standar bahagia tiap individu bisa berbeda maknanya. Dengan atau tanpa anak, keluarga tetaplah keluarga.
”Ah, baju kita sama. Beneran jodoh kita,” seru Tika Primandari (35) ketika masuk di ruang virtual (Google Meet), Rabu (17/1/2024) malam, dan mendapati suaminya, Tri Doso Novrianto (37), mengenakan kaus motif garis.
Kebetulan saat ini keduanya tengah terpisah jarak karena Tika sedang menjalani pelatihan terkait pekerjaannya di Singapura selama beberapa hari, sementara Anto berada di Jakarta merampungkan proyek menyunting video. Kondisi ini sudah biasa dijalani pasangan yang genap menikah selama lima tahun pada akhir tahun lalu itu.
Semula ada yang menyangka kesibukan kerja ini yang membuat keduanya menunda punya momongan. Padahal, mereka memang telah bersepakat untuk tidak memiliki anak. Keputusan ini mereka ambil sejak berpacaran. ”Tadinya, gue pikir sebagai perempuan enggak punya opsi untuk enggak punya anak karena emang seharusnya gitu. Ternyata ada opsi ini (childfree),” kata Tika.
Bagi Anto, Tika memiliki hak atas tubuhnya untuk hamil dan melahirkan atau tidak sehingga mendukung penuh konsep childfree ini. Lagi pula, Anto merasa curahan kasih sayangnya dapat disalurkan pada hewan peliharaan yang sudah sejak lama dilakukannya. Di sisi lain, ia juga tak mau menambah populasi dunia yang kian sesak.
Kan, punya anak enggak cuma kasih makan, tapi juga pendidikan dan nilai moral. Saya merasa kalau enggak bisa jadi orangtua yang baik, bakal kasihan anaknya.
Tika pun demikian. Setiap orang, ujarnya, bisa saja berubah pikiran di kemudian hari. Ia dan Anto mengambil ancang-ancang, jika suatu waktu nanti muncul keinginan memiliki anak, adopsi menjadi pilihan.
Mereka tak menampik ada dorongan dari keluarga besar yang ingin menimang cucu. Namun, mereka memilih untuk nantinya terbuka mengenai keputusan ini. ”Belum blak-blakan, ya,” ujar Anto.
Kini, keduanya menjalani hidup yang bahagia dan manis sesuai dengan versi mereka. Jalan-jalan ke aneka festival di berbagai belahan dunia, wisata kuliner, atau sekadar berkeliling kota. Kerap juga mereka berdiskusi intens untuk menghasilkan karya. Dari semua itu, tujuan mereka sesungguhnya adalah menua bersama.
Pikiran serupa ada di kepala Kei Savourie (42) dan Lilia (40). Mereka sepakat tentang pentingnya tujuan menikah. Untuk mereka, pernikahan lebih dari sekadar memiliki anak, tetapi untuk menua bersama dan menjalani hidup sebagai sepasang sahabat. ”Pengin tua bareng, ompong bareng, keliling dunia bareng,” ujar Kei.
Mereka memutuskan untuk tak memiliki anak. Kesepakatan Kei dan Lilia ini juga sudah termaktub sejak berpacaran. ”Jadi, ketemu Lilia awalnya di Twitter. Dia pernah lihat cuitan saya tentang childfree. Ternyata dia juga punya pemikiran yang sama,” ucap Kei.
Baca juga: Kerja Keras Lagi, Nanti Bisa Liburan Lagi
Buat Kei, punya anak itu butuh tanggung jawab besar. ”Kan, punya anak enggak cuma kasih makan, tapi juga pendidikan dan nilai moral. Saya merasa kalau enggak bisa jadi orangtua yang baik, bakal kasihan anaknya,” kata Kei.
Sementara untuk Lilia, selain tanggung jawab, proses adaptasi perempuan ketika beralih sebagai seorang ibu butuh upaya besar. Dari hamil, melahirkan, menyusui, hingga pengasuhan, persentasenya tentu lebih besar di tangan perempuan. Meski di masa kini pengasuhan bisa disepakati berdua dengan pasangan, keterlibatan perempuan umumnya lebih dominan.
Memasuki usia delapan tahun pernikahan, keduanya sudah tak lagi dihujani pertanyaan kapan punya anak. Orangtua juga tak pernah memaksa mereka memiliki keturunan. Saat ini, keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan membuka akun bernama Childfreelife.id sebagai wadah bagi teman-teman sepemikiran.
Memilih anak asuh
Dhyan (30), warga Tangerang Selatan, Banten, sejak beranjak dewasa bertekad tidak ingin punya anak dari rahimnya sendiri. Keputusan itu bahkan sudah ia sampaikan kepada pacarnya. Si pacar menyetujui keinginan Dhyan. Keduanya sudah sepakat, jika nanti menikah, mereka tak akan punya anak kandung. Sebagai gantinya, ia dan pasangannya memilih akan merawat anak-anak telantar di lingkungan mereka.
Keputusan tak ingin punya anak muncul setelah lebih dari 15 tahun Dhyan melihat, banyak orangtua tak mampu merawat anak dengan baik. Mendiang ayahnya, dosen di Jayapura, bersama ibunya kemudian menampung mereka sampai rumah penuh penghuni tambahan, selain Dhyan dan empat saudara kandungnya. Ayah dan ibu Dhyan juga menyekolahkan anak-anak itu.
Melihat nasib mereka, Dhyan berpikir, alangkah sulit mengasuh anak sehingga orangtua meninggalkan anaknya atau tak menyekolahkan anaknya. Karena itu, dia berniat mengasuh anak saja. Orangtua Dhyan tak keberatan.
Sebenarnya Dhyan suka dengan anak kecil. ”Tapi jujur, saya tak sanggup punya anak sendiri karena tanggung jawabnya berat dan tidak mudah merawat anak,” katanya.
Alasan
Mengutip dari DataIn milik Badan Pusat Statistik, prevalensi perempuan childfree di Indonesia saat ini sebanyak 8 persen. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 pun mengestimasi angka tersebut terhadap ”perempuan berusia 15-49 tahun yang pernah kawin, tetapi belum pernah melahirkan anak dalam keadaan hidup serta tidak menggunakan alat KB” dan diperoleh 71.000 dari mereka tidak ingin memiliki anak.
Adapun menurut Oxford Dictionary, istilah childfree merupakan suatu kondisi ketika seseorang atau pasangan tidak memiliki anak karena pilihan secara sadar dan sukarela. Secara biologis, keduanya berpotensi punya keturunan, tapi mereka mengambil jalan childfree dengan sejumlah alasan, mulai dari kepedulian lingkungan, psikologis, sosial, hingga ekonomi.
Fenomena childfree muncul juga di sejumlah negara, seperti Jepang, Jerman, Austria, Spanyol, hingga Korea Selatan. Bahkan, banyak yang memilih tidak menikah sekaligus tidak mau punya anak. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran di negara-negara itu karena berdampak pada perlambatan pertumbuhan penduduk.
Kondisi negara
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Raphaella D Dwianto, menyampaikan, prinsip para pasangan suami istri tersebut sebetulnya dipengaruhi situasi suatu negara dan masyarakatnya, baik di tingkat global maupun Indonesia. Setidaknya, ada empat faktor yang dapat dilihat dan dijadikan pertimbangan.
Terkadang tidak ada jaminan pengasuhan anak akan sesuai dengan standar yang prima karena belum ada sistem nasional yang menjamin kualitas babysitter atau asisten rumah tangga.
Pertama, kondisi ekonomi Indonesia dan global. Kemudian, jaminan kesejahteraan dari pemerintah, perubahan struktur keluarga di Indonesia, dan ideologi global yang salah satunya terkait dengan perubahan iklim yang membuat ketidakpastian masa depan bumi.
”Kelihatannya sekadar keputusan pribadi, padahal kondisi negara dan masyarakat ikut berpengaruh,” ujar Raphaella.
Meski saat ini di Indonesia tersedia sistem kesejahteraan nasional, seperti BPJS hingga program bantuan dana pendidikan, aksesibilitas serta distribusinya belum merata dan tepat sasaran.
Adagium banyak anak banyak rezeki seakan gugur. Sebab, banyak anak artinya makin banyak kebutuhan yang perlu disediakan. Raphaella menambahkan, dalam konteks ekonomi dan kesejahteraan, perempuan saat ini juga harus ikut menyokong ekonomi keluarga dengan bekerja, baik di rumah maupun di luar rumah.
”Ini mendorong pengasuhan anak bergeser dengan babysitter atau asisten rumah tangga. Terkadang tidak ada jaminan pengasuhan anak akan sesuai dengan standar yang prima karena belum ada sistem nasional yang menjamin kualitas babysitter atau asisten rumah tangga tadi,” ucap Raphaella.
Pada era 1960-an, gerakan Keluarga Berencana di Indonesia berusaha melakukan pembatasan kelahiran. Belakangan, iklan layanan masyarakat mengenai hal ini juga mulai gencar disiarkan. Ironisnya, ketika ada pasangan suami istri yang memilih tak punya anak sama sekali malah dipersoalkan. Padahal, jumlah pasangan tanpa anak di Indonesia dengan konsep childfree tak sampai 10 persen.
Baca juga: Liburku Sayang, Inginnya Lebih Panjang….
Akan tetapi, kemungkinan jumlah ini bisa bertambah jika melihat situasi lingkungan saat ini. Namun, konsep childfree ini memang masih menyasar kelompok sosial menengah, mengingat kelompok ini memperoleh pendidikan tinggi sehingga banyak berpikir mengenai empat faktor yang dijelaskan sebelumnya.
Terlepas apa pun yang melandasi alasan dan motifnya, kesepakatan childfree setiap pasangan wajar saja. Toh, dengan atau tanpa anak, perjuangan hidup ini sejatinya urusan masing-masing. Kalau bisa bahagia dengan cara pribadi, maka tidak perlu ruwet mengurus standar hidup dan keputusan orang lain.
”Ini bahagia versi kami, kalian juga bisa bahagia dengan versi kalian,” begitu kata Anto.