Jalan Kebahagiaan Tanpa Keturunan
Berbagai alasan pasangan memutuskan tak punya anak. Mereka tak lantas nelangsa. Namun, nilai usang masih menghalangi.
Makin banyak pasangan dengan sadar memilih hidup berdua saja tanpa keturunan. Motivasinya bermacam-macam. Layaknya kekasih yang bahagia, mereka menikmati dunia milik berdua saja. Toh, ada keponakan, orangtua, teman karib, atau anak bulu yang mewarnai keseharian di sela kesibukan.
Christopher Bollemeyer dan Saras Dewi adalah sepasang suami istri sejak 2010. Masing-masing punya kesibukan. Coki, panggilan Christopher adalah gitaris grup rock ternama NTRL dan Bongabonga. Sementara Yayas, panggilan Saras, menekuni dunia akademik sebagai dosen dan penulis.
Hingga kini, mereka tidak memiliki keturunan, dan tidak keberatan disebut menjalani hidup childfree. Curahan kasih sayang mereka mengalir ke binatang piaraan. Di rumah, mereka merawat 15 anjing. Sekarang, ada sekitar sembilan kucing yang melenggang di rumahnya. Jumlah kucing berganti-ganti karena mereka tinggal di dekat pasar. Pasangan itu juga memelihara ular dan ikan.
”Rumah (kami) seperti penampunganlah. Dulu, anjing bisa sampai 40 ekor karena saya selamatkan,” kata Coki. Para ”anak bulu” atau anabul itu bisa datang dan pergi sesuka mereka. Coki dan Yayas tak mengekang. Meski begitu, mereka tetap menyiapkan persediaan makanan.
Baca juga: Jodoh Memang Tak ke Mana, tapi di Mana?
”Kucing pasar kalau dikasih makanan, yang lain ikut datang. Tapi, nggak apa. Saya dan Saras memang senang pelihara binatang,” katanya. Ucapan Coki itu seperti membuktikan bahwa kasih sayang semestinya membebaskan. Kebahagiaan menguar jika anak-anak bulu mereka dapat atap bernaung dan perut kenyang.
Pasangan Kei Savourie (42) dan Lilia (40) juga mengasuh dua anjing yang kerap menemani kegiatan mereka. Mereka bahkan berencana menghabiskan masa tua dengan membuat rumah penampungan (shelter) buat anak-anak bulu. Saat ini, Kei dan Lilia memutuskan tidak berketurunan. Hidup berdua, ditemani anjing, membuat perasaan mereka penuh.
Saban tahun, Kei dan Lilia belribur; bisa ke luar negeri atau ke luar Jakarta saja. Selain itu, kebetulan juga mereka sama-sama hobi menonton film. ”Pas pandemi itu di rumah aja, kan, berdua. Kami nonton film seri bareng. Habis satu judul, bingung mau menonton apa lagi karena sudah banyak yang ditonton,” kata Kei tertawa-tawa. Ringan sekali.
Kadang dia ’nimbrung’ seperti bapak-bapak kebanyakan. Seperti kalau berkumpul dengan rekan satu bandnya, Coki menanyakan kabar anak-anak mereka: mulai dari umur, kesehatan, sampai uang sekolah. Topik anak tak pernah ia tabukan.
Sejoli ini telah menikah selama delapan tahun. Hidup berdua dengan istri, diakui Kei makin menyenangkan karena sedari awal keduanya menganggap satu sama lain sebagai sahabat. Tak ada ekspektasi yang berubah sejak pacaran hingga menikah. Masing-masing bebas menjalani kesehariannya, dan semua hal selalu diceritakan dan didiskusikan.
”Biasanya saat sudah menikah, ekspektasi berubah. Waktu pacaran baik-baik saja. Saat sudah menikah muncul harusnya sebagai suami begini, sebagai istri begitu. Berantem, deh. Kami mengelola itu, dan kuncinya jadi best friend aja, deh. Enggak ada yang ngelarang ini-itu. Saling dukung,” kata Kei yang bekerja sebagai konsultan hubungan di Kelas Cinta.
Coki dan Saras juga menganggap hubungan mereka tetap asyik layaknya sepasang kekasih. Mereka punya istilah untuk pola hubungan yang mereka jalani, yaitu long time relationship alias pacaran jangka panjang. ”Kalau pasangan lain, kan, LDR (long distance relationship/pacaran jarak jauh). Sejak ketemu Yayas sudah sama-sama sibuk. Tapi malah keenakan kayak pacaran,” ujarnya dirangkai tawa.
Di lingkungan pergaulan, Coki tak menampik sering bersinggungan dengan pembicaraan mengenai anak atau keturunan. Dia santai-santai saja. Kadang dia nimbrung seperti bapak-bapak kebanyakan. Seperti kalau berkumpul dengan rekan satu bandnya, Coki menanyakan kabar anak-anak mereka: mulai dari umur, kesehatan, sampai uang sekolah. Topik anak tak pernah ia tabukan.
Rentang usia
Pasangan Jaka Anindita (50) dan Chempaka Sjahbudin (47) merasa bahagia hidup bersama berdua saja. Bagi mereka, menikah bukan melulu urusan reproduksi, melainkan agar bisa berbagi kebahagiaan satu sama lain. Romantisnya.
Romantisme itu beralasan. Keduanya menikah lima tahun lalu, saat usia masing-masing sudah tidak dibilang muda lagi. Ketika menikah pada 13 April 2019, mereka merasa belum saling mengenal secara mendalam sebab usia pacarannya ”cuma” satu setengah tahun. Masa awal pernikahan ”memperpanjang” usia pacaran, alias lebih saling mengenal dan memahami. Jika periode ini disambi momong anak, mereka khawatir tujuan mengenali diri sebagai pasangan tak terpenuhi. Mereka menganggap ini fase penting.
Baca juga: Dari Kencan Aplikasi, Turun ke Hati
Faktor lainnya adalah usia. Menurut Peggy, panggilan Chempaka, jika punya anak di usia sekarang, rentang umurnya akan sangat jauh. Ketika sang anak berusia 20 tahun, orangtuanya hampir berkepala tujuh. ”Bagi kami, tidak fair jika anak kami langsung mendapat beban merawat orangtuanya yang sudah berumur,” kata Jaka yang bekerja di bidang kehumasan sebuah perusahaan ini.
”Bagaimanapun, di usia 20 tahunan, dia butuh main dan kumpul bersama teman sebaya. Eh, nanti yang ada malah kudu merawat aki-aki,” timpal Peggy yang merupakan psikolog industri ini. Ketika menceritakan ini, Peggy dan Jaka duduk bersisian, saling melempar tawa.
Pertimbangan lain adalah kekuatan fisik dan finansial. Mengasuh anak balita yang aktif ketika otot dan tulang semakin renta bukan perkara gampang.
Pertimbangan-pertimbangan ini sudah mereka utarakan kepada keluarga masing-masing. Tak ada sanggahan atau tekanan tertentu yang mereka terima.
Oleh karena itu, Peggy dan Jaka merasa kehidupan pernikahan mereka saat ini sangat menyenangkan. Mereka merasa dikelilingi keluarga yang mendukung.
Sesekali mereka bermain bersama keponakan; diinapi, sampai menjemput les kalau orangtuanya sedang sibuk. ”Kami punya relasi yang sangat baik dengan saudara dan keponakan, bukan supaya kalau sudah tua dirawat, ya. Tapi, ya, begitulah sebuah keluarga, selalu saling terhubung,” ucap Peggy.
Kenyamanan
Selama hampir lima tahun menikah, Jaka dan Peggy tak merasa kesepian tanpa anak. Mereka menikah bukan karena takut kesepian, tapi karena menemukan orang yang tepat, atau compatible—istilah Peggy. Mereka punya banyak waktu melakukan apa saja di rumah, mulai dari belajar memasak masakan sehat sampai mengobrol melantur hingga pagi. ”Kami berdua merasa nyaman,” kata Peggy. Manisnya.
Pasangan yang baru menikah biasanya langsung ditanya kapan punya anak. Pertanyaan—meski basa-basi—tak berhenti begitu saja. Kalau sudah punya anak, ditanya kapan menambah momongan. Secara tak langsung, hal ini membebani pasangan tertentu. Tekanan atau ’hukuman’ sosial ini bisa terasa lebih berat dibandingkan hukuman badan atau penjara atau denda.
Kei dan Lilia pun merasa demikian. Bagi mereka, kebahagiaan dan kenyamanan bersumber dari diri masing-masing. ”Jangan menggantungkan kebahagiaan ke orang lain. Jangan minta orang lain membahagiakan kita, harus dari diri sendiri dulu. Ini berlaku juga saat mau menikah, cari yang bikin diri kita happy dulu. Jadinya, nanti saat menikah bisa saling membahagiakan,” kata Kei setengah memotivasi.
Coki dan Yayas menjaga kemesraan dengan sesekali berwisata, atau mengisi waktu menuntaskan gagasan-gagasan yang tertunda selama pandemi. Pasangan ini menjalani pernikahan mereka tanpa beban, berjalan sebagaimana mestinya, sembari mengisi dengan berbagai kesibukan.
Menghadapi tantangan
Dosen Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Lucinda, meyakini, keluarga yang memilih tak berketurunan secara sadar sudah ada sejak lama. Belakangan, fenomena ini mengemuka karena diamplifikasi para pemengaruh (influencer) media sosial. Keluarga yang memilih childfree, kata Lucinda, mengemban tantangan dari lingkungan, baik keluarga sendiri maupun masyarakat sekitar.
”Masyarakat kita masih banyak menganut nilai-nilai lama dan sistem yang patriarki atau patrilineal. Keberadaan anak dalam sebuah keluarga dianggap penting sebagai penerus darah atau keturunan,” kata Lucinda, Jumat (19/1/2024), saat dihubungi per telepon.
Dalam keseharian, lanjutnya, pasangan yang baru menikah biasanya langsung ditanya kapan punya anak. Pertanyaan—meski basa-basi—tak berhenti begitu saja. Kalau sudah punya anak, ditanya kapan menambah momongan. Secara tak langsung, hal ini membebani pasangan tertentu. Tekanan atau ”hukuman” sosial ini bisa terasa lebih berat dibandingkan hukuman badan atau penjara atau denda.
Dari gambaran itu, Lucinda berpendapat, fenomena keluarga childfree belum menunjukkan pergeseran nilai di masyarakat. Kalaupun bergeser, tidak terjadi dalam waktu dekat. ”Kecuali pilihan itu didukung dan dijalani masyarakat urban dalam skala besar. Tapi, saya kok melihatnya di sini (Indonesia) belum terjadi pergeseran seperti itu,” ucapnya.
Di negara lain, pertimbangan berkeluarga tanpa anak didasari alasan logis seperti enggan menelantarkan anak karena kedua orangtuanya sibuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pertimbangan ekologis juga kerap terlontar.
Di Indonesia, kata Lucinda, anak masih dibebani tanggung jawab mengurus orangtua di hari tua mereka nanti. Menitipkan di panti jompo membutuhkan biaya tinggi, atau lebih buruk lagi, dianggap tabu. Berbeda dengan negara seperti Amerika Serikat dan Jepang yang mengalokasikan anggaran sosial cukup besar untuk panti jompo.
Memanusiakan manusia agaknya masih cukup pelik di sini. Meski begitu, keputusan untuk berketurunan atau tak berketurunan tetap patut dihargai.