Jodoh Memang Tak ke Mana, tapi di Mana?
Ada seribu cara mencari jodoh di zaman modern, tapi warga urban tetap sulit menemukan cinta. Apa Dewa Cupid sedang cuti?
Cari jodoh di zaman sekarang itu gampang-gampang susah. Kesibukan melumat habis waktu dan energi masyarakat urban. Tak ada tenaga tersisa untuk bersosialisasi, apalagi berkenalan dengan orang baru dari nol. Di sisi lain, ada tekanan sosial untuk menikah. Katanya jodoh takkan ke mana. Tapi, kok, tidak ketemu-ketemu?
Marcella (29) baru saja melahirkan bayi setelah menikah pada 2022. Suaminya, William (31), adalah teman baru yang dikenalnya melalui aplikasi kencan Tinder. Salah satu teman karib Marcella sebetulnya sempat khawatir karena William adalah pria asing. Kenalnya online pula. Temannya takut William adalah penipu seperti yang marak ada di berita kriminal.
Tetapi Marcella punya cara sendiri untuk menguji William. Ia pun melihat kesungguhan William untuk menjalin hubungan serius. Keduanya merasa cocok lalu berpacaran selama sekitar dua tahun.
“Kita harus open di zaman sekarang karena circle (pertemanan), kan, begitu-begitu aja. Enggak mungkin lu pacarin temen-temen sendiri,” ucap Marcella, Selasa (9/1/2024).
Perkataan pegawai swasta di Tangerang ini ada benarnya. Mesti diakui bahwa semakin usia bertambah, semakin kecil pula lingkaran pertemanan seseorang. Peluang berkenalan dengan orang baru menjadi tak banyak karena teman kita itu-itu saja. Padahal, salah satu resep enteng jodoh adalah memperluas pergaulan.
Sebetulnya Marcella sempat dilema sebelum bertemu William. Lingkaran pertemanannya terbatas. Waktu untuk bersosialisasi juga terbatas karena sibuk bekerja. Pandemi Covid-19 lantas menghantam pada 2020 dan kian membatasi pergaulannya. Di sisi lain, ia punya tekanan dari keluarga untuk segera menikah.
“Kita harus open di zaman sekarang karena circle (pertemanan), kan, begitu-begitu aja. Enggak mungkin lu pacarin temen-temen sendiri.”
Dilema Marcella sebetulnya bukan hal baru di kota besar. Dilema serupa ditemukan jejaknya setidaknya pada tahun 1970-an.
Pada tahun 1976, Menteri Agama Mukti Ali mengharapkan Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perkawinan (BP4) mampu membantu mencarikan jodoh buat para lajang. Menurut dia, ini perlu karena penduduk kota-kota besar selalu sibuk bekerja. Mereka pun hidup dalam masyarakat anonim sehingga mencari jodoh itu mustahil buat mereka (Kompas, 17/12/1976).
Lima tahun kemudian, BP4 DKI Jakarta membentuk Biro Konsultasi Jodoh bagi seluruh warga Jakarta. Biro ini menyediakan layanan konsultasi jodoh dan rumah tangga, baik untuk orangtua maupun remaja usia kawin (Kompas, 27/3/1981).
Sudah berikhtiar
Ada pula yang sudah berupaya macam-macam, tetapi jodohnya tak kunjung tampak. Penulis dan pengusaha Margareta Astaman (38) gemas benar jika dituduh kurang berusaha dalam mencari jodoh. Layanan biro jodoh Lunch Actually pernah dicoba. Minta bantuan pada teman untuk dikenalkan dengan lelaki pun pernah dilakoni, tapi belum ada yang kena di hati.
Aplikasi kencan seperti Tinder pun tak luput dijajal. Namun ia menyerah karena kerap match dengan orang yang tak cocok. Ada yang hanya ingin hubungan semalam, ada pula yang malah menawarkan barang dagangan.
“Makanya kalau orang bilang kurang usaha, ihhh! Tuhan tahu usahaku sudah seperti apa,” katanya gemas.
CEO Java Fresh ini memutuskan fokus membangun diri dan karier. Ia juga menulis buku The Overqualified Leftover Club yang berisi kisah para perempuan lajang berusia matang. Buku fiksi ini diangkat dari kisah nyata dia dan teman-temannya. Mereka sama-sama mengalami tekanan sosial untuk segera menikah.
Tetapi Margareta tak mau ambil pusing. Ia telah berdamai dengan keadaan dan yakin bahwa jodoh akan datang di waktu yang tepat. Tak perlu kesusu!
Dari pengamatannya, ia menyimpulkan bahwa orang-orang kadang menetapkan standar tertentu untuk pasangan. Tanpa sadar, justru nilai atau value diri individu jadi tergantung pada kualitas pasangan. Padahal, nilai diri melekat pada individu, bukan orang lain. Akibatnya beberapa orang berupaya membentuk pasangannya sesuai kriteria yang diidamkan. Ada pula yang akhirnya terjebak hubungan toksik.
“Ketika kita bisa merasa cukup dan punya pandangan positif pada diri sendiri, percayalah, relasi sehat itu ada!” tuturnya.
Rebecca (30) sependapat. Setelah berupaya membuka keran pertemuan selama bertahun-tahun, ia kini fokus ke diri sendiri. Soal jodoh jadi urusan kesekian. Ia meyakini bahwa sebelum bertemu pasangannya nanti, penting untuk mempersiapkan diri dan beres dengan diri sendiri dulu, antara lain persiapan finansial dan dewasa secara mental.
“Tahu dulu apa yang mau kita cari. Setelah itu entah kenapa gue yakin pasti akan ketemu. Kalaupun belum ketemu, ya enggak apa karena setidaknya satu achievement udah unlocked, yaitu udah bisa mencintai diri sendiri dan nyaman sama diri sendiri dulu aja,” kata pekerja di bidang komunikasi itu.
Baca juga : Liburku Sayang, Inginnya Lebih Panjang….
Sebelumnya, ia mencoba peruntungan jodoh lewat bantuan teman, perkenalan di komunitas, dan menjajal berbagai aplikasi kencan, seperti Tinder, Bumble, dan Coffee Meets Bagel. Tak semua berbuah manis, salah satunya ketika teman kencannya malah mengeluarkan formulir asuransi setelah beberapa kali pertemuan. Ternyata dia agen asuransi….
Tekanan sosial
Dalam buku Singled Out: How Singles are Stereotyped, Stigmatized, and Ignored, and Still Live Happily Ever After, Bella De Paulo menyatakan, orang-orang yang tak kunjung mendapat jodoh atau memilih sendiri dulu masih terus menjadi target perundungan dari lingkungan sekitarnya. Bahkan saat sejumlah orang menyatakan lebih nyaman untuk menjadi single, tekanan untuk mendapat pacar atau sekadar teman kencan tetap ada.
Dosen psikologi Universitas Bina Nusantara dan peneliti relasi interpersonal, Pingkan CB Rumondor, menilai menikah dilihat sebagai pencapaian di Indonesia. Memang ada penelitian yang menyebut bahwa orang yang menikah lebih bahagia dibandingkan yang tidak. Tetapi, ini bisa juga terjadi karena pandangan masyarakat yang seolah meninggikan status pernikahan, entah karena pengaruh agama, suku, atau budaya tertentu.
”Menikah adalah pilihan yang perlu dipertanggungjawabkan. Jadi, menurut saya, menikah bukan sekadar prestasi belaka. Justru ’hadiah’ dari menikah bukan terletak di status hukun, melainkan kualitas hubungan,” katanya, Sabtu (13/1/2024). ”‘Hadiah’ ini tidak datang secara otomatis, tapi melalui usaha dan kerja sama dua pihak.”
Merespons soal sulitnya mencari jodoh, Pingkan menilai hal ini sangat relatif. Sebab tak semua masyarakat urban sibuk. Bisa jadi mereka menikmati hidupnya dan memilih sendiri dulu, atau hubungan jangka panjang belum jadi prioritas.
Walakin, keterbatasan waktu dan energi memang dipertimbangkan sebagai tantangan. Ini membuat seseorang mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki saat mencari pasangan, seperti ketersediaan waktu.
Selain itu, pertimbangan memilih pasangan di zaman sekarang kian variatif. Jika dulu ”cukup” mencari pasangan yang cocok di hati dan dapat restu orangtua, kini variabelnya bertambah antara lain menjadi kesesuaian pandangan hidup, peran jender, serta persepsi terhadap komitmen dan pernikahan.
Adapun secara umun, Pingkan menyebut ada baiknya mencari pasangan yang matang secara psikologis, yakni yang mampu mengenali dan mengelola emosi serta hidupnya. Kedua, orang yang dapat diandalkan, artinya perkataan dan perilakunya selaras.
Namun bukan berarti harapan dan keberuntungan soal jodoh tak ada. Kawendra (38) berjumpa dengan istrinya, Narantika (34), saat tak sengaja berpapasan di pementasan teater. Tak disangka sebulan kemudian keduanya bertemu lagi di sebuah diskusi seni. Keduanya lantas bertukar nomor ponsel dan bertunangan empat bulan kemudian, disusul menikah dua bulan kemudian. Kini mereka sudah menikah selama lima tahun dan masih rutin nonton teater bareng, bahkan sampai lintas benua.
Sementara Jessica (27) bertemu suaminya, Abhe (29), setelah iseng menggunakan Tinder. Kesukaan terhadap anjing bisa memperlancar obrolan keduanya. Mereka menikah setelah tiga tahun pacaran dan kini menanti kelahiran anak pertama.
Tak ada yang bisa memastikan kapan dan bagaimana dua sejoli bertemu. Sembari menunggu, ada baiknya meng-upgrade diri agar nanti bisa bertemu pasangan yang sepadan. Dan dengan atau tanpa pasangan, Anda sama berartinya.
Baca juga: Bisnis ”Sleeper Bus”, Jorjoran Memanjakan Penumpang
(Sebagian isi artikel merupakan sumbangan dari intern Kompas Kamila Meilina, mahasiswa Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia)