Musik Seirama dengan Kontestasi Politik
Industri pertunjukan, terutama musik, diperkirakan tetap berdentum keras meski diwarnai kontestasi politik. Konser dan festival telah dijadwalkan. Penggemar juga antusias menyambut idola mereka.
Obrolan tentang kontestasi pemilihan presiden menyelisip di ruang keluarga saat libur akhir tahun ini. Kampanye telah dimulai, coblosannya Februari 2024, dan mungkin tetap riuh jika sampai putaran kedua pada Juni. Meski begitu, konser dan festival musik bakal beriringan dengan kontestasi politik.
Pertengahan Desember lalu, promotor Rajawali Indonesia mengundang segelintir wartawan ke sebuah restoran di daerah Cikini, Jakarta Pusat. Pengelola hajatan Jogjarockarta dan Prambanan Jazz ini mengumumkan akan membikin konser tunggal Diana Krall di Jakarta pada Mei nanti, sekitar tiga bulan setelah pemilihan presiden, atau sebulan sebelum putaran kedua pemilihan—jika perlu.
Jadwal pertunjukan penyanyi jazz asal Kanada itu berada di antara momen besar politik. Ini keputusan berisiko. Belum cukup menghelat acara itu. Rajawali sudah punya sejumlah jadwal acara lain. Perhelatan terdekat adalah Jogjarockarta, festival musik rock berskala menengah, pada Januari nanti yang mengundang legenda thrash metal Kreator dari Jerman sebagai bintang tamu.
Gelaran Prambanan Jazz juga sudah ditetapkan tanggalnya, yakni pada 4-6 Juli 2024, dengan mengundang sedikitnya tiga penampil dari mancanegara—salah satunya adalah grup opera Queen of the Opera yang menyuguhkan lagu-lagu Queen. Ini salah satu hajatan besar saban tahun, yang kebetulan nanti memasuki penyelenggaraan kesepuluh.
Anas Alimi, salah satu pendiri Rajawali Indonesia, tak terlalu mencemaskan urusan keamanan negara yang kira-kira bakal mengancam acara besutannya. ”Tahun depan (2024) industri konser dan festival musik bakalan cerah,” kata Anas seusai acara. Dia optimistis pemerintah tak bakal ”membunuh” pelaku industri ini setelah hampir tiga tahun belakangan tersungkur oleh pandemi Covid-19.
”Meski ada pemilihan umum, pemerintah tidak membatasi penyelenggaraan acara musik. Asosiasi promotor telah berbicara dengan pihak kepolisian, pembatasan acara musik hanya terjadi di Jakarta pada bulan Februari dan Juni saja. Di luar itu, acara musik dibolehkan,” kata Anas.
Kabar itu melegakan. Musik bisa jadi katarsis bagi masyarakat yang didera masalah, mulai dari pandemi Covid-19 hingga hiruk-pikuk politik elektoral di tahun 2024 nanti. Sejumlah agenda konser sudah diumumkan berbagai penyelenggara. Beberapa di antaranya konser yang digelar pada Januari nanti, sebulan sebelum pencoblosan.
Duo asal Jepang, Yoasobi, bakal menyapa penggemarnya di Istora Senayan pada 16 Januari. Sebelas hari kemudian ada Jogjarockarta di Yogyakarta dengan bintang tamu grup Kreator dan In Flames. Sebelum dua pertunjukan ini, ada grup asal Korea Selatan, NCT 127, yang kembali berpentas di Senayan, Jakarta, pada 13-14 Januari.
Pada bulan Februari, grup Jonas Brother asal Amerika Serikat berpentas di ICE BSD, Tangerang, Banten, sepuluh hari setelah tanggal pencoblosan. Bahkan, sehari setelah pemilihan suara, ajang pameran otomotif Indonesian International Motor Show 2024 diselenggarakan pada 15-25 Februari 2024 di JIExpo Kemayoran, Jakarta. Seperti tahun lalu, pameran tahun ini juga menyuguhkan konser musik.
Beberapa festival besar juga memastikan tetap berjalan. Festival musik Joyland edisi Bali dihelat pada 1-3 Maret dengan salah satu bintang tamu Kings of Convenience asal Norwegia. Penyuka musik jazz dan turunannya akan kembali bersuka di Java Jazz Festival pada 24-26 Mei. Sementara etalase musik lokal Synchronize Festival dipastikan berlangsung pada 4-6 Oktober di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta.
Tahun ini, konser megah yang direncanakan terjadi adalah pertunjukan solois dari Inggris, Ed Sheeran, di Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 2 Maret. Tahun 2023, stadion ini menampung puluhan ribu penggemar Coldplay, juga Black Pink. Itu adalah beberapa pertunjukan yang karcisnya sudah mulai dijual—beberapa di antaranya terjual habis yang bakal berlangsung selama 2024.
Antusias
Rasa antusias menumpuk di hati Icha ND (20) menjelang tahun baru. Sebentar lagi dia akan bisa menyaksikan konser grup idola kesayangan, NCT 127, pada 14 Januari 2024 di Jakarta. Tiket seharga tiga juta rupiah lebih sudah ada di tangannya.
”Aku beli tiketnya dari pertengahan Desember ini meskipun harganya semakin mahal. Sebenarnya ini juga nekat banget beli karena kemungkinan besar ini jadi tur terakhir NCT 127 sebelum mereka mulai wajib militer,” kata mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya ini di Tangerang Selatan, Kamis (28/12/2023).
Kami tahu kami adalah target suara mereka. Tetapi, politikus harus mencari cara lain untuk membuat kami percaya dan bisa menggaet suara kami, misalnya dari debat.
Kata nekat mungkin tepat menggambarkan perasaan Icha yang lain. Ia sadar betul bahwa tahun depan merupakan tahun politik yang rawan kekacauan. Belum lagi konser NCT pernah ramai dengan kericuhan dan isu bom serta fakta bahwa konser kali ini berlangsung di pusat kota Jakarta, tidak seperti sebelum-sebelumnya di Banten.
Pertimbangan tandingannya adalah Icha mencatat waktu penyelenggaraan konser masih sebulan sebelum hari pencoblosan Pilpres 2024. Dari pengamatannya, sejauh ini tidak ada potensi tindakan anarkistis seusai beberapa kali debat capres dan cawapres. Amanlah, demikian Icha membatin.
Icha juga sudah menyiapkan mental kalau-kalau konsernya bisa saja batal. ”Kalau, misalnya, ada kejadian yang enggak mengenakkan dan konsernya bubar, ya aku enggak bisa apa-apa. Ikhlas aja. Tetapi, kalau konsernya ditunda dekat waktu nyoblos, mungkin aku akan jual tiketku karena kita enggak bisa menebak pendukung paslon punya niat apa,” ujarnya.
Bicara tentang politik, Icha akan mencoblos untuk kali pertama pada tahun 2024. Ia mengaku belum menentukan pilihan, tetapi belakangan jadi rajin membahas politik bersama teman-teman penggemar K-Pop lainnya, terutama setelah debat.
Namun, Icha dan teman-teman ogah jika idola mereka menjadi alat politik agar politikus bisa mendapat suara. Salah satu kasus yang terjadi adalah seorang caleg di Bandung yang diedit berpose bersama anggota grup Enhypen. Penggemar grup tersebut lantas marah.
”Kami tahu kami adalah target suara mereka. Tetapi, politikus harus mencari cara lain untuk membuat kami percaya dan bisa menggaet suara kami, misalnya dari debat,” ujar Icha.
Menonton konser sudah menjadi rutinitas Nisa AS (33) setiap tahun. Setelah menonton tiga konser artis asal Thailand di Indonesia pada tahun ini, karyawan swasta di Jakarta Timur ini pun berencana akan melanjutkan aktivitas tersebut pada tahun depan.
Baca juga: Lebaran Musik Indonesia di Synchronize Festival 2023
Nisa berencana untuk kembali menonton konser penyanyi asal Thailand, Jeff Satur, yang akan berlangsung pada 4 Maret 2024 di Jakarta Selatan. Ia juga tengah menunggu jadwal pengumuman konser artis kesukaannya yang lain, seperti grup K-pop, Seventeen. Perhelatan konser Jeff Satur itu berlangsung dua minggu setelah pilpres dengan kemungkinan akan terjadi pemungutan suara putaran kedua.
”Karena itu, aku belum beli tiket, padahal tiketnya udah dijual dari bulan lalu. Soalnya Indonesia rawan terjadi kekacauan kalau enggak puas sama hasil pemilu, apa pun bisa terjadi. Jadi, aku nanti beli dekat hari konser aja kalau sudah pasti situasi aman. Malas kalau tiba-tiba harus refund,” tutur Nisa di Jakarta, Rabu (27/12/2023).
Meskipun begitu, Nisa melihat situasi politik Indonesia sejauh ini cukup terkendali dibandingkan Pilpres 2019 dan Pilkada Jakarta 2017. Isu politik identitas berkurang, sedangkan polarisasi politik menurun. ”Soalnya semua paslon bisa jadi bahan lelucon. Tetapi, rasa waswas itu tetap ada,” ujarnya.
Alhasil, Nisa tidak masalah jika konser tiba-tiba ditunda atau dibatalkan oleh promotor pada tahun depan. Sebagai penggemar, dia tidak ingin apabila artis favoritnya berada di situasi yang tidak aman.
Fans punya bargaining power atau kekuatan tawar-menawar sehingga elite politik agak berhitung kalau memainkan isu yang bisa membuat konser batal. Selain itu, jangan coba-coba mengaitkan idola mereka dengan politik, anak muda punya kesadaran untuk tidak mau artis, band , atau musik yang mereka sukai menjadi komoditas politik.
Rajin menonton konser sejak 2011, Nisa menilai orang-orang kini menganggap konser sebagai kebutuhan primer, bukan lagi tersier. Beberapa faktor yang memengaruhi adalah euforia mencari hiburan pascapandemi dan kehadiran media sosial yang membuat orang jadi fear of missing out (FOMO).
”Dulu konser enggak banyak, tetapi sekarang kayak setiap minggu ada aja konser musik dari artis dalam dan luar negeri. Dulu juga aku masih bisa beli tiket pas hari H, tetapi sekarang langsung terjual habis. Mungkin promotor menangkap fenomena itu, jadi bawa artis siapa aja pasti laku dan orang-orang punya aja duit untuk beli tiket,” kata Nisa.
Kepala Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Universitas Padjadjaran, Bandung, Kunto Adi Wibowo menilai, tahun 2024 akan menjadi tahun politik yang panjang. Peluang pilpres untuk berlanjut ke putaran kedua sangat terbuka sehingga pemungutan suara akan berlangsung pada Februari dan Juni. Setelah itu, pilkada akan berlangsung pada November 2024.
Baca juga: Wajah Baru Anugerah Musik Indonesia
Karena itu, potensi konflik politik tahun 2024 justru akan lebih rentan ketimbang tahun 2023. ”Tetapi, promotor musik boleh-boleh saja memegang optimisme untuk menggelar konser, apalagi setelah perhitungan bisnis konser Coldplay tahun ini yang meraup keuntungan besar karena berarti pasar ada,” kata Kunto saat dihubungi, Kamis (28/12/2023).
Kunto lanjut menjelaskan, budaya fandom di Indonesia semakin berkembang, terutama dengan kehadiran media sosial. Penggemar musik jadi mempunyai kekuatan untuk memobilisasi gerakan. Dalam fandom K-pop, misalnya, penggemar bisa menikmati musik dan menarikan koreografi sekaligus menyuarakan isu lingkungan dan kemanusiaan dengan berdonasi untuk Palestina.
”Fans punya bargaining power atau kekuatan tawar-menawar sehingga elite politik agak berhitung kalau memainkan isu yang bisa membuat konser batal. Selain itu, jangan coba-coba mengaitkan idola mereka dengan politik, anak muda punya kesadaran untuk tidak mau artis, band, atau musik yang mereka sukai menjadi komoditas politik,” kata Kunto.