Merayakan Kemewahan Bus Tidur
Beragam pertimbangan memacu perusahaan otobus untuk merilis bus tidur atau ”sleeper bus”, mulai merebut ceruk konsumen kelas atas hingga mencuatkan kebanggaan terhadap daerahnya.
Operator bus tidur (sleeper bus) kian gencar merambah hingga daerah-daerah yang tampaknya tak diperhitungkan. Mereka dengan jeli membidik penumpang yang tak terjamah pesawat dan kereta api. Di balik prestise, tersimpan kisah-kisah konsumen yang menjejaki kemewahan itu selaras dengan perbaikan nasibnya.
Sejumlah penumpang bergegas menuju bus bertingkat di Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (22/11/2023). Memasuki kabinnya saja, servis prima setara pesawat sudah merebak dengan pramugari yang menyambut mereka. Kelas paling mentereng menempati bagian depan lantai dasar dengan enam kamarnya.
Kemegahan berlanjut dengan bus tidur tersebut yang dilengkapi bantal dan selimut. Kamar itu dipasangi televisi kecil dan lampu di langit-langitnya yang memendarkan biru redup. Bus Kencana, demikian jenamanya, bertolak sekitar pukul 16.00.
Aneka lagu Denny Caknan, Orkes Adella, dan Nissa Sabyan mengalun sayup-sayup. Penumpang bus tidur tak menyia-nyiakan fasilitas luksnya dengan menurunkan sandaran kursi hingga nyaris rebahan. Kaki pastinya berselonjor. Lampu untuk membaca juga bisa diatur dengan tangkai fleksibel.
Baterai ponsel, kamera, dan laptop yang hampir habis tak perlu pula dirisaukan karena tersedia stop kontak. Jika tak ingin terganggu konsumen yang lalu lalang di gang atau keruwetan lalu lintas di balik jendela, tutupi saja dengan tirai.
Tak perlu risau jika hendak buang air dengan mendatangi toilet. Tiket seharga Rp 380.000 sudah termasuk penganan dan minuman diselingi singgah di restoran untuk makan malam. Sekitar pukul 02.00, bus tiba di tujuan akhir, Jepara, Jawa Tengah.
Nely Soraya (32) rutin menumpang Kencana dari Jepara menuju Bogor, Jawa Barat, untuk mengunjungi mertuanya rata-rata dua bulan sekali. Selain suami, ia mengajak anak-anak agar bisa bersua dengan kakeknya. Mereka biasanya turun di Parung.
Baca juga: ”Api Perlawanan” dari Bukit Menoreh
”Enggak naik pesawat atau kereta biar praktis. Naik bus bisa lebih dekat dengan Bogor daripada ke bandara atau stasiun dulu,” ujarnya. Hingga setahun lalu, warga Jepara itu menumpang bus dengan senderan kursi yang hanya bisa dimajumundurkan.
Sejak kuliah
Nely menapaki lompatan modernisasi wajah bus, khususnya di Jawa, seiring bolak-balik sejak kuliah di Jakarta, tahun 2010. ”Memang, disediakan air minum, AC (penyejuk udara), dan toilet, tapi buat ukuran sekarang sudah ketinggalan zaman,” ujarnya.
Seturut kian merambatnya taraf hidup, Nely yang bersuamikan karyawan perusahaan kontraktor itu bersyukur bisa mengenyam kemewahan bus tidur. ”Lebih enak, sih. Enggak capek karena praktis. Ditinggal tidur terus sampai,” ucapnya sambil tertawa.
Tri Atmajaningsih (56) juga memilih bus tiduragar lebih privasi dan nyaman. Ibu rumah tangga itu berangkat dari Karanganyar, Jateng, ke Bekasi, Jabar. ”Sudah lima tahun saya naik Rosalia Indah karena busnya double decker (bertingkat) yang bagus,” ujarnya.
Saat bekerja, Tri sering menggunakan pesawat, tetapi ia sebenarnya senang bepergian dengan bus. Kini, warga Bekasi tersebut juga bisa bersantai dipeluk kenyamanan bus tidur. Terlebih, mengingat usia yang tak lagi muda seraya menikmati kian lancarnya perjalanan lewat tol.
Bisa segera istirahat dan nyetel lampu. Kalau mau tidur tinggal nutup tirai. Tahu-tahu, kru membangunkan karena sudah sampai.
”Setelah pensiun, kelas yang saya pilih seharusnya turun, tapi rupiah bukan patokan. Suami dan anak-anak pengin saya enggak naik turun tangga lagi,” katanya sambil tertawa. Jika menumpang kereta api atau pesawat, ongkos yang dihabiskan tak jauh berbeda, tetapi ia lebih mudah mencapai pul bus.
Di bus tidur Harapan Jaya, penumpang mendapat satu pak tisu dan sandal jepit agar tak repot melepas dan memakai sepatu, sedangkan penumpang Sinar Jaya mendapat sandal hotel yang akan diganti sandal baru jika keluar bus. Bus-bus itu juga tepat waktu.
Makan malam Harapan Jaya, yakni sup, pilihan seperti lele dan sambal plus lalap, soto ayam, dan mi bakso dengan tambahan tempe mendoan dan buah, serta teh. Tarif Harapan Jaya dengan rute Jakarta-Tulungagung, umpamanya, Rp 490.000, sedangkan tarif Sinar Jaya trayek Solo-Jakarta Rp 335.000.
Kenyamanan dan keamanan menjadi salah satu faktor Andika (30) senantiasa memilih bus tidur ke Jakarta dari Salatiga, Jateng. ”Bisa segera istirahat dan nyetel lampu. Kalau mau tidur tinggal nutup tirai. Tahu-tahu, kru membangunkan karena sudah sampai,” katanya.
Mofat (32), yang naik dari Jakarta menuju Blitar, menganggap kepraktisan dan kenyamanan sebagai hal yang paling ia suka. ”Aku lagi tugas ke Blitar, tapi pilih sleeper ke Tulungagung karena kru mengantar pakai mobil sampai tujuan di Blitar. Harga tiket Rp 600.000 sepadan, ya,” jelasnya.
Praktis, aman, dan nyaman naik bus tidur juga menyukakan hati Siti Zulaikha (30) yang membawa anak untuk menengok orangtuanya di Jakarta. ”Anakku, yang biasanya bangun sampai empat kali kalau malam, pulas sampai dibangunkan ketika tiba,” tuturnya.
Baca juga: Agar Burung-burung Menoreh Terus Berkicau
Kelahiran bus tidur yang termasuk awal di Indonesia diwujudkan Perusahaan Otobus (PO) Sinar Jaya. Direktur Utama PO Sinar Jaya Teddy Kurniawan Rusli meluncurkan bus tidur tahun 2019. Ia terinspirasi bus di Vietnam sekaligus mengakomodasi kebutuhan warga menengah atas.
Demi membangkitkan rasa bangga akan daerahnya, pengusaha Wahyu Wardhani yang orangtuanya berasal dari Ponorogo, Jatim, tahun lalu, turut meluncurkan bus premium sleeper dan emperior suite yang punya ruang keluarga di dek bawah. Ia menggandeng dua karibnya, Rino Fauzan dan Zhakky Muttaqin.
Zhakky menjadi CEO PT Trans Tungga Jaya, induk PO Narendra, untuk menyediakan bus dengan layanan premium guna menaikkan harkat warga Ponorogo. ”Di Ponorogo tak ada stasiun dan bandara. Jika naik kereta harus ke Madiun. Naik pesawat ke Solo. Butuh kendaraan lagi,” katanya.
Tiga tahun
Rony Budiansyah mengincar ceruk bisnis bus rute Jakarta-Jepara dengan mempertimbangkan kelas sleeper yang dinilainya masih lumayan lowong. General Manager PO Kencana yang berkantor pusat di Semarang, Jateng, itu langsung meluncur di segmen double decker, tahun 2022.
”Sebelumnya, bus-bus, termasuk sleeper, sudah beroperasi ke Jepara, tapi dengan diferensiasi, kami percaya diri meraih celah sendiri,” ujarnya.
Rony mencermati selera konsumen dengan tujuan-tujuan di Jateng. Banyak dari mereka, terutama di Jepara, yang ternyata memilih kelas atas.
”Tren sleeper mulai marak sejak tiga tahun lalu. Sudah banyak pemainnya dan berkembang. Segmen sudah jelas,” tuturnya. Ia lantas menunjukkan okupansi bus tidur lewat ponselnya saat ditemui, Jumat (24/11/2023), yang mencapai 100 persen.
Bus tidur bukan lagi sekadar sarana transportasi, melainkan juga aktualisasi.
Antusiasme Rony memang serasi dengan kelaziman tiket bus tiduryang diburu bahkan sejak dua pekan sebelum berangkat. Pada hari kerja saja, tiket sudah sulit digenggam jika pemesanannya mepet. Tak heran, ia memandang prospek bus tidur sungguh cerah.
”Tengah minggu pun laris. Kami mau beli sasis sampai inden enam bulan. Saking tinggi permintaan, rebutan dengan PO lain,” katanya.
Bus sebenarnya mendulang laba lebih besar jika diisi kursi eksekutif saja tanpa digabung bus tidur, tetapi Rony bakal bersaing di trek yang jauh lebih padat.
”Kalau gambling (bertaruh), bisa dibilang begitu. Kompetisinya sengit. Makanya, bicara keistimewaan, tentu harus beda. Peluang bus tidur masih agak lega,” katanya. Ia tak menghadapi kendala berarti, paling-paling tren perjalanan yang terkadang turun.
Maraknya bus premium menurut pengamat transpotasi Djoko Setijowarno merupakan hal menggembirakan. ”Membuat warga mau tetap tinggal di daerahnya untuk bekerja atau membangun usaha. Dengan demikian, orang tak harus ke Ibu Kota untuk bekerja,” kata Djoko, Senin (11/12/2023).
Sementara itu, antropolog Universitas Diponegoro Budi Puspo memaknai bus tidur bukan lagi sekadar sarana transportasi, melainkan juga aktualisasi. ”Terutama bagi penggandrung medsos (media sosial). Bisa selfie (swafoto), fotonya dipasang di grup,” ujarnya.
Fenomena itu merefleksikan semacam kontes kaum urban yang tak bisa lepas dari upaya meningkatkan gengsi. Mereka semula dipandang sebagai warga rural, lalu meraih penghidupan lebih baik di kota. Tanggapan para kerabat dan handai tolan di desa pun berubah.
Gaya hidup itu kemudian dipajang, terutama anak muda yang gemar merilis konten di spot instagrammable alias keren untuk difoto dan diunggah ke medsos. ”Mereka menunjukkan, naik sleeper, nih. Wah, bangga. Sama-sama untung karena bus juga dipromosikan,” ujarnya.
Budi juga menangkap disparitas sosial dengan bus-bus ekonomi yang tak sedikit pula masih hilir mudik di kabupaten-kabupaten. Bagaimanapun, pertumbuhan ekonomi, walau belum merata, tetap menuai kelas-kelas yang lebih mapan sehingga membuka ceruk bisnis bus tidur.