”Jinba ittai” mencapai sensasi ketika pengemudi tak lagi merasa berada di mobil, tetapi tanpa sadar seolah berjalan kaki.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
Bumi Hiroshima, Jepang, yang pernah hancur akibat serangan nuklir di pengujung Perang Dunia II, tak membuat kota itu terkungkung dalam kepahitan masa lalu. Penduduknya bangkit dan menciptakan sejumlah karya yang mendunia. Dari kota ini, filosofi ”Jinba Ittai” lahir dan menjadi resep kunci di balik tersohornya mobil Mazda di seluruh dunia.
Suhu Kota Hiroshima pada Senin (30/10/2023) tak lebih dari 20 derajat celsius. Udara kota yang sejuk tanpa kemacetan lalu lintas, dedaunan pohon tepi jalan yang memerah, pertanda segera datang musim gugur, dan mentari yang malu-malu muncul hanya gambaran sekilas tentang kota yang menjadi pusat mobil-mobil Mazda dirakit sebelum didistribusikan ke segala penjuru dunia.
Kisah dari markas Mazda di Fuchu, Aki District, Hiroshima, tak lengkap jika hanya sekadar berkunjung ke Museum Mazda atau menjejakkan kaki di kantor pusat Mazda Motor Corporation. Di pabrik yang berdiri sejak tahun 1920-an, itu, ada pula para rekayasawan atau insinyur hebat yang bekerja dalam diam demi memenuhi hasrat pencinta Mazda.
Beberapa insinyur hebat itu berperan penting dalam merekayasa teknologi mobil, terutama pengembangan dinamika sasis. Dinamika sasis bisa dibilang merupakan roh di balik kemewahan kursi pengemudi mobil-mobil Mazda. Siapa para rekayasawan itu?
Dua pria berkaca mata yang mengenakan setelan kemeja putih dan celana panjang hitam memasuki salah satu ruangan rapat dengan desain interior berdinding kayu kecokelatan di kantor pusat Mazda Motor Corporation, Senin (30/10/2023) sekitar pukul 13.00 waktu setempat. Mereka adalah Tetsu Kasahara dan Yasuyoshi Mushitani. Dua insinyur itu merupakan tokoh spesial yang dikenal sebagai ”The Fathers of Jinba Ittai”.
Kehadiran mereka untuk berdiskusi dengan sejumlah wartawan dari Indonesia, termasuk Kompas, yang diundang PT Eurokars Motor Indonesia (EMI) selaku pemegang merek Mazda di Indonesia. Perjalanan ini menjadi rangkaian liputan Japan Mobility Show 2023, pameran otomotif yang dulu bernama Tokyo Motor Show.
Saat sesi diskusi yang berlangsung sekitar satu jam, sekilas cukup tergambar kepribadian dari dua tokoh itu. Tetsu Kasahara lebih kalem dan pendiam. Berbeda dengan Yasuyoshi Mushitani yang tampak bersemangat dan berapi-api dan kerap berguyon ketika menjelaskan konsep jinba ittai.
Sejak mahasiswa
Tetsu Kasahara merupakan tokoh kunci di balik lahirnya filosofi jinba ittai. Makna dari filosofi ini adalah bersatunya penunggang kuda dengan kudanya di tengah medan laga sehingga penunggangnya dapat memanah sasaran dengan tepat saat kudanya bergerak. Dalam konteks mobil, filosofi ini berarti menyatunya pengemudi dengan mobilnya.
Filosofi ini Kasahara temukan saat mulai mengerjakan generasi pertama Mazda MX-5. Saat mengembangkan mobil roadster yang juga populer dengan nama Miata itu, Kasahara tak berpikir soal kecepatan atau tenaga mobil, tetapi lebih mencari rasa senang dan bahagia saat mengendarai mobil itu.
Keinginan menciptakan mobil yang memberi rasa nyaman dan bahagia saat berkendara sudah terpikirkan sejak dia masih mahasiswa. Lelaki yang lahir di Hokkaido, bagian utara Jepang itu, sudah gemar membeli mobil-mobil bekas sejak masih pelajar.
”Saya sebenarnya membeli mobil bekas. Banyak mobil bekas dan saya memperbaiki sendiri mobil bekas itu,” kata Kasahara.
Selain gemar memperbaiki mobil, Kasahara juga memiliki kesenangan berkendara jarak jauh. Dalam setiap perjalanan jauh, dia terus berpikir suatu saat dapat mendesain mobil yang mudah dikemudikan dan menyenangkan untuk dikendarai.
”Jadi, setelah bergabung dengan Mazda, saya ingin mengembangkan kendaraan yang menyenangkan untuk dikendarai, mobil yang sangat nyaman. Itu sebabnya saya bergabung dengan kelompok pengujian sasis,” kata Kasahara.
Keinginan menciptakan mobil yang menyenangkan akhirnya terwujud setelah pengembangan dinamika sasis dipercayakan ke Kasahara pada 1987. Saat itu, setiap hari, dia mengendarai prototipe MX-5 berulang-ulang di Sirkuit Miyoshi Proving Ground. Dalam setiap pengujian itu, dia terus mengubah pengaturan mobil, mengukur suhu ban, serta detail mencatat dan mengumpulkan data.
Kegigihan menggelar uji coba dan merekayasa teknologi demi menciptakan kendaraan yang nyaman dan membahagiakan untuk dikendarai akhirnya terwujud saat dalam suatu momen, saat sedang berkendara, dia tak lagi merasakan keberadaan mobil itu sebagai suatu entitas yang terpisah dari dirinya. ”Saya tidak merasakan rasa asing apa pun. Saya pikir, ini dia (jinba ittai),” ucapnya.
Pengembangan jinba ittai rupanya tak akan berhenti pada sekadar merasakan sensasi kenikmatan berkendara. Jinba ittai bagi Mushitani yang bergabung dengan Mazda sejak 1988 itu bakal mencapai sensasi puncak ketika pengemudi sudah tak lagi merasa berada di mobil, tetapi tanpa sadar memanipulasi kendaraan dan seolah-olah sedang berjalan kaki.
”Saya ingin menciptakan situasi ketika Anda dapat mengemudikan mobil seolah-olah Anda sedang berjalan kaki tanpa sadar. Berjalan sangat lambat tanpa memikirkan apa pun. Jadi, kalau mau olahraga yang menyenangkan, misalnya, bisa disinkronkan dengan perasaan itu. Perasaan senang lalu mobil bergerak seolah-olah sedang bersenang-senang,” kata Mushitani.
Lelaki yang semasa mudanya pernah bermain sepak bola di liga pemuda mewakili Mazda Soccer Club (sekarang Sanfrecce Hiroshima) itu, dalam setiap uji coba pengembangan dinamika sasis, menjunjung tinggi perasaan bersenang-senang dan sensasi puncak menyatu dengan mobil. Mimpi dan penghargaan yang tinggi untuk menciptakan perasaan mengemudi bak berjalan kaki demi memenuhi hasrat penggemar Mazda diakui bertumpu pada kursi mobil.
Semangat ini dihargai betul para rekayasawan Mazda lantaran interaksi pertama kali antara mobil dan pengemudi bagi mereka tercipta saat pengemudi bersentuhan dengan kursi mobil. Interaksi pertama kali itu, kata Mushitani, dinilai sangat penting dan sakral sehingga mereka setiap saat terus menggelar uji coba, melakukan riset, dan terus belajar agar cita-cita memanipulasi kendaraan dan pengemudi lupa sedang berada di dalam mobil tercipta.
Keinginan ini masih terus dipelajari insinyur-insinyur dinamika sasis Mazda di Hiroshima. Mushitani mengakui, upaya itu tak mudah lantaran sampai saat ini belum ada robot yang mampu berjalan sempurna seperti manusia. Namun, nilai terpenting yang akan selalu diusung Mazda adalah setiap mobil yang diciptakan bakal memberikan sentuhan human sense.
”Kami mempunyai filosofi yang berpusat pada manusia sehingga secara tidak sadar kami dapat memanfaatkan fungsi-fungsi tersebut. Jadi, kita bisa menyatu dengan kendaraan dan kemudian kendaraan itu malah (seolah-olah) hilang. Itulah perasaan yang ingin kami ciptakan,” ucapnya.
Filosofi manusia sebagai pusat perhatian (human centricity) pengembangan mobil-mobil Mazda masih terus dilakukan hingga saat ini. Nilai penting ini tak hanya berlaku untuk mobil-mobil sport dan sedan saja, tetapi juga mobil-mobil SUV yang memiliki postur lebih tinggi dan besar.