Gultik, dari Konsumen Kelas Bawah sampai ”Blink-blink”
Gulai tikungan atau gultik disantap mulai pengemudi ojek daring sampai artis.
Gulai tikungan yang kerap disebut gultik tak sekadar terkonsentrasi di Blok M, Jakarta. Sudut-sudut lain turut dirambahi, bahkan hingga kota yang jauh dari asal-usulnya. Digandrungi lantaran murah meriah, gultik bergeming dari gerusan zaman dengan konsumen jelata sampai perlente.
Mudah saja berkunjung ke Blok M, Jakarta. Anda bisa memilih MRT, Transjakarta, atau bisa juga ojek dan taksi daring. Pensiunan aparatur sipil negara Tuti Meindarwati (60) bersama lima temannya memilih naik Transjakarta dari SCBD, Rabu (1/11/2023). Dengan berjalan kaki sebentar, tibalah mereka di persimpangan Jalan Mahakam dan Jalan Bulungan.
Pusat gultik itu tak ubahnya jejeran pedagang kaki lima yang mengokupasi trotoar. Puluhan pedagang mulai menggelar lapaknya sekitar pukul 15.00 WIB dan 16.00, tapi ada pula yang baru berjualan sekitar pukul 21.00 WIB.
Gultik mulai dijual pada 1990-an. Sebelum menetap di Blok M, beberapa pedagang berkeliling dengan gerobak. Suatu masa, pedagang di Blok M mengajak pedagang lain ikut berjualan. Ramailah pedagang gultik di sana hingga sekarang.
Sepiring gultik biasanya berisi sedikit nasi—kurang dari secentong—yang disiram kuah gulai dengan beberapa potong daging. Beberapa pedagang ada yang menyertakan gajih sapi. Setelahnya, nasi gultik dilengkapi segenggam kerupuk dan taburan bawang goreng.
Kuah santan yang dimasak bersama bumbu-bumbu halus, seperti bawang merah, bawang putih, kunyit, lengkuas, dan daun jeruk terasa gurih. Dagingnya pun empuk. Dengan beberapa suapan saja, sepiring gultik porsi minimalis tandas. ”Rasanya enak dan yang penting, harganya pas untuk kantong pensiunan,” kata Tuti.
Selain nikmat, makan gultik di pinggir jalan pun punya sensasi tersendiri. Pelanggan bisa makan sambil mengamati dinamika kota: kendaraan yang tak henti berlalu lalang, deru mesin, bising tukang tahu bulat, pengemis dan pemulung yang hilir mudik, hingga suara bel sepeda penjual kopi keliling alias starling.
Baca juga: Kuliner Nusantara Berdialog dengan Zaman
Menurut Evon (61), salah satu teman Tuti, makan gultik di Blok M mengingatkannya pada masa lalu. Evon yang lulus sekolah di Jakarta tahun 1980-an ini ingat betul Blok M sebagai tempat nongkrong anak muda zaman dulu. Namun, dalam ingatannya, deretan pedagang gultik belum ada di masa itu.
Ia senang karena bisa menghidupi lagi memori nongkrong bersama teman-teman, kali ini sambil makan gultik. ”Dulu belum seramai sekarang. Bangunan-bangunannya juga belum seperti ini, tapi menyenangkan. Mengingatkan masa lalu,” ucap Evon.
Gultik pun jadi makanan favorit muda-mudi yang habis jalan-jalan di akhir pekan atau setelah menjejakkan kaki di tempat hiburan malam. Maklum, gultik biasanya buka hingga dini hari atau pukul 03.00-04.00 WIB. Pada hari biasa, gultik mulai ramai pukul 20.00-21.00 WIB. Pada akhir pekan, keramaian bisa tampak satu hingga dua jam lebih awal dari hari biasa.
Konsumen artis
Jika diamati, konsumen gultik datang dari beragam lapisan masyarakat. Ada yang mahasiswa, pekerja kantoran, anak tongkrongan, artis, pejabat, hingga atlet. Ada yang datang dengan pakaian kasual, ada pula yang makan gultik sambil menenteng tas Dior dan Louis Vuitton. Walakin, semuanya melebur ketika duduk di kursi plastik pedagang gultik. Saking nyamannya duduk di sana, tak sedikit orang yang nongkrong lama di lapak gultik.
Di sudut lain, pelanggan proletar macam Hary Kusnadi (48) tak kalah asyiknya menikmati gultik. Pengemudi ojol itu doyan karena harganya yang sangat terjangkau. ”Porsinya cukuplah. Biasanya, saya makan sebelum pulang,” kata warga Gandaria Utara, Jakarta, itu.
”Food vlogger, artis, sampai atlet timnas (sepak bola) yang lagi libur pernah makan di sini,” kata Bebek (27), salah satu pedagang gultik di Blok M. ”Saya minta foto sama beliau (atlet), lalu orang-orang lain ikut minta foto,” ucapnya lagi.
Food vlogger, artis, sampai atlet timnas (sepak bola) yang lagi libur pernah makan di sini.
Anggapan itu tak meleset lantaran Muhammad Gunawan alias Gugun, gitaris Gugun Blues Shelter (GBS), misalnya, sudah memfavoritkan sentra gultik itu untuk nongkrong. Saat masih kuliah, awal 1990-an saja, ia dan teman-temannya kerap menghabiskan malam minggu seusai hang out dan menonton balapan mobil liar.
Harga gultik pun murah meriah. Bahkan, jauh lebih murah darpadai makan di warteg, yang seingat Gugun rata-rata seharga Rp 3.000 dan sudah bisa makan nasi, sayur, dan ayam. Biasanya, ia makan gultik lebih dari seporsi.
Kebiasaan itu juga dilakukan saat Gugun berpacaran dengan istrinya sekarang, Rohmah Dianingkarti alias Ansi. Kebiasaan jajan gultik berlanjut sampai Gugun Blues Shelter terkenal. ”Kalau habis manggung biasanya juga masih bawa alat-alat (musik) atau masih berpakaian yang dipakai saat tampil,” ujarnya.
Amad (48) malah sampai menghabiskan dua porsi gultik. Sekitar 20 pedagang berjualan di belakang Blok M Plaza yang mulai dipadati kursi-kursi kecil. Trotoar yang kosong pada siang hari mulai ramai. Ketika makanannya habis, ia tak langsung pergi. Tikungan yang beberapa jam lalu diguyur hujan membuatnya betah berlama-lama. Beberapa orang baru selesai berolahraga. Beberapa di antaranya habis joging. Mereka mulai mengisi kursi-kursi di sekitar Amad.
Tampak pula Lisa (21) dan Linda (21) yang berkuliner. Seporsi gultik sering hanya mengganjal perut. Ini turut menopang penjual lain. Ketika pembeli tak langsung kenyang, mereka mencicipi makanan lain. ”Lagi main, lanjut cobain jajanan-jajanan lain,” kata Lisa.
Agis (23) dan ketiga temannya setiap Jumat rutin bertemu sepulang kerja. Mereka bergurau bahwa pada mulanya mengunjungi gultik untuk mencari jodoh.
Sampai Yogyakarta
Sebaran gultik rupanya sudah demikian masif hingga tak hanya terkonsentrasi di Blok M. Di Jalan Joglo Raya, umpamanya, penjual bergerobak kayu dengan tulisan gultik berdagang selepas senja. Tambahan aneka sate, semacam sate hati, bakso, telur puyuh, dan usus pun tersedia.
Demikian pula pedagang yang mangkal di tepi Jalan Ciledug Raya, tak jauh dari Pasar Kebayoran Lama sebelum perempatan Seskoal. Spanduk kecil terpampang di pikulan dengan tulisan ”Gultik cabang Blok M” yang dilengkapi dua meja dan sekitar 10 kursi.
Gultik bahkan diboyong sampai Yogyakarta, seperti yang diinisiasi Tony Soekamti dengan memulai usahanya pada 2021. Ia menjajal selera penggila kuliner ”Kota Gudeg” yang menautkannya dengan menu di Gultik Bang Jago. Gayung ternyata bersambut dengan konsumen yang tak sekadar kelas menengah bawah.
Baca juga: Urban, Nasi Goreng Melintas Zaman
Saat dibuka pukul 21.30 WIB, anak-anak indekos berdatangan. Malam semakin larut, muda-mudi yang baru menikmati dugem lalu bersantap hingga dini hari. Bukan sembarang kendaraan, mulai Mercedes-Benz, BMW, Alphard, Jeep Rubicon, bahkan sepeda motor Harley-Davidson lumrah nangkring di parkiran.
”Pengendara mobil sport, artis, penggila konser, komunitas kendaraan mewah, sampai bos-bos hiburan malam sering datang,” ujar Tony. Tak sedikit kaum hawa berbaju necis dan lelakinya metroseksual. Perempuan berpenampilan seksi dengan tank top, celana pendek, hingga rok mini jamak terlihat di Gultik Bang Jago.
Semerbak parfum kelas atas membaur dengan aroma keringat dan gulai yang berselang-seling. Sepatu mereka pantofel, kulit, sampai Air Jordan. ”Habis minum-minum, agak pusing mana keroncongan, cari yang berkuah dan hangat. Datang ramai-ramai, kalau ke restoran lumayan boncos,” ucap drumer Endank Soekamti itu sambil tergelak.
Gultik Bang Jago tutup pada pukul 04.00 WIB setiap akhir pekan. Pada hari kerja, lapak itu buka hingga pukul 03.00. Tony membanderol gultiknya mulai Rp 12.000 saja seporsi. ”Gultik sangat digemari penggila kuliner di Yogyakarta sampai saya bikin cabang,” katanya.
William Wongso memandang gultik mampu menyintasi masa karena harganya yang sangat terjangkau dan termasuk comfort food atau makanan menyenangkan. ”Pembelinya dari kelas bawah sampai yang blink-blink (bergaya necis). Suasananya juga yang mereka nikmati,” ucapnya.
Tak peduli harus mengemper, konsumen mencecap keseruan mengobrol seraya menikmati riuhnya dunia malam dengan warna-warni kendaraan dan pejalan kaki. ”Bosan juga buat mereka yang biasa ke restoran bintang lima. Asyik, di tengah remang-remang sembari ngobrol begitu,” ujar pakar kuliner tersebut sambil tertawa.
*Kolaborasi dengan peserta program magang harian Kompas Aghniya Fitri Kamila, mahasiswi Jurusan Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.