Meski dikenal punya alam indah, budaya unik, dan memesona, keberadaan wilayah dan budaya Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, belum banyak dikenal orang Indonesia.
Oleh
SOELASTRI SOEKIRNO
·3 menit baca
Dua model memakai busana dari kain ikat Sumba Barat Daya, NTT, menunjukkan kain tenun khas daerah itu dalam pameran budaya di Alun-alun Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (12/10/2023).
Meski dikenal punya alam indah, budaya unik, dan memesona, wilayah serta budaya Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, belum banyak dikenal orang Indonesia.
Untuk mengenalkan kepada publik, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) pada 12-15 Oktober 2023 mengadakan pameran karya artisan mereka di Alun-alun Grand Indonesia, Jakarta. Puluhan kain tenun dari tiga suku besar di SBD dan hasil turunannya berwujud sepatu, tas, anting, selendang, syal dari kain tenun, dan lainnya dipamerkan. Mereka membawa pula kopi robusta Sumba.
Untuk melengkapi pameran bertajuk ”Merajut Cinta Budaya Sumba. Pada Lembar Tenun, Kurajut Hidupku”, tim dekranasda mengadakan diskusi tentang tenun dan budaya SBD, menghadirkan budayawan Taufik Razhen; desainer busana tenun NTT dari Capa de Flores, Maria Gabriela Isabella; serta etnografer Evi Aryani Arbay.
Ketua Dekranasda SBD Margaretha Tatik Mete mengatakan, belum banyak yang tahu apalagi mengenal wilayah di mana ia tinggal. ”Orang banyak mengira Sumba Barat Daya itu ada di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Padahal, itu pulau dan provinsi berbeda dengan kami,” ujar istri Bupati Sumba Barat Daya Kornelius Kodi Mete itu, Sabtu (28/10/2023), lewat telepon.
Fakta itu yang antara lain mendorong pihaknya mengadakan pameran di Jakarta. ”Kami ingin lebih banyak orang, terutama orang Indonesia, tahu tentang keberadaan kami,” ujarnya.
Tim dekranasda sengaja membawa banyak kain karena kain adat bagi orang Sumba punya makna penting dalam kehidupan mereka. ”Kain tenun bukan hanya untuk jadi baju, melainkan punya makna penting serta mendalam dalam ritual adat dan kehidupan sehari-hari. Kami mulai lahir sampai meninggal diselimuti kain tenun,” katanya.
Kain tenun menjadi simbol nilai leluhur dan cinta kasih yang diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap pola, warna, dan desain pada kain mengandung pesan budaya yang kaya, seperti status sosial, keberuntungan, bahkan cerita tentang leluhur. Bagi masyarakat Sumba, menenun bukan hanya sekadar aktivitas, melainkan perayaan budaya yang mendalam.
Margaretha mencontohkan adanya motif mamoli (menjadi simbol rahim perempuan) yang ditujukan untuk menghormati kaum perempuan. Itulah sebabnya ia membawa tenun ikat dan tenun khas lambaleko karya artisan tenun dari tiga suku besar di SBD, yaitu suku Kodi, Loura, dan Wewewa. Kain-kain itu punya motif dan warna khas, terutama warna biru tua.
Masalah yang kini dihadapi, kain yang semula berbahan benang kapas dan berpewarna alam beralih lebih banyak memakai benang pabrikan dan pewarna sintetis. Selain alasan sulit mencari tumbuhan yang buah, daun, atau kulit kayunya bisa menjadi pewarna alam, artisan tenun juga kurang telaten mengolahnya.
Hal lain yang merisaukan warga lokal, artisan tenun yang sebagian besar ibu rumah tangga ingin segera menyelesaikan kainnya agar bisa segera menjualnya untuk membeli beras. Akibatnya, kualitas tenun mereka sedikit menurun.