Warung Lama H Ridwan, Rawon Malang Usia Seabad
Hidangan rawon sangat istimewa, bahkan sejak Indonesia masih terdiri dari kerajaan-kerajaan besar. Menu rawon bahkan mendunia sejak lama dan kini kembali menginternasional.

Warung Lama H Ridwan berdiri hampir 11 dekade di lokasi Pasar Besar Malang, Jawa Timur. Sejak awal mempertahankan menu nasi rawon, nasi gule, dan sate komoh, yang semuanya berbahan dasar daging sapi.
Lokasi warungnya terbilang cukup tersembunyi lantaran berada di dalam area kompleks Pasar Besar Kota Malang. Anak-anak sekarang menyebutnya hidden gem, permata tersembunyi (kuliner). Namun, siapa menyangka keberadaan dan kehadiran Warung Lama H Ridwan itu sudah lebih dari seabad, nyaris 11 dekade tepatnya. Apalagi, jika dihitung dari tahun pertama pria asal Pulau Madura tersebut mulai berjualan menu rawon dan gule, dibantu dua asistennya.
Secara de facto, H Ridwan memang sudah berjualan di area bakal Pasar Besar Malang tersebut pada 1914. Bahkan, kompleks pasar besar ketika itu belum dibangun. Dibantu dua asistennya, Ridwan berjualan menggunakan pikulan setiap hari. Sebelas tahun kemudian baru bangunan kompleks Pasar Besar Malang berdiri dan H Ridwan berjualan di salah satu lapak di dalamnya.
Ridwan lantas memperoleh satu petak, yang menjadi lokasi tempatnya berjualan hingga kini. Menurut H Yusuf Bachtiar (72), penerus usaha generasi ketiga, warungnya diberi nama Warung Lama dengan harapan usaha itu akan terus berlangsung lama, bahkan jika perlu hingga seabad lagi.

Warung Lama H Ridwan berdiri hampir 11 dekade di lokasi Pasar Besar Malang, Jawa Timur. Sejak awal mempertahankan menu nasi rawon, nasi gule, dan sate komoh, yang semuanya berbahan dasar daging sapi.
“Awalnya mendiang kakek saya itu hanya menjual dua macam menu, nasi rawon dan nasi gule. Kedua menu favorit para pelanggan itu menggunakan bahan utama daging sapi. Banyak kisah suka dan duka dijalani, termasuk di masa-masa sulit ketika perang berkecamuk. Kalau di zaman saya, ya, masa krisis akibat pandemi kemarin yang menjadi tantangan terberatnya,” tutur Yusuf saat ditemui, Selasa (19/9/2023) pagi.
Saat ditemui, Yusuf dan sejumlah karyawannya tengah bersiap-siap menerima pelanggan yang datang untuk sarapan. Warung-warung dan rumah makan, terutama bermenu utama nasi rawon, di Malang kebanyakan buka sejak pagi hari. Warung Lama H Ridwan biasanya tutup menjelang shalat Ashar sekitar pukul 16.00 setiap harinya.
Warung nasi rawon dan gule H Ridwan hanya libur dua kali dalam setahun. Masing-masing selama 40 hari, sepanjang bulan Ramadhan menjelang hari raya Idul Fitri, juga Idul Adha. Pekerja di warung ini juga selalu loyal dan bertahan lama. “Kalau dihitung-hitung, sama saja sebetulnya semisal saya buka lalu libur di akhir pekan,” kata Yusuf.
Warung Lama H Ridwan pernah buka cabang pada 1990-an hingga 2010 di sebuah ruko yang lokasinya masih berada di sekitar Pasar Besar Malang. Yusuf mengelola cabang tersebut untuk membesarkan dan membiayai ketiga anaknya hingga selesai kuliah. Warung yang dikelolanya itu lumayan laku, seperti warung pusatnya. Namun, setelah ketiga anaknya mentas, Yusuf pun kembali berjualan di warung utama dan menjual rukonya.
Baca Juga: Para Penakluk Keluak
Kini, berangkat dari dua menu utama tadi, ditambah sate komoh, jumlah menu yang disajikan di Warung Lama H Ridwan semakin bertambah dan digemari. Namun, tetap, menu nasi rawon menjadi salah satu yang favorit yang dalam sehari pesanan bisa mencapai lebih dari 100-an porsi.
Cita rasa rawon di Warung Lama H Ridwan memang terbilang khas dibandingkan dengan menu serupa di beberapa tempat lain. Porsinya terbilang pas untuk dinikmati satu orang, dengan semangkuk kuah, yang juga tak terlalu encer ataupun kental. Pas! Di dalamnya terdapat beberapa kerat potongan daging dan sedikit lemak alias gajih.
Jumlah kuah rawonnya juga seolah dipaskan dengan porsi sepiring nasi sehingga kalaupun disiramkan semuanya ke dalam piring, nasinya tak sampai terendam alias cukup nyemek. Seperti juga rawon lain, hidangan satu ini disajikan bersama beberapa jumput kecambah dan sambal bagi mereka penyuka pedas.
“Soal berapa banyak bumbu keluak yang digunakan atau memakai bumbu lain apa lagi, saya tidak terlalu paham. Itu semua yang tahu istri saya bagiannya yang memasak. Tapi, keluaknya dibeli di pasar ini juga, termasuk dagingnya. Yang jelas, kami pakai bahan-bahan terbaik,” kata Yusuf.
Yusuf juga mencoba mempertahankan harga agar tetap terjangkau pembeli dan pelanggannya. Untuk seporsi nasi rawon lengkap, Yusuf menjualnya seharga Rp 20.000.

Warung Lama H Ridwan berdiri hampir 11 dekade di Pasar Besar Malang, Jawa Timur. Sejak awal mempertahankan menu nasi rawon, nasi gule, dan sate komoh, yang semuanya berbahan dasar daging sapi.
Harga sama juga ditetapkan untuk seporsi nasi gule sapi. Adapun untuk beberapa menu lain, seperti nasi kari ayam kampung, nasi krengsengan sapi, nasi bali daging atau telur, dan nasi ayam lodho, harganya ditetapkan sebesar Rp 25.000 per porsi. Menu termahal di warung ini hanyalah nasi campur seharga Rp 30.000 per porsi.
Jika merasa belum cukup mengenyangkan, pembeli bisa memilih beberapa macam lauk tambahan. Ada tempe goreng, mendhol, sate komoh daging sapi, sate usus, empal, babat, otak, ayam bumbu rujak, dan perkedel.
Lauk perkedel di warung ini jadi favorit lantaran rasanya yang gurih dan berukuran besar, dengan tambahan isian daging cincang. Sementara sate komoh, punya citarasa unik, berempah dan manis, serta terasa sedikit basah atau nyemek. Mendiang wartawan yang juga pakar kuliner Bondan Winarno pun pernah mampir di tempat Yusuf, mencoba sate komoh dan menu-menu lain.
Baca Juga: Rawon dan ”Kebrutalan” yang Nikmat
Warung Lama H Ridwan seluas dua kios di dalam Pasar Besar Malang ini terasa lega dan bersih, juga berpenerangan baik. Di salah satu sudut tampak dapur berkonsep terbuka (open kitchen) dengan meja-meja dan kursi panjang tempat para pelanggan dapat dengan nyaman menikmati hidangan yang dipesan.
Beberapa set meja dan kursi panjang dari kayu jati bahkan sudah berusia puluhan tahun dan sudah digunakan sejak awal warung ini dibuka. Meja-meja panjang itu dilengkapi rak di bagian tengahnya untuk meletakkan botol air minum dan beberapa piring lauk.
Pada bagian depan warung tergantung papan nama berlampu bertuliskan “Waroeng Lama H. Ridwan Sedjak tahoen 1925“ lengkap dengan alamat dan nomor telepon. Di salah satu sudut dinding dalam warung juga terpasang hiasan lampu neon berwarna merah, kuning, dan hijau, bertuliskan sama seperti papan nama di luar.
Sementara di sudut lain dinding-dinding warung, tergantung sejumlah pigura berfoto perjalanan sejarah warung dengan gambar sang pendiri berpose bersama istrinya. Beberapa pigura berisi kliping pemberitaan sejumlah surat kabar.

Warung Lama H Ridwan berdiri hampir 11 dekade di Pasar Besar Malang, Jawa Timur. Sejak awal mempertahankan menu nasi rawon, nasi gule, dan sate komoh, yang semuanya berbahan dasar daging sapi.
Mendunia sejak lama
Belakangan ini, rawon tenar dan mendunia menyusul ketenaran masakan khas Minangkabau, rendang. Rawon diakui sebagai salah satu hidangan sup daging terlezat di dunia oleh situs kuliner Tasteatlas.com (Kompas, 8/8/2023). Disebutkan, pada Senin (7/8/2023) pukul 18.00, rawon (beef black soup) asal Jawa Timur mendapat rating 4,7.
Di situs dari Kroasia itu terdata sebanyak 88 persen pemilih menyukai rawon, 8 persen pemilih cuek, dan sisanya 4 persen membenci rawon. Dari perolehan itu rawon sempat tercatat sebagai sup daging asal Indonesia di peringkat ketiga sedunia walau belakangan terkoreksi lagi.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya, Malang, Ary Budiyanto, Kamis (14/9/2023), menyebut, dalam sejarahnya rawon sudah lama mendunia. Dalam lawatan kedua Raja Thailand Rama V Chulalongkorn berkeliling Pulau Jawa pada 9 Mei hingga 12 Agustus 1896, dikabarkan sang raja jatuh cinta pada rawon yang membuat lidahnya menari-nari.
Perkenalan awal dengan rawon terjadi ketika sang raja melawat ke Jawa Timur. Rawon adalah hidangan khas (signature dish) masyarakat di sana. Sang raja terkesan dan menyukai kelezatannya.
Dia lalu membawa resep rawon tadi kembali ke negaranya untuk diperkenalkan dan dibuat juga di sana. Di Negeri Gajah Putih, rawon dikenal dengan nama Kæng Rawæng (แกงระแวง).
“Sampai sekarang, menu (Kæng Rawæng) itu disajikan sebagai hidangan kategori classic royale. Menu itu juga bahkan diperkenalkan setiap mempromosikan menu kerajaan ke luar negeri, seperti ke Amerika Serikat. Jadi, yang menduniakan malah Raja Chulalongkorn. Coba bayangkan itu,” tutur Ary.
Baca Juga: Sup Arekan Terlezat Se-Asia
Meski begitu, soal di daerah mana atau jenis rawon mana di Jawa Timur yang dicicipi sang raja, Ary mengatakan belum diketahui. Masih diperlukan penelitian lebih dalam. Yang jelas rawon yang resepnya dibawa dan diperkenalkan di Thailand oleh sang raja tidak menggunakan bumbu khas keluak.
Dalam catatan Ary, memang tak semua rawon menggunakan keluak alias berkuah bening. Beberapa jenis rawon, bahkan ada pula yang menggunakan santan.
Ary juga menambahkan, dalam catatan sejarah, terutama di masa Jawa Kuno, di dalam inskripsi, kakawin, juga tak pernah secara spesifik disebutkan bumbu-bumbu yang digunakan, termasuk keberadaan keluak atau pucung.
“Namun, walaupun tak disebut atau tidak tertulis, bukan berarti juga tidak ada. Tidak semua elemen (bumbu) juga harus dicatat, kan? Kalaupun tidak tercatat, (keluak) bukan berarti tidak ada juga,” ujarnya.
Ary menambahkan, jika pergi ke wilayah Blitar dan Batu, rawon di kedua tempat itu berkuah bening. Rawon di Batu bahkan sering dikira orang sop buntut, tetapi minus wortel dan kentang. Rawon berkuah bening juga ditemukan di Bangkalan, Madura, dan Pasuruan.
Sementara untuk rawon berkuah (keluak) kental bisa ditemui di daerah Ngawi, sedangkan resep rawon atau raon di Lombok, Nusa Tenggara Barat, terdiri dari keduanya, berkeluak dan tanpa keluak. Selain itu, di beberapa tempat, ada pula yang menambahkan santan saat memasak rawon.
Selain keluak, beberapa bumbu utama rawon terdiri dari laos, bawang merah dan bawang putih, serta kemiri. Beberapa tempat ada yang menambahkan bahan rempah atau bumbu lain, seperti cengkeh, kunyit, atau bahkan terasi. Pemakaian dua jenis bumbu dan terasi itu disampaikan Eli (35), penjual Rawon Kiroman Umi Jazillah.

Warung Lama H Ridwan berdiri hampir 11 dekade di Pasar Besar Malang, Jawa Timur. Sejak awal mempertahankan menu nasi rawon, nasi gule, dan sate komoh, yang semuanya berbahan dasar daging sapi.
Sejarah rawon
Walau menjadi salah satu bahan bumbu utama rawon, biji keluak tak pernah ditemukan spesifik dalam inskripsi, kakawin, ataupun catatan bersejarah mana pun selama ini. Namun, istilah rawon dapat ditelusuri keberadaannya mulai dari masa Jawa Kuno, abad VIII-XIV Masehi.
Saat ditemui di kediamannya di Malang, Senin (11/9/2023), sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, menyebut rawon sejak dulu dipahami sebagai makanan berbahan daging dan berkuah atau basah (telesan). Dari penelusurannya diketahui rawon sudah ada di masa Hindu-Buddha, seperti tersurat dalam kitab Kakawin Bhonakawya, karya Mpu Panuluh, dari era pemerintahan Kerajaan Kadiri (Panjalu) di abad XII M. Pupuh 81 bait 9 susastra ini memuat kalimat, enak ikang rarawan amareg-maregi (enak rasa rawon yang mengenyangkan).
Dwi menambahkan, sebutan arkais (kuno) dari rawon adalah “Rarawwan”, yang berasal dari pengulangan kata “rawan-rawan”. Diyakini, ada kemungkinan kata itu berasal dari sebuah kata dasar “rawu”, yang diberi akhiran “an” dan berubah menjadi “rawuan”. Dalam bahasa Jawa Kuno dan Jawa Tengah kata “rawuan” kemudian berubah menjadi “rawon” dalam bahasa Jawa Baru. Dengan begitu, kata rawon lantas dipercaya tidak terkait dengan kata “rawa” seperti selama ini diyakini sebagian kalangan.
Baca Juga: Rawon, Kuliner Legenda Jatim yang Mendunia
Beberapa orang percaya kuliner rawon tercantum dalam Prasasti Taji Ponorogo, 823 S atau 901 M yang di dalamnya menulis atau menyebut kata rerawwan, yang diambil dari kata rawa. Dari situ beberapa kalangan yakin nama rawon diberikan lantaran mengasosiasikan warna kuahnya yang hitam seperti air rawa-rawa.
Sementara itu, Ary Budiyanto secara terpisah memaparkan, dari hasil risetnya diketahui catatan tertua resep rawon pertama kali ditemukan di buku resep Kitab Masak-masakan India 1843. Buku resep itu ditulis seorang nyai Tionghoa, Nn Cornelia. Catatan tersebut lalu dicetak ulang di buku Kokki Bitja dengan penamaan sama, Rarawon.
Selain itu, juga ada Kumpulan Resep Putri Jepara, yang juga mencantumkan resep rawon pahlawan nasional RA Kartini. Buku lain berisi kumpulan resep orang Eropa di Jawa, Oost Indische Kookboek (1896), dan resep rawon Keluarga Ko Siu Ling, peranakan China di Malang, yang ditulis di awal abad ke-20.

Warung Lama H Ridwan berdiri hampir 11 dekade di Pasar Besar Malang, Jawa Timur. Sejak awal mempertahankan menu nasi rawon, nasi gule, dan sate komoh, yang semuanya berbahan dasar daging sapi.