Rawon dan ”Kebrutalan” yang Nikmat
Tak semua rawon menggunakan keluak alias berkuah bening. Beberapa jenis rawon bahkan menggunakan santan.

Rawon balungan Benowo H Mufid saat jam makan siang di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (13/9/2023). Usaha rawon balungan tersebut berdiri sejak tahun 1965.
Rawon dari Jawa Timur tahun ini diakui sebagai salah satu sup terlezat di dunia pada 2023 versi Taste Atlas. Bagaimana cita rasa rawon bisa menancap di lidah banyak orang, termasuk kini lidah orang asing?
Jawaban bisa kita telusuri lewat pengalaman menyantap rawon di warung, kedai, depot, atau restoran yang menyediakan rawon di Surabaya, Malang, dan sekitarnya.
Di Surabaya, Jawa Timur, hampir mustahil menentukan tempat rawon terenak di antara lebih dari 1.000 lokasi penyedia menu kebanggaan arek-arek tersebut. Setiap pencinta rawon memiliki referensi tempat menyantap sup yang berkalbu hitam lantaran bumbu keluak itu.
Di antara begitu banyak kedai rawon, ada sejumlah kedai rawon balungan dan rawon bakar yang cukup unik. Cobalah Anda ketik rawon balungan (tulang) di Google Maps. Maka, akan keluar setidaknya 15 lokasi di Surabaya Raya (Surabaya, Gresik, Sidoarjo) yang menyediakan menu tersebut. Kompas memilih Warung Rawon Balungan Benowo H Mufid di seberang Terminal Benowo di Jalan Raya Benowo, Surabaya Barat, Rabu (13/9/2023).
Baca juga : Kuliner Makanan ”Jadul” yang Mengikat Memori
Bagi kalangan jurnalis olahraga, warung ini menjadi lokasi favorit, bahkan wajib didatangi sebelum meliput laga sepak bola di Stadion Gelora Bung Tomo. Kedai dan arena berjarak 3,1 kilometer. Warung ini menyajikan sepiring tumpukan tulang sapi daging yang ”menggunung” dalam sup hitam pekat dan berminyak oleh butiran sumsum.
Porsinya benar-benar ”brutal”. Sulit dihabiskan untuk sekali makan bagi yang ukuran lambungnya standar. Sepiring rawon yang kaya lemak, kolesterol, protein, vitamin, kalsium, dengan segala kebaikan dan keburukannya. Sungguh ”kebrutalan” yang nikmat.

Warung Lama H Ridwan berdiri hampir 11 dekade di lokasi Pasar Besar Malang, Jawa Timur. Sejak awal mempertahankan menu nasi rawon, nasi gule, dan sate komoh, yang semuanya berbahan dasar daging sapi.
Kuahnya bercita rasa kompleks, gurih, dan sedap. Daging dan tetelannya empuk, menandakan perebusan yang intensif dan lama. Tangan hampir pasti berlepotan karena penyantap mesti menggerogoti dan mencecap tulang sebagaimana perilaku karnivora yang alamiah. Seorang tamu yang baru pertama kali menikmati rawon ini meneriakkan umpatan khas Surabaya karena puas dengan rawon itu.
Mufid (76) mengatakan, rawon balungan dirintis oleh orangtuanya, Mansyur-Riah, sejak 1965. Usaha dimulai di Warung Rawon Balungan Chaska H Mufid yang terpaut tiga rumah di sisi timur. Orangtuanya meninggal pada 1990 sehingga usaha dilanjutkan oleh Mufid dibantu istri tercinta, Hj Maryam (65).
”Warung Chaska kecil dan dikelola anak saya. Pindah ke warung ini yang lebih besar sekitar 2018,” kata Mufid tentang warungnya yang telah memiliki tiga cabang.
Bumbu, lanjut Mufid, disiapkan di warung utama dan dikirim ke cabang-cabang. ”Setiap hari, kami menghabiskan sampai 200 kilogram balungan,” kata Mufid.
Di tempat lain, di tepi Jalan Ketintang Madya, Gayungan, berdiri Dapur Sambel dan Rawon Bakar yang menggantikan kedai bakso kabut. Warung ini bersebelahan dengan tempat sewa konsol gim Playstation. Empat bulan berdiri, dapur ini sekadar menyediakan makanan dan minuman sederhana. ”Menu rawon bakar baru disajikan sebulan lalu,” kata Hana (35), pengelola warung saat ditemui pada Jumat (15/9/2023).
Kompas sempat mengira daging sapi pada rawon bakar itu dipanggang atau dibakar terlebih dahulu seperti sate. Ternyata keliru. Disebut rawon bakar karena rawon dipanaskan lagi di dalam panci gagang tanah liat. Saat tutup panci dibuka, kuah rawon mengepulkan asap dan bergolak mendidih.
Rawon bakar seperti rawon pada umumnya dengan potongan daging sapi berbentuk dadu. Kuahnya gurih, kental, dengan rasa yang kompleks, tetapi terpadu membuat lidah bergoyang. Seporsi rawon bakar dengan teh tawar seharga Rp 30.000.
Selain Surabaya, Kota Malang juga menjadi surga bagi penyantap rawon. Di kota ini, ada warung rawon legendaris Warung Lama H Ridwan yang lokasinya cukup tersembunyi lantaran berada di dalam area kompleks Pasar Besar Kota Malang. Anak-anak sekarang menyebut warung seperti ini hidden gem, permata tersembunyi. Warung Lama H Ridwan sudah ada nyaris 11 dekade atau seabad lebih. Ridwan yang berasal dari Pulau Madura berjualan di area bakal Pasar Besar Malang tahun 1914 dengan pikulan. Saat itu, kompleks pasar itu belum dibangun.
Setelah 11 tahun kemudian, bangunan kompleks Pasar Besar Malang berdiri dan H Ridwan berjualan di salah satu lapak di dalamnya. Ia lantas memperoleh satu petak, yang menjadi tempatnya berjualan hingga kini.
Menurut H Yusuf Bachtiar (72), penerus usaha generasi ketiga, warungnya diberi nama Warung Lama dengan harapan usaha itu akan terus berlangsung lama, bahkan jika perlu hingga seabad lagi. Banyak kisah suka dan duka dijalani, termasuk di masa-masa sulit ketika perang berkecamuk.
”Kalau di zaman saya, ya, masa krisis akibat pandemi kemarin yang menjadi tantangan terberatnya,” ujar Yusuf, Selasa (12/9/2023).

Pengunjung menyantap rawon balungan Benowo H Mufid saat jam makan siang di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (13/9/2023). Usaha rawon balungan tersebut berdiri sejak tahun 1965.
Saat ditemui, Yusuf dan sejumlah karyawannya tengah bersiap-siap menerima pelanggan yang datang untuk sarapan. Warung-warung dan rumah makan terutama bermenu utama nasi rawon di Malang kebanyakan buka sejak pagi hari. Warung ini hanya libur dua kali dalam setahun, masing-masing selama 40 hari, sepanjang bulan Ramadhan dan Idul Fitri serta pada Idul Adha.
Rawon di Warung Lama H Ridwan memiliki kuah yang pas, tidak encer, tidak kental. Rasa keluaknya termasuk nendang. Di dalamnya terdapat beberapa kerat potongan daging dengan sedikit lemak. Seperti rawon lainnya, rawon di warung ini disajikan bersama sejumput kecambah dan sambal. Pengunjung bisa menambahkan lauk pendamping, mulai dari tempe goreng, mendhol, sate komoh daging sapi, sate usus, empal, babat, otak, ayam bumbu rujak, dan perkedel.
”Soal berapa banyak bumbu keluak yang digunakan, atau memakai bumbu lain apa lagi, saya tidak terlalu paham. Itu semua yang tahu istri saya, bagiannya yang memasak,” ujar Yusuf. Untuk seporsi nasi rawon lengkap, Yusuf menjualnya Rp 20.000.
Mendunia sejak lama
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Malang, Ary Budiyanto, mengatakan, rawon dalam sejarahnya sudah lama mendunia. Dalam lawatan keduanya, Raja Thailand Rama V Chulalongkorn berkeliling Pulau Jawa pada 9 Mei hingga 12 Agustus 1896. Sang raja jatuh cinta pada rawon, yang mampu membuat lidahnya ”menari-nari”.
Perkenalan awal dengan rawon terjadi saat sang raja melawat ke Jatim, dan hidangan itu termasuk sebagai kuliner khas masyarakat di sana. Sang raja terkesan dan menyukai kelezatannya. Dia lalu membawa resep rawon tadi balik ke negaranya untuk diperkenalkan dan dibuat juga di sana.
Di ”Negeri Gajah Putih”, rawon dikenal dengan nama kæng rawæng. Sampai kini, menu kæng rawæng itu disajikan sebagai hidangan kategori classic royale. Menu itu bahkan diperkenalkan setiap mempromosikan menu kerajaan ke luar negeri. ”Jadi, yang menduniakan malah Raja Chulalongkorn. Coba bayangkan itu,” ujar Ary.
Baca juga : Parade Kreativitas Kuliner Borobudur
Dalam catatan Ary, tak semua rawon menggunakan keluak alias berkuah bening. Beberapa jenis rawon bahkan menggunakan santan. Selain itu, dalam catatan sejarah terutama di masa Jawa kuno, baik di dalam inskripsi maupun kakawin, juga tak pernah secara spesifik disebutkan bumbu-bumbu yang digunakan, termasuk keluak atau pucung. ”Walaupun tak disebut atau tidak tertulis, bukan berarti juga tidak ada,” katanya.
Ary menambahkan, jika pergi ke wilayah Blitar dan Batu, rawon di kedua tempat itu berkuah bening. Rawon di Batu bahkan sering dikira orang sup buntut, tetapi minus wortel dan kentang. Rawon berkuah bening juga ditemukan di Bangkalan, Madura, dan Pasuruan.

Keluak matang yang telah diperam dan siap jual di tempat pengepulan UD Rempah Jaya, Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur.
Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, menyebut rawon sejak dulu dipahami sebagai makanan berbahan daging dan berkuah atau basah (telesan).
Dari penelusurannya diketahui bahwa rawon sudah ada di masa Hindu-Buddha, seperti tersurat dalam kitab Kakawin Bhomakawya karya Mpu Panuluh dari era pemerintahan Kerajaan Kadiri (Pangjalu) abad XII M. Pupuh 81 bait 9 susastra ini memuat kalimat, enak ikang rarawan amareg-maregi (enak rasa rawon yang mengenyangkan).
Sebutan arkais (kuno) rawon, lanjut Dwi, adalah rarawwan, yang berasal dari pengulangan kata rawan-rawan. Ada kemungkinan kata itu berasal dari kata dasar rawu yang diberi akhiran -an dan berubah menjadi rawuan. Dalam bahasa Jawa kuno dan Jawa tengahan, kata rawuan kemudian berubah menjadi rawon dalam bahasa Jawa baru.
Beberapa orang percaya kuliner rawon tercantum dalam Prasasti Taji Ponorogo, 823 S atau 901 M, yang di dalamnya menulis atau menyebut kata rerawwan, diambil dari kata rawa. Dari situ beberapa kalangan yakin nama rawon diberikan lantaran mengasosiasikan warna kuahnya yang hitam seperti air rawa-rawa.
Apa pun kisahnya, cita rasa rawon kini telah merambah lidah global, seperti rendang dan nasi goreng.