JIPFest 2023 hadir kembali dan menjadi hajatan besar bagi pelaku fotografi di Indonesia. Beragam perspektif ditawarkan di acara ini, termasuk bagaimana menjaga kontinuitas antargenerasi lewat foto.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Suasana pameran fotografi bertajuk "Generation" yang jadi bagian Jakarta International Photo Festival (JIPFest) di Mal Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (12/9/2023). JIPFest 2023 berlangsung pada 8-24 September 2023 di tujuh titik di kawasan Blok M. Selain pameran foto, ada pula kegiatan lain seperti diskusi dan lokakarya.
Bukan. Ini bukan kisah cinta. Ini soal mata orang-orang yang mengamati foto lekat-lekat, lalu mereka-reka ada kejadian apa hingga fotografer mengeluarkan kameranya. Ini soal foto yang rupanya lebih ceriwis dari seribu kata. Namun untuk masuk dalam obrolan, audiens hanya butuh membuka hati, bukan telinga.
Foto-foto itu berjejer rapi di salah satu sudut Mal Blok M di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Di situ sedang ada pameran foto dengan tulisan ”Generation” besar di bagian depan. Pameran itu adalah bagian dari Jakarta International Photo Festival (JIPFest) yang berlangsung pada 8-24 September 2023.
Diselenggarakan di tujuh lokasi di kawasan Blok M, JIPFest tak hanya menyajikan pameran, tetapi juga diskusi dan lokakarya. Fotografer lintas negara dan lintas generasi terlibat.
Pameran kali ini menampilkan 24 seniman dan fotografer. Mereka berasal dari 13 negara. Selain Indonesia, ada yang dari Meksiko, Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Austria, hingga Kosta Rika. Beberapa peserta pameran ialah Erik Prasetya (Indonesia), Muhammad Zaenuddin (Indonesia), Luiz Bicalho (Amerika Serikat), dan Yara Jimmink (Belanda). Walau judul acaranya pameran foto, karya yang dipamerkan tak melulu hanya foto dua dimensi.
Fotografer dari Argentina, Zahara Gómez, adalah salah satu peserta pameran yang ”bermain” dengan medium. Ia tak hanya membuat foto, tetapi juga menggubah kisah dibalik foto menjadi buku resep dan video. Ia lantas menyebut karyanya, ”Recetario para la Memoria” atau ”Buku Resep Kenangan”, sebuah proyek fotografi, gastronomi, dan sosial.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Suasana Jakarta International Photo Festival (JIPFest) di Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (12/9/2023). JIPFest 2023 berlangsung pada 8-24 September 2023 di tujuh titik di kawasan Blok M. Selain pameran foto, ada pula kegiatan lain seperti diskusi dan lokakarya.
Proyek ini dikerjakan dengan menjadikan kelompok perempuan pencari orang hilang di Meksiko sebagai subyeknya. Per 2022, daftar orang hilang di Meksiko mencapai 100.000 orang. Mereka hilang saat negara berperang melawan kartel-kartel narkoba.
Entah mereka di mana. Entah juga mereka masih hidup atau tidak. Yang jelas, para perempuan (ibu, istri, saudari kandung, anak perempuan, ataupun nenek) mencari kerabat mereka yang hilang lewat aroma busuk yang mungkin muncul dari dalam tanah di gurun, gunung, atau desa.
Para perempuan berduka. Menghidupkan ingatan jadi satu-satunya jalan agar mereka tak tersesat dalam pusaran duka. Mereka pun memasak. Menunya adalah makanan favorit kerabat yang hilang.
Ada yang memasak flan, kue khas Meksiko dengan tekstur seperti puding, untuk mengenang anaknya yang suka sekali dengan karamel. Ada juga yang memasak pozole—hidangan serupa sup khas Meksiko—buat suaminya yang suatu hari pergi seperti biasanya, tetapi kali ini tak pernah pulang lagi.
Menu itu lantas disusun jadi buku resep, sementara cerita sang koki didokumentasikan dalam video serta foto. Karya Gómez adalah ”suara senyap” yang menuntut refleksi akan kebijakan politis dan kemanusiaan.
”Banyak orang dibunuh, dihilangkan, tetapi dia (Gómez) tidak berteriak atau protes. Dia justru membawa kita merasakan empati ke ibu-ibu yang berjuang,” ujar kurator pameran Asep Topan di Jakarta, Selasa (12/9/2023). ”Dia bisa menggunakan medium dengan sangat baik untuk mencapai tujuan karyanya.”
Banyak orang dibunuh, dihilangkan, tetapi dia (Gómez) tidak berteriak atau protes. Dia justru membawa kita merasakan empati ke ibu-ibu yang berjuang.
Mengenal lebih dekat
Karya Gómez membuat pengunjung selangkah lebih dekat untuk memahami apa yang terjadi di Meksiko saat ini. Pemahaman dan diskusi, baik soal isu maupun teknik fotografi, sesungguhnya adalah capaian terbaik dari sebuah pameran.
Hal itu juga yang mau dicapai fotografer Muhammad Zaenuddin. Dengan karya berjudul ”Fenomena Citayam Fashion Week”, ia tak hanya memotret fenomena mode yang hits di Dukuh Atas, Jakarta, pada pertengahan 2022 itu. Ia menyajikan perspektif lain dari pemuda-pemudi Citayam Fashion Week yang selama ini dianggap kampungan belaka.
Pada satu panel foto, Zaenuddin membidik tiga pemuda dengan latar belakang tembok yang sudah keropos. Catnya mengelupas, bahkan semen dindingnya sudah setengah hilang. Tembok itu rupanya bagian dari rumah kosong yang dijadikan hunian oleh anak-anak muda. Mereka tidak sekolah. Kadang preman pasar ”memberdayakan” mereka untuk mencuri atau tawuran.
KOMPAS/STEFANUS ATO
Petugas mengatur lalu lintas di tengah aktivitas warga mengikuti fashion show di daerah Dukuh Atas, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (25/7/2022) sore. Kawasan yang populer dengan sebutan Citayam Fashion Week ini terbentuk oleh remaja pinggiran yang nongkrong, berbusana kece, dan membuat konten aktualisasi diri.
Citayam Fashion Week menjadi pelarian bagi mereka. Dengan transportasi yang memadai, para muda-mudi dengan mudah menjangkau pusat kota Jakarta dan menghabiskan akhir pekannya di sana.
”Mereka jadi punya ruang untuk bermain. Dengan meredupnya fenomena Citayam Fashion Week, saya khawatir mereka balik lagi (ke kejahatan),” kata Zaenuddin, Rabu (13/9/2023).
Citayam Fashion Week pun menjadikan mereka sebagai sorotan sesaat. Hal ini diterjemahkan Zaenuddin dengan menyorotkan cahaya ke subyek foto setiap kali memotret, kontras dengan orang-orang sekitar subyek yang dibiarkan gelap. ”Kalau motret orang terkenal di background kosong, semua orang bisa tahu dia siapa. Tetapi, anak-anak ini beda,” katanya.
Mereka jadi punya ruang untuk bermain. Dengan meredupnya fenomena Citayam Fashion Week, saya khawatir mereka balik lagi (ke kejahatan).
Rekaman masa lalu
Sementara Zaenuddin memotret generasi masa kini, fotografer Erik Prasetya merekam generasi yang bergejolak pada masa reformasi 1998. Karya Erik berjudul ”Eros untuk Reformasi” ini sesungguhnya dicuplik dari karyanya di buku Eros & Reformasi yang terbit pada 2019. Saat terpilih mengikuti pameran, Erik membebaskan para kurator untuk memilih foto-foto yang dinilai layak pamer.
Dalam foto hitam-putih, Erik (yang juga mantan aktivis saat jadi mahasiswa jauh sebelum tahun 1998) menampilkan puluhan foto bukti perjuangan negara ini terhadap demokrasi. Erik yang bukan wartawan merasa bebas memotret dengan sudut pandang warga sipil yang tak dibebani tanggung jawab cover both side. Hasilnya adalah foto yang kalau tak subyektif, sangat jujur.
”Saya tidak pernah motret karena disuruh orang atau karena merasa ini peristiwa penting bagi orang lain. Saya selalu motret apa yang penting bagi saya,” katanya yang dulu menyiapkan sekulkas roll film untuk memotret kejadian 1998.
Pernah Erik beruntung memotret suatu poster yang memuat wajah seorang figur dengan tulisan ”Wanted”. Dari foto itu, Erik berpesan buat generasi saat ini dan mendatang agar jangan salah pilih pemimpin. Jangan lupakan sejarah. Tilik kembali foto-foto lama untuk menyegarkan ingatan.
Ingatan juga yang pada akhirnya menyambungkan generasi lampau, masa kini, dan masa depan. Adapun kurator Asep menyatakan, lahirnya generasi masa kini tak lepas dari generasi masa lalu. Generasi masa depan pun dibentuk dari generasi masa kini.
Dalam keterbatasan daya manusia yang ingatannya kadang pendek, foto hadir buat memperpanjang ingatan. Tanpa foto, kita mungkin kehilangan potongan sejarah penting penanda sebuah generasi.
Saya tidak pernah motret karena disuruh orang atau karena merasa ini peristiwa penting bagi orang lain. Saya selalu motret apa yang penting bagi saya.