Serba-serbi Menghadapi Polusi
Kualitas udara yang memburuk hampir setahun terakhir membuat masyarakat yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya harus melakukan berbagai siasat demi menjaga kesehatan diri dan keluarga.
Kualitas udara yang memburuk membuat masyarakat yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya mesti bersiasat menghadapinya. Ada yang rutin mengecek aplikasi kualitas udara, menyalakan penyaring udara (air purifier), bahkan mengubah gaya hidup menjadi lebih hijau. Sesekali mereka bermimpi suatu saat Jakarta bebas dari polusi udara.
Nina Rustini (32), karyawan swasta, sudah sejak lama menyadari ada yang tidak beres dengan kualitas udara di Jakarta. ”Aku sudah sadar sejak 2019 karena tahu bahwa Jakarta termasuk satu dari sepuluh kota dengan kualitas udara terburuk di dunia,” kata Nina yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Pengetahuan itu didapatkan setelah Nina membaca sejumlah penelitian mengenai kualitas udara Jakarta. Saat itu, menurut Nina, buruknya kualitas udara di Jakarta tidak tersebar di semua sudut kota. Hanya di daerah-daerah sibuk, seperti di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Seiring dengan pandemi Covid-19, kualitas udara di Jakarta mulai membaik. Maklum, saat itu mobilisasi warga dibatasi. Pabrik-pabrik dan gedung-gedung perkantoran pun tutup. Setelah pandemi reda dan aktivitas warga kembali normal, kualitas udara di Jakarta kembali memburuk. Titik polusi malah melebar ke kota-kota satelit di sekitar Jakarta.
Kondisi paling buruk terjadi bulan lalu. Berdasarkan situs IQAir, Rabu (9/8/2023) sekitar pukul 08.00, Indeks Kualitas Udara (AQI) mencapai 165. Hari itu Jakarta berada di peringkat ketiga kota dengan polusi udara terburuk di Indonesia. Urutan pertama dan kedua kota dengan polusi terburuk tidak lain tetangga Jakarta, yakni Tangerang Selatan (198) dan Kota Tangerang (174).
AQI pada angka 151-200 menunjukkan kualitas udara tidak sehat. Artinya, ada kemungkinan peningkatan terjadi gangguan jantung dan paru-paru serta berdampak pada kesehatan di kalangan masyarakat, terutama kelompok sensitif.
Nina, yang tinggal di Tangerang Selatan, semakin khawatir karena ia merasakan betul betapa buruknya kualitas udara. ”Aku tidak bisa menoleransi hal itu. Setiap hari aku tinggal di rumah saja, menyalakan penyejuk udara dan air purifier. Aku juga membatasi kegiatan anak di luar rumah. Padahal, dulu kami sering ke taman,” kata ibu seorang anak balita berusia 20 bulan ini.
Baca juga: Cinta luar biasa penonton muda
Nina sebenarnya serba salah. Menyalakan penyejuk udara dan air purifier yang mengandalkan aliran listrik bukanlah keputusan terbaik di tengah udara buruk. Pasalnya, sebagian besar pembangkit listrik masih menggunakan bahan bakar batubara yang menjadi salah satu sumber penyebab buruknya kualitas udara di Indonesia. Namun, ia terpaksa mengambil keputusan itu demi kepentingan keluarga. ”Ini kayak buah simalakama,” ujar Nina.
Buruknya kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya telah mengganggu kesehatan putri semata wayangnya. Ia jadi sering batuk dan pilek. ”Selama enam bulan terakhir, setiap hari batuk dan pilek. Dalam kurun waktu itu, mungkin hanya dua hari ia tidak sakit,” ujarnya.
Sakit batuk dan pilek anaknya ini, lanjut Nina, boleh jadi disebabkan beberapa faktor, seperti kualitas udara buruk dan paparan virus di pengasuhan anak, tempat anaknya beraktivitas. Meski ia tidak tahu pasti penyebabnya, Nina memutuskan pindah ke Semarang, Jawa Tengah.
Ia lega karena di Semarang, kesehatan putrinya membaik. Nina percaya hal ini terjadi karena kualitas udara di Semarang jauh lebih baik dibandingkan dengan Jakarta. ”Dia sudah tidak pernah pilek lagi, batuk masih sedikit-sedikit,” katanya yang kini harus menjalani kerja dari jarak jauh.
Menurut Nina, menjaga kesehatan diri dan anaknya merupakan investasi jangka panjang. ”Aku merasa punya privilege karena bisa mengambil keputusan tinggal di Semarang. Namun, banyak warga lain yang pilihannya terbatas.”
Dampak polusi tak ayal juga mengganggu kesehatan Jayanti R Mandasari (36), aparatur sipil negara di sebuah institusi pemerintahan di Jakarta. Badannya mulai terasa tidak enak sejak pertengahan Agustus 2023.
Terbiasa memakai masker sejak pandemi, Jayanti ingat betul pernah beberapa kali melepas masker lantaran cuaca yang begitu panas menyengat. Ia melepas masker ketika berada di luar kantor untuk urusan pekerjaan, termasuk saat berkunjung ke Cibubur, Jakarta Timur, dan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
”Nah, dari situ aku mulai rasa enggak enak, terus minum es juga. Malamnya batuk-batuk,” kata Jayanti, Jumat (8/9/2023).
Batuk Jayanti sampai berlendir. Bahkan, pada satu malam dia terbangun dari tidur karena susah bernapas. ”Waktu itu napasku satu-satu, padahal aku enggak ada asma. Ini mengingatkan pengalamanku merasakan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Pontianak, tempatku berasal,” ujarnya.
Karena tak kunjung sembuh, dia mencoba berkonsultasi dengan dokter secara daring lewat aplikasi kesehatan Halodoc. Diagnosis dokter menyebutkan Jayanti kemungkinan besar terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Dua minggu lebih berlalu, kesehatan Jayanti akhirnya mulai pulih meski belum sembuh total. Dari pengalaman tak mengenakkan ini, ia semakin rajin memakai masker, baik di luar ruangan maupun dalam ruangan.
Gaya hidup
Memburuknya kualitas udara membuat sebagian warga Jakarta mengubah gaya hidup. Kebiasaan olahraga di luar rumah, misalnya, digantikan dengan olahraga di dalam rumah. Masyarakat juga lebih rutin menggunakan transportasi publik.
Misalnya, dulu Nina dan putrinya sering berenang di kolam renang luar ruang di Jakarta. Kini ibu-anak ini hanya berenang jika ia dan putrinya sedang berada di luar kota.
Sementara itu, keseharian bankir senior Antonius Ismoyo Jati (51) tidak luput dari buntut polusi. Laki-laki yang tinggal di Duren Sawit, Jakarta Timur, ini memiliki hobi lari sehingga rutin lari setiap pagi mulai pukul 05.30 sampai 07.00.
”Di pagi hari saja polusinya sudah terasa karena bernapas terasa tidak nyaman. Langitnya juga berwarna abu-abu. Namun, saya dan teman-teman pelari tidak bisa mengubah keadaan karena punya tujuan masing-masing, seperti mau ikut lomba maraton. Kalau kami latihan dalam ruangan pakai treadmill pasti bosan dan tidak sesuai dengan kecepatan yang kami punya,” kata Jati.
Selama beberapa minggu terakhir, Jati merasakan dampak polusi terhadap performa tubuh. Hal paling sederhana yang dia sadari ialah dahaga yang berlebihan. ”Saya biasanya minum di rumah setelah lari, itu terasa banget kerongkongan kering,” ujarnya.
Baca juga: Pensi yang Tetap Bersemi di Kalangan Pelajar
Kalaupun membawa botol air minum, Jati yang pernah mengikuti ajang maraton di Filipina, Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat ini mulai menambah porsi minumnya. Jumlahnya sekarang dapat mencapai 500 cc atau naik dua kali lipat dari yang biasa dia bawa.
Dengan buruknya kualitas udara, Jati menuturkan, salah satu cara sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan beralih menggunakan kendaraan umum, memperbanyak jalan kaki jika tujuan dekat, dan berhenti membakar sampah. Sayangnya, di sekitar perumahan Jati, dia masih mendapati tetangga yang membakar sampah di pagi hari karena enggan membayar jasa pengangkutan sampah.
”Saya biasanya lari 10-15 kilometer. Saya bisa menemukan sekitar dua sampai tiga titik orang yang membakar sampah. Di kompleks saya juga ada yang membakar. Saya bangun pagi disambut bau sampah dibakar. Sebaiknya di perumahan ada imbauan larangan membakar sampah dan penerapan sanksi,” kata Jati.
Adapun demi kesehatan, Fitria Wulandari (31), karyawan di perusahaan teknologi informatika, rutin menyalakan air purifier di rumah. Ide membeli air purifier muncul karena Mili, panggilan Fitria Wulandari, sudah tidak tahan dengan buruknya kualitas udara di Jakarta.
”Sejak Januari 2023, aku sering radang tenggorokan. Padahal, sebelumnya aku tinggal di London enggak pernah radang,” katanya.
Biasanya ia menyalakan air purifier pada malam hari sepulang bekerja. Alat itu menyala sepanjang hari pada akhir pekan. Keberadaan air purifier belum bisa menyembuhkan sakit radang karena Mili masih sering beraktivitas di luar rumah untuk bekerja. Namun, setidaknya alat itu membuat udara di rumahnya, di daerah Bekasi, terasa lebih bersih dan sejuk.
Meski merasa terbantu dengan air purifier, Mili menyadari enggak semua orang rumah mengerti manfaat air purifier dan bahaya polusi udara. ”Mamaku masih enggak terbiasa. Kalau lihat air purifier menyala, malah alat itu dimatikan karena dianggap tidak ada gunanya. Aku berusaha meyakinkan bahwa ini penting,” katanya.
Mili juga selalu menggunakan masker saat berada di luar rumah. Setiap hari ia juga menggunakan transportasi publik, seperti KRL untuk berangkat bekerja. Ia mengurangi penggunaan mobil pribadi jika hanya melakukan perjalanan seorang diri.
Upaya masyarakat memang tidak bisa langsung menyelesaikan persoalan udara di Jakarta dan sekitarnya. Namun, ini adalah bukti masyarakat menolak kalah dengan keadaan. Sudah selayaknya hal ini diikuti dengan kebijakan yang mendukung terciptanya udara bersih.