Bagi Pelari, Usia Hanyalah Angka
Para pelari master berusia di atas 50 tahun menunjukkan pepatah lama yang berbunyi usia hanyalah angka. Dengan tekad, semangat, dan modal latihan keras, pelari senior ini mengikuti berbagai ajang lari.
Para pelari master berusia di atas 50 tahun membuktikan pepatah lama: usia hanyalah angka. Bermodal tekad, semangat, dan latihan keras, mereka mengikuti berbagai ajang lari, termasuk ajang lari mayor di luar negeri.
Di antara mereka ada Mirna Nizir. Sejak 10 tahun yang lalu, perempuan berusia 61 tahun itu rutin berlatih lari dan mengikuti ajang lari di dalam dan luar negeri.
Rabu (28/6/2023), selepas subuh, ia menyetir mobil dari daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan, ke kawasan Gelora Bung Karno (GBK) untuk berlatih lari bersama komunitas Fashion Runner di Lapangan Softball.
Sekitar pukul 06.00, setelah pemanasan sebentar, ia menjalani latihan lari 3 x 3.000 meter dengan pace 7 bersama mengelilingi Lapangan Softball. Ia berlatih bersama 15 pelari satu komunitas yang sebagian besar usianya lebih muda. Tidak heran jika Mirna kalah cepat. Tetapi, ia tetap semangat. Ia terus berlari dengan wajah gembira.
”Komunitas ini gila. Larinya kencang-kencang. Dibandingkan yang muda-muda, saya kalah cepat. Tapi, saya cuek saja. Tujuan saya, kan, ingin sehat,” kata Mirna yang melahap menu latihan itu dalam 60 menit.
Ia masih melanjutkan latihan dengan menu lain. Sinar matahari pagi membuat keringat di tubuh Mirna tampak berkilat. Ia dan kawan-kawannya mengakhiri latihan sekitar pukul 07.30. Setelah itu, ia beristirahat sambil minum jus mangga. ”Untung hari ini libur, jadi bisa santai. Biasanya kalau tidak libur, selesai latihan saya langsung ganti baju dan kerja,” ujar dokter gigi itu.
Mirna rutin berlatih lari dua pekan sekali, yakni pada Rabu dan Jumat. Hasil latihan ini akan diuji saat ia mengikuti Berlin Marathon pada September 2023. Berlin Marathon adalah satu dari enam ajang maraton mayor tingkat dunia selain Tokyo Marathon, London Marathon, Boston Marathon, New York Marathon, dan Chicago Marathon.
Mirna senang berolahraga sejak kecil, terutama renang, sepeda, dan tenis. Tetapi, sejak 2012, ia kepincut lari dan langsung mengikuti ajang lari yang saat itu mulai marak. Ia ingat, race pertama yang diikuti adalah Monas Marathon 2012. Saat itu, Mirna ikut kategori 10K. ”Dulu enggak ngerti lari. Yang penting finis, dapat medali, dan senang,” katanya.
Setelah ikut beberapa ajang lari, Mirna tertantang ikut kategori maraton pada ajang Jogja Marathon 2017. Ia berhasil finis di bawah COT (cut-off time) atau batas waktu maksimal seorang pelari menyelesaikan jarak tempuh dan bisa dinyatakan lulus dalam lomba lari. Meski begitu, Mirna merasa masih ada yang kurang. ”Aku ingin bisa lari seperti orang-orang, finis di bawah COT dan enggak sampai bonyok atau cedera,” katanya.
Baca juga: Komedi dan Tragedi Film Eropa Masa Kini
Sejak itu, Mirna mulai serius berlatih lari. Ia bergabung dengan sejumlah komunitas lari, seperti Fashion Runner, Kedodoran (Komunitas Dokter Doyan Lari), Run for Indonesia, Campursari, dan ALTI (Asosiasi Lari Trail Indonesia). Setiap pekan, ia berlari setidaknya 40 kilometer. Latihan rutin didukung pengaturan pola makan dan istirahat yang baik membuat kemampuannya meningkat. Di ajang Makassar Half Marathon 2023, Mirna bisa mencapai kategori 21K dengan catatan waktu 2 jam 55 menit 58 detik.
Selama mengikuti ajang lari, Mirna mendapat banyak pengalaman menarik. Ia, misalnya, mesti lari pada malam hari di RTC 2022 100K di Bali. Ia sempat khawatir karena harus lari sendirian dan banyak anjing menggonggong. Mendekati finis pada pagi hari, baterai head lamp-nya mati yang membuat dia terpaksa lari dalam gelap.
Meski banyak tantangan dan kejadian tidak terduga, Mirna malah ketagihan. Ia merasa olahraga lari menunjang aktivitasnya sehari-hari dan hobi lainnya seperti naik gunung dan memotret meski usianya sudah masuk kategori lansia.
Usia hanya angka
Seperti Mirna, buat Karijadi usia hanyalah angka. Laki-laki berusia 67 tahun itu sampai sekarang rutin berlatih lari lima kali dalam seminggu di GBK. Sekali latihan, ia melahap jarak antara 10-15 kilometer yang ia tempuh dalam waktu 60-an menit.
Hasil latihannya akan ia uji pada ajang lari LPS Monas Half Marathon di Jakarta, Minggu (2/7/2023) ini. LPS Monas Half Marathon merupakan satu dari empat ajang half marathon yang pernah ia ikuti sejak 2017. Di luar itu, ia pernah mengikuti ajang lari yang lain.
Karijadi mengakui awalnya ia suka olahraga jalan cepat. Setelah itu, ia mencoba lari ringan (joging) atau lari ringan. Belakangan, ia kepincut lari jarak jauh dan mulai mengikuti race. Dari situ, ia memetik banyak manfaat, antara lain tubuh menjadi lebih bugar, hatinya senang, tidur pulas, dan mendapat banyak teman.
Untuk itu, dia tidak mau terlalu ngoyo saat ikut race. Ia berusaha lari dengan aman dan terhindar dari cedera. Ia selalu berlari dengan merujuk pengukur detak jantung atau heart rate yang tak pernah melampaui 140 kali per menit. ”Kalau sudah mendekati, saya slow down (pelan-pelan) lagi,” ujarnya.
Baca juga: Pemburu Kisah Film dari Benua Biru
Dengan alasan kesehatan pula, bankir senior Antonius Ismoyo Jati (51) menekuni dunia lari. Dari semula lari thimik-thimik atau berlari pelan sampai finis, sampai akhirnya Jati bisa menembus kualifikasi Boston Marathon setelah sukses berlari dengan catatan waktu 3 jam 22 menit 45 detik. Catatan waktu itu ia bukukan di ajang Tokyo Marathon 2023.
Jati menuturkan, ketertarikannya pada dunia lari muncul pertama kali setelah melihat banyak figur publik yang meninggal karena sakit jantung. Misalnya, aktor Adjie Massaid meninggal karena serangan jantung pada 2011. Selain itu, presenter olahraga Ricky Jo meninggal karena jantung pada 2013. ”Ibu saya juga meninggal karena (sakit) jantung. Dari situ, saya menyadari betapa berartinya jantung manusia. Dengan usia yang terus bertambah, saya semakin sadar untuk merawat jantung,” tuturnya.
Sebelum lari, olahraga memang sudah dekat dengan kehidupan Jati. Ia pernah menggeluti tenis dan body builder. Tetapi, saat itu ia belum tertarik pada lari.
Kesadaran untuk merawat jantung membuat dia menekuni lari karena lari penting untuk jantung. Lari juga mendukung performa olahraga lainnya, seperti tenis. ”Saya ingat tahun 2012 setelah ngantor di BEJ (Bursa Efek Jakarta), saya ganti baju terus lari di kawasan SCBD. Waktu itu lari di jalur lambat. Baru lari 300 meter sudah berhenti karena seperti mau mati. Sudah ah, capek, males,” kata pria yang pernah mencapai ranking ke-300 petenis yunior dunia pada 1990 itu.
Namun, ia tidak berhenti. Keesokan harinya, ia kembali berlatih lari. Ia menyisipkan menu lari sebelum berlatih tenis. Hasilnya, permainan tenisnya semakin baik. Napasnya menjadi lebih panjang dan respons tubuhnya saat memukul bola menjadi lebih baik. Jati pun semakin semangat berlatih lari. Jarak latihannya juga semakin panjang. Ia mulai berlari 5 km, 8 km, hingga 10 km. Latihan biasanya dilakukan di kawasan car free day, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Atas ajakan seorang teman, ia ikut beberapa ajang lari dengan kategori 5K dan 10K yang diselenggarakan di kota Jakarta dan sekitarnya. Ia mendapati lomba lari seru dan menyenangkan.
Jati menjalani debut maraton atau lari dengan jarak 42,195 km di Filipina pada 2015. ”Waktu itu usia saya masih 42 tahun. Satu-satunya orang Indonesia (yang ikut). Saya mencapai finis dalam waktu 6 jam. Badan masih bengkak, kaki mau patah, dan hampir diangkut petugas,” katanya.
Pada tahun yang sama ia terpilih undian untuk mengikuti Berlin Marathon. Belajar dari pengalaman sebelumnya, ia merasa perlu latihan agar bisa finis tanpa cedera.
Demi mencapai performa yang lebih baik, Jati berlatih di GOR Sumantri Brodjonegoro, Jakarta Selatan. Bersama klub lari Track Team, ia berlatih teknik lari dan penguatan otot. Ia juga mengatur pola makan dan istirahat.
Latihan lari membuat penampilannya semakin baik. Hal ini dibuktikan dari catatan waktu yang dicapai di 10 ajang maraton di Berlin, Tokoshima, Chicago, London, Borobudur, New York, dan Tokyo.
Dari yang semula lari selama 6 jam di Filipina, Jati bisa mencapai catatan waktu terbaik 3 jam 22 menit 45 detik di Jepang pada 2023. Ia butuh waktu nyaris 10 tahun berlatih untuk menorehkan catatan waktu terbaik.
Dengan catatan waktu yang semakin baik, ia beberapa kali mencapai podium untuk kategori master. Terakhir ia menjadi pemenang ke-3 kategori master pada BFI Run 2023 dengan catatan waktu 43 menit 48 detik untuk kategori 10K.
Meskipun lari memberikan banyak manfaat bagi kesehatan, Jati juga pernah mengalami cedera serius yang disebutnya sebagai ”masa-masa kegelapan”. Cedera pada lutut kiri bagian belakang itu membuat Jati tidak bisa berlari atau berjalan.
Itulah yang membuatnya semakin serius berlatih strength and conditioning. Ia menjaga pola makan sehingga membuat berat badannya turun. Sejak rutin lari, berat badannya turun dari 83 kg menjadi 65 kg. ”Dulu aku suka makan mi ayam. Setiap hari makan mi ayam. Sejak lari, aku enggak bisa sering-sering makan mi ayam. Mengubah pola hidup paling susah,” ujar Jati.
Bagi Jati, motivasi terbesarnya menggeluti olahraga lari adalah kesehatan. ”Saya punya anak kecil. Saya pengin sehat, kuat, bisa main dengan anak. Kalau saya lemah, saya enggak bisa ngikutin anak saya sampai dewasa,” katanya.
Orang yang berpikir seperti Jati, Mirna, dan Karijadi kini semakin banyak. Mereka tidak hanya berlatih, tetapi juga antusias mengejar aneka lomba lari yang bertebaran di berbagai kota. Tinggal pilih saja.
Antusiasme orang mengikuti lomba lari juga tampak pada ajang LPS Monas Half Marathon. Sekitar 7.000 pelari ikut ajang itu. Sebanyak 5.000 orang ikut half marathon yang digelar Minggu (2/7/2023), sisanya ikut Run The City, lari sambil menikmati kota Jakarta pada Sabtu (1/7/2023).
Mungkin di antara peserta ada yang baru pertama kali ikut ajang lari. Setelah itu, semoga mereka ketagihan.