”Pertemuan” Kecap-kecap Nomor Satu
Beberapa hari lalu, lebih dari 100 merek kecap, yang hampir semuanya mengeklaim nomor satu, berkumpul layaknya ”kongres kecap”.
Kecap manis tak semata pelengkap hidangan di meja makan. Eksistensinya di Nusantara telah ada sejak ratusan tahun silam, lahir dari tangan para leluhur di Nusantara. Beberapa hari lalu, lebih dari 100 merek kecap, yang hampir semuanya mengeklaim nomor satu, berkumpul layaknya ”kongres kecap”.
Kekayaan rasa kecap manis Nusantara hadir di Teater Pengetahuan, Universitas Padjadjaran (Unpad), Kecamatan Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, 13-16 Juni 2023. Di sana dipamerkan lebih dari 100 merek kecap manis produksi lokal beraneka rasa, aroma, warna, hingga kekentalan yang berbeda.
Beberapa di antaranya adalah Kecap Cap Kuntul dari Cilacap, Jawa Tengah, yang memasang ”No. 1” di label botolnya; Kecap Meja Cap Noni asal Bandung, Jawa Barat; Kecap Cap Matahari asal Cirebon, Jawa Barat; Kecap No. 1 Cap Ikan Tombro asal Jombang, Jawa Timur; hingga Kecap Manis Cap Bulan asal Palembang, Sumatera Selatan. Masih banyak lagi merek kecap yang namanya tidak terlalu familiar di telinga.
Keanekaragaman merek kecap ini membuat Luciana Djaya (65) terkesima. Dosen Fakultas Pertanian Unpad ini bertanya-tanya, apakah semua merek kecap yang ditampilkan itu masih eksis hingga kini.
”Keluarga saya dari kakek buyut ada yang membuat kecap. Tetapi sekarang sudah tutup. Ternyata, masih ada yang bertahan dari daerah lain sebanyak ini,” ujarnya semringah.
Kegemaran Luciana mengonsumsi kecap sudah ada semenjak kecil. Bersama suaminya, hingga kini Luciana kerap mencari makanan berkecap saat jajan di luar. Kecap yang digunakan juga berasal dari perusahaan kecap lokal asal Bandung.
”Kalau di rumah, kami sering pakai Cap Tiga Telor Ayam. Saya dan suami juga selalu nyari makanan yang ada kecapnya. Dulu, waktu kecil, saya juga suka makan kerupuk dengan kecap dan nasi di atasnya,” kenang Luciana.
Puluhan botol kecap aneka merek yang datang dari sejumlah daerah tersebut didatangkan oleh dosen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad, Hardian Eko Nurseto alias Seto. Sebagian juga dimiliki oleh kolektor kecap asal Solo, Habibie Arifianto, yang sedang membangun Museum Kecap Nusantara melalui akun di media sosial.
Baca juga: Kelezatan Surgawi dari Dapur Neraka
Seto juga kolektor kecap. Tak hanya mengumpulkan botol kecap, dia pun mengamati aneka rasa yang hadir sesuai selera masyarakat di sekitarnya. Umumnya, merek kecap manis lokal hanya memiliki wilayah edar yang tidak begitu luas, hanya berkisar satu sampai dua wilayah dari daerah asalnya.
”Dengan cakupan yang terbatas dan menyesuaikan selera masyarakat lokal, setiap merek kecap lokal memiliki karakter rasa yang berbeda. Ada yang kental dan manis, ada yang lebih gurih, dan lainnya,” ujarnya.
Menurut Seto, ciri khas setiap kecap manis bisa dilihat dari sejumlah karakter, mulai dari konsistensi atau kekentalan, warna, rasa, hingga aroma. Semuanya menyesuaikan preferensi rasa makanan yang ada di daerah tersebut.
Setiap merek pun punya kecocokan masing-masing. Misalnya, Kecap Cap Anggur cocok untuk mi yamin, siomai, atau bakso. Kecap Cap Borobudur bisa untuk sate. Kecap Cap Sapi bisa untuk nasi goreng. Kecap Maja Menjangan dan Ban Bersayap untuk nasi lengko, dan sebagainya.
”Dari produsennya ada juga yang bikin khusus buat bakaran. Biasanya lebih kental supaya lebih mudah karamelisasinya. Buat bubur yang encer karena kalau kental ngaduk-nya susah. Yang pekat cocok buat bakso tahu atau siomai. Kan, dia dikukus, jadi keluar asap. Kalau dikasih yang encer, kecapnya enggak nempel,” tutur Seto.
Saat mencium aromanya, bisa diketahui jenis gula yang digunakan. Begitu juga dari konsistensinya, apakah menggunakan pengental atau tidak. Demi menekan harga, tak jarang produsen menggunakan bahan-bahan non-alami semacam itu.
Sentuhan Nusantara
Menurut catatan sejarah, kecap dibawa oleh para pedagang dari tanah China. Sejak abad ke-14 hingga ke-19, para pedagang yang berasal dari Fujian atau penutur Min Selatan berniaga di sejumlah wilayah, mulai dari China hingga Asia Tenggara.
”Mereka berdagang dan menetap di Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Laos, Burma, dan Filipina. Semuanya tepat di daerah yang menggunakan kecap ikan,” papar dosen Sejarah dan Filologi Unpad, Fadly Rahman.
Kecap ikan merupakan hasil dari tradisi fermentasi yang telah dikembangkan oleh Dinasti Han sejak tahun 206 SM (sebelum Masehi). Teknik fermentasi ini kemudian diterapkan ke berbagai bahan pangan, termasuk kedelai yang mulai dikembangkan sebagai bahan baku kecap sekitar 100-50 SM.
Baca juga: Perjuangan Para Peracik Rasa
Sekitar abad ke-19, para pedagang Tionghoa berinovasi agar kecap bisa diterima oleh masyarakat di Nusantara. Mereka menyadari, warga lokal lebih menyukai rasa manis ketimbang asin yang menjadi resep asal dari daratan China.
Fermentasi kedelai kemudian dicampur dengan gula merah atau gula aren. Tak hanya menghasilkan rasa manis, teksturnya juga menjadi lebih kental. ”Bisa dikatakan, kecap manis dari campuran gula pertama kali dibuat oleh nenek moyang di Nusantara. Semua itu menunjukkan ketangguhan adaptasi para perantau Tionghoa yang menyesuaikan produk dengan selera pasar,” ucapnya.
Pada akhir abad ke-19, berdiri pabrik kecap pertama di kawasan Banten. Pabrik yang didirikan oleh Teng Hay Soey itu bernama Ketjap Benteng Istana. Disusul Ketjap SH (Siong Hin) pada era 1920-an hingga Tjap Bango yang didirikan di daerah Benteng, Tangerang, pada 1928. Pabrik ini milik Tjoa Pit Boen atau Yunus Kartadinata dan istrinya, Tjoa Eng Nio.
Akan tetapi, berbeda dengan komoditas lain, salah satunya teh, catatan tentang kecap di Nusantara nyaris tidak ada. Habibie, yang saat ini memiliki lebih dari 400 botol kecap lokal aneka merek, selalu menemui kesulitan saat menggali kepustakaan kecap.
”Kecap ini memang salah satu item yang sulit didapatkan, apalagi kecap-kecap yang sudah tidak diproduksi. Jadi, kecap ini seperti dilupakan. Ditelan zaman begitu saja. Padahal ini, kan, warisan budaya bangsa. Tapi kepustakaannya tidak ada. Barang-barang yang berhubungan dengan kecap tidak ada, sampai label-label-nya juga sulit ditemukan,” ungkap Habibie.
Kecap dan politik
Bahkan, begitu dekatnya kecap di tengah masyarakat, kecap turut mewarnai perpolitikan Tanah Air. Dalam sebuah majalah politik yang terbit tahun 1966, disebutkan partai-partai dalam pemilihan umum jangan jual kecap. ”Itu maksudnya partai itu jangan cuma janji manis dan bilang dia paling nomor satu,” ujar Seto.
Dalam potongan iklan kecap yang dikoleksi Habibie, kira-kira dibuat tahun 1945-1946 setelah Perang Dunia II, salah satu merek kecap menyebutkan rasa kecapnya masih sama dengan sebelum perang. ”Jadi, memang sepertinya sebelum perang, kecap itu sudah memiliki standar rasa sendiri. Setelah perang, rasanya masih sama,” kata Habibie.
Saat situasi politik Tanah Air memanas dalam kasus Irian Barat, muncul juga kecap merek Irian Barat. Ini menambah fakta bahwa kecap turut mewarnai situasi politik Tanah Air.
Sayang, meski telah hadir di Nusantara berabad-abad lamanya, hingga turut mewarnai dunia politik Tanah Air, banyak perusahaan kecap lokal mati. Sebagian lainnya terus meredup.
Pekan lalu, kecap favorit Presiden Soekarno, Sie Wie Bo asal Blitar, dikabarkan tutup setelah bertahan sejak 1901 hingga generasi keempat. Informasi terbaru menyebut Sie Wie Bo tetap ada, tetapi pabriknya berpindah ke Bogor.
Sementara kecap primadona Semarang, Kecap Cap Piring Lombok, diakuisisi pemodal besar, lantas hilang. Hanya meninggalkan kenangan. Generasi muda saat ini hanya mengenal merek-merek kecap besar.
Menurut Fadly, regenerasi hingga modal yang belum kuat menghambat produsen kecap lokal di daerah untuk berkembang. ”Saat ini orang-orang hanya tahu segelintir merek kecap. Tak banyak yang tahu ada merek kecap lokal yang tak kalah kualitasnya. Para produsen lokal ini sulit karena kalah modal dengan yang lebih besar,” tuturnya.
Kesulitan dalam regenerasi pun menjadi tantangan besar bagi produksi kecap lokal. Menurut Fadly, sejumlah pabrik kecap hanya bisa bertahan hingga generasi ketiga dan keempat. Banyak keturunan pemilik pabrik memilih terjun ke bisnis lain.
”Kalau dilihat dari potensi pasar, menurut saya, tidak ada masalah karena masih ada orang yang mencari merek lokal,” kata Fadly.
Habibie menambahkan, masalah distribusi yang terbatas dan kendala yang dihadapi dengan merek-merek kecap yang sudah mapan memang menjadi lonceng kematian bagi kecap lokal. ”Untuk berkompetisi bukan hal yang mudah. Apalagi untuk perusahaan kecil,” ucapnya.
Akan tetapi, keyakinan harus terus dirawat. Seto pun optimistis kecap akan terus eksis di tengah masyarakat. Selama masih ada makanan tradisional yang menggunakan kecap, kecap akan tetap ada.
”Kecap enggak akan hidup sendiri. Dia harus ketemu sama makanan lain. Jadi, harus dibangkitkan lagi makanan-makanan tradisional yang menggunakan kecap,” katanya. Nah, kecap apa di meja makanmu?