Kebaya Peranakan Tak Tumbang
Pemakaian kebaya peranakan naik seiring tumbuhnya demokrasi dan pengakuan terhadap etnis Tionghoa. Walau pemakaiannya belum sepopuler kebaya kuthu baru, tapi meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.

Model membawakan busana kebaya peranakan kreasi Radja Art dalam Hadiprana Fashion Festival 2023 di Mitra Hadiprana, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Asimilasi budaya Tionghoa-Indonesia melahirkan kebaya peranakan. Warna putih kerap mendominasi lalu muncul warna ceria dengan motif bunga atau hewan. Kebaya peranakan terus berkembang tanpa meninggalkan pakem.
Pada Hadiprana Fashion Festival dan Art Bazar 2023 di Mitra Hadiprana akhir Maret lalu, hadirin mendapat suguhan tampilan 12 kebaya peranakan dari jenama Radja Art yang lebih dari 20 tahun membuat kebaya peranakan.
Selain kebaya warna putih atau warna kalem lain, desainer Reza Arief Darmadji (57) dan Jonson Gori (Jojo Gouw) dari Radja Art memperlihatkan kebaya warna biru, hijau merah, kuning, hitam, ungu dengan motif bunga dan hewan seperti burung merak, ikan, bahkan panda. Yang membuat kebaya yang dipadu sarung motif pesisiran itu unik, warna motif (gambar) pada kebaya yang dibordir punya gradasi warna. Membuat motif pada kebaya seolah hidup.
Di antara kebaya berwarna putih yang dipamerkan, ada kebaya antik berusia sekitar 100 tahun. Reza menjelaskan, koleksi itu dipungut dari orang yang membuang kebaya tahun 1970-1980-an. Ketika itu minat perempuan peranakan berkebaya turun drastis sehingga banyak yang membuang kebayanya atau memasukkan ke peti mati jenazah ”bekal” bagi mendiang menghadap Pencipta.

Model membawakan busana kebaya peranakan kreasi Radja Art dalam Hadiprana Fashion Festival 2023 di Mitra Hadiprana, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
”Bahan kebaya peranakan zaman dulu bagus, kayak kain kelambu tipis menerawang dengan hiasan renda. Itu semua (hasil) pekerjaan tangan. Tukang saya tinggal satu yang bisa membuat kopi (tiruan) kebaya yang begitu,” kata Reza usai acara.
Ia menambahkan, model kebaya peranakan zaman dulu dipengaruhi kebaya perempuan Belanda yang hidup di Batavia. ”Pada masa itu, perempuan Belanda memakai kebaya lace agar tak gerah,” kata Reza yang sering menjadi narasumber mengenai hal berkait kebaya peranakan.
Model kebaya peranakan di Indonesia berwarna putih dan warna pastel dengan hiasan renda dan kancing di dada masih bertahan hingga kini dan disebut kebaya renda. Perempuan suku Tionghoa di sejumlah daerah di Indonesia biasa memakai kebaya putih di berbagai kesempatan.
Reza mendapat pemahaman soal kebaya peranakan dari Oey Nelly Nio, neneknya. Oey selalu berkebaya dan sering mengajaknya ke berbagai acara.

Model membawakan busana kebaya peranakan kreasi Radja Art dalam Hadiprana Fashion Festival 2023 di Mitra Hadiprana, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Reza menyatakan, panjang bagian belakang kebaya peranakan tak menutupi pantat. Sedangkan bagian depan lebih panjang dari bagian belakang. Panjang lengan kebaya peranakan hanya semata ikan, agar gelang yang mereka pakai terlihat.
Warna-warni
”Jika kami hanya membuat kebaya peranakan seperti itu, orang muda mana mau pakai? Ibu-ibu kalau pakai kebaya warna putih bilang kayak nenek-nenek. Kan sekarang ada tren warna-warni, kenapa kebaya enggak? Saya membuat kebaya peranakan warna-warni,” ujar Reza.
Ternyata pasar meminatinya. Meski demikian, pemilihan warna kebaya tergantung selera setiap orang.
Radja Art juga memamerkan kebaya peranakan warna ungu, biru, oranye, dan hijau. Motifnya tidak hanya bunga, tetapi juga hewan seperti burung merak atau panda. Ini berbeda dibandingkan kebaya peranakan. Pada umumnya kebaya peranakan dengan motif hewan, gambarnya sering kali berupa burung China. Orang Jawa menyebutnya ayam begar yang berbulu ekor panjang.
Menurut Reza, banyak orang memesan kebaya peranakan dengan gambar hewan seperti ikan, merak, atau panda agar tak bosan dengan motif bunga dan ayam.
Proses membuat kebaya peranakan perlu waktu panjang. Itulah sebabnya ia meminta pemesanan harus dilakukan setahun sebelum kebaya dipakai. Sebab, selain banyak pesanan, proses pembuatan sebuah kebaya lama dan tidak mudah.
Ukuran kebaya juga harus sesuai pemesan. Reza juga harus mencari inspirasi tema gambar sesuai pesanan. ”Kalau lagi bad mood enggak mungkin bagus mencipta. Ada yang dalam sekejap menemukan ide. Ada yang berbulan-bulan baru timbul ide. Beruntung pemesan paham dan sabar,” kata Reza.
Tahap lain yang tak kalah rumit, membordir motif. Gradasi warna pada motif mengharuskan ia butuh 30-40 warna benang. Ia mencontohkan untuk membuat bunga warna merah bisa perlu empat benang dengan warna bergradasi sehingga menghasilkan bagian bunga warna putih, semburat merah, sampai merah. Padahal, masih ada warna-warna lain yang dibutuhkan untuk mewarnai motif lain.

Model membawakan busana kebaya peranakan kreasi Radja Art dalam Hadiprana Fashion Festival 2023 di Mitra Hadiprana, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Demi menjaga kualitas kebaya, Reza memilih bahan kain dan benang terbaik sehingga ia tak bisa memakai benang dan kain murah karena dalam proses pembuatan kain bisa sobek dan warna benang luntur. Barang impor masih jadi pilihan demi mencipta barang bermutu bagus.
Orang zaman dulu membuat kebaya dari katun yang diimpor dari Paris, Reza tetap menggunakan katun sama yang di pasar biasa disebut paris voile. Padahal kini katun itu bukan dari Paris melainkan dari Jepang dan India.
Peminat naik
Pemakaian kebaya peranakan naik seiring tumbuhnya demokrasi dan pengakuan terhadap etnis Tionghoa. Walau pemakaiannya belum sepopuler kebaya kuthu baru atau kebaya panjang (baju kurung), Alexandra Tan (65), dewan pembina Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (Aspertina), menyebut, peminatnya makin naik. Kenaikan ia rasakan sejak sepuluh tahun terakhir.
”Sejak Presiden Gus Dur mengizinkan perayaan Imlek dan lainnya, barongsai muncul lagi, pemakai kebaya peranakan terus bertambah dan makin sering,” tutur Alexandra, Kamis (25/5/2023), di Jakarta.

Model membawakan busana kebaya peranakan kreasi Radja Art dalam Hadiprana Fashion Festival 2023 di Mitra Hadiprana, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Banyak perempuan suku Tionghoa memilih berkebaya peranakan pada acara Imlek, pertemuan budaya Tionghoa lain, sampai pernikahan. Ia mengakui, pemakai kebaya peranakan masih didominasi kaum ibu. Pihaknya belum bisa mengajak anak-anak muda suku Tionghoa mau memakai kebaya.
”Mereka masih lebih suka memakai cheongsam (busana tradisional dari China), padahal cheongsam bukan tradisi kita, melainkan dari China. Sementara kita ini lahir dan besar di Indonesia. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita punya busana sendiri,” ujar Alexandra.
Ia terus mengedukasi generasi muda suku Tionghoa agar mau berbusana tradisinya sendiri. ”Persoalannya juga, banyak anak muda tak paham cara memakai sarung, memakai tusuk konde dan peniti. Mencari penitinya sekarang juga susah, sampai harus cari ke Penang. Kami terus bergerak agar mereka ikut melestarikan tradisi budaya sendiri seperti kebaya,” katanya.
Aspertina yang berdiri 28 Oktober 2011 kini terhubung dengan organisasi serupa di Singapura, Malaysia, Australia, dan Thailand. Perempuan suku Tionghoa di negara lain terus menggalakkan pemakaian kebaya peranakan yang di Singapura disebut kebaya nyonya untuk menjaga kelestariannya. Kebaya peranakan tak tumbang, malah berkembang.