Tali Persaudaraan Jangan ”Mati Obor”
Hari-hari di awal bulan Syawal, acara Lebaran trah menjadi agenda utama banyak keluarga. Mereka berasal dari trah atau keturunan yang sama mengingat kembali asal-usul sambil ”menghubungkan kembali tulang berserakan”.
Mumpung banyak yang mudik Lebaran, keluarga besar mengadakan acara kumpul-kumpul yang lazim disebut Lebaran trah. Ini adalah momen untuk saling mengenal sanak saudara dari garis eyang atau buyut yang sama. Namanya kumpul keluarga, urusan esensial sampai remah-temeh dibincangkan juga. Tapi, suasana riang jauh lebih terasa.
”Aku malas ditanya-tanya soal istri. Cuma beberapa orang di keluarga besar saja yang tahu kami sudah bercerai,” kata pemuda berumur 30-an tahun itu. Dia sebenarnya enggan datang ke acara itu. Tetapi, dia menghormati kebiasaan Lebaran keluarga sang ibu. Ayahnya meninggal dunia awal tahun ini.
Putera—anak tunggal—dan ibunya hanya datang berdua ke acara itu. Keluarga itu beranggota paling sedikit dibandingkan dengan keturunan Suswondo lainnya. Tak seperti keluarga lain yang anggotanya bertambah, keluarga Putera justru berkurang. Maka, ketika ibu-anak itu diminta maju mengenalkan anggota keluarga, sontak kakak-adik sang ibu, juga sepupu Putera, ikutan maju. Mereka bersolidaritas dan menguatkan.
Rima, sepupu Putera, datang bersama pacar barunya. Para sepupu dan paman-bibinya gatal ingin ”menginterogasi” sosok baru ini. Pertanyaan hadirin tiba-tiba meluncur bertubi-tubi. ”Kamu serius enggak sama Rima?” tanya seorang Bibi. ”Namanya siapa sih, kerjanya di mana?” tanya seorang sepupu penasaran.
Ditanya begitu di depan 70-an orang membuat pasangan baru itu grogi setengah mati. Responsnya cuma mesam-mesem. Rima berulang kali memohon, ”Sudah, dong!” Tapi, puluhan saudara-saudaranya malah makin gemas, saling melempar tawa. Kehebohan itu disudahi dengan joget bersama.
LIhat juga: Kumpul Trah Menyatukan Kembali Tulang yang Terpisah
Selain memperkenalkan masing-masing keluarga keturunan Suswondo, para sanak-saudara itu juga bernyanyi-nyanyi diiringi organ tunggal sewaan. Lagunya kebanyakan yang populer di era para paman dan bibi, seperti ”Honky Tonk Women” dari The Rolling Stones yang sebenarnya berlirik agak cabul, atau lagu protes ”Bento”, padahal mereka sedang tidak memprotes apa pun. Yang penting nyanyi dan joget. Sekumpulan cucu berumur 20 tahunan menepi sambil menyedot es kopi susu yang baru diantar pengojek daring.
Bude Sagita adalah yang dituakan di keluarga itu. Di awal acara dia berpidato, menyampaikan pesan bahwa warisan terbesar keluarga Suswondo adalah kekompakan. ”Kita harus jaga itu sampai cucu-cicit kita,” ujarnya yang dilanjutkan dengan yel-yel layaknya ormas. Acara setengah hari itu dipungkasi dengan berfoto bersama.
”Kompak” bisa jadi adalah kata kunci dari pertemuan keluarga besar semacam itu. Mereka bertemu setelah Lebaran untuk menjaga silaturahmi, bermaaf-maafan, dan saling berkenalan langsung dengan sanak saudara. Tak cuma keluarga Suswondo, trah lainnya juga berusaha menghimpun ”tulang-tulang yang berserak”, metafora untuk keluarga yang bertumbuh di luar tempat asal.
”Penting acara kayak gini supaya tahu saudara. Kalau enggak kini, nanti kelen ketemu saudara di jalan, enggak tahu pulak, kan repot,” kata Neni Sulaiman dalam logat Medan. Neni adalah cucu trah Abdul Rahmad Rasyid yang tahun ini berkumpul di Bukit Lawang, Sumatera Utara. Para tetua, uwak, cucu, cicit itu menginap di vila milik keluarga sambil berpiknik.
Baca juga: Ketika Pekerja Kapal Menahan Rindu Bertemu Keluarga
Anggota trah Abdul Rahmad Rasyid itu berdatangan dari Medan, Padang, Pekanbaru, Jakarta, Yogyakarta, Manado, hingga Kamboja. Kegiatannya adalah makan-makan, bergunjing tentang keluarga, dan yang wajib adalah nyanyi-nyanyi. Para cucu yang sudah pada remaja itu main gitar, jimbe, hingga tamborin untuk mengiringi nyanyian. Lagu pop nostalgia sampai lagu batak dinyanyikan bergantian. Sukacita terselip dari setiap tawa.
Saat malam semakin larut, suasana hutan di sekitar vila diiringi suara jangkrik pun mendorong sebagian yang sudah berumur untuk beristirahat. Sementara yang muda masih bertahan saling bertukar cerita dan berharap berjumpa tak hanya setahun sekali.
Saling kenal, saling bantu
Acara kumpul keluarga besar biasa ditemui di daerah-daerah kantong perantau, seperti Kabupaten Wonogiri di Jateng, serta Sleman dan Gunung Kidul di Yogyakarta. Jadwal acaranya biasa disepakati bersama, umumnya menyesuaikan jadwal mudik para perantau itu. Tempat acaranya bisa di rumah yang dituakan, atau menyewa tempat seperti vila ataupun restoran.
Trah Kasandimejo menggelar acara kumpul di rumah makan Bale Merapi di Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pada Rabu (26/4/2023) siang itu, ada sekitar 50 orang yang hadir. ”Ini baru trah kecil Mbah Kasandimejo. Kalau trah besar yang kumpul jumlahnya bisa 100 orang,” kata Agus, salah satu keturunan Mbah Kasandimejo.
Di tahun-tahun sebelumnya, lanjut Agus, acara lebaran trah selalu digelar di rumah peninggalan Mbah Kasandimejo di Dusun Jayan, Ngaglik, Sleman. Tahun ini, mereka memutuskan untuk berkumpul di rumah makan yang tak jauh dari dusun itu. ”Kalau acaranya di rumah si Mbah, yang datang yang tua-tua saja. Padahal, Lebaran trah itu tujuannya untuk anak-cucu agar saling mengenal,” kata Agus. Rumah makan dianggap lebih mengikuti zaman.
Selain mendaraskan doa untuk leluhur, acara inti Lebaran trah Kasandimejo adalah membacakan silsilah keluarga. ”Pembacaan silsilah ini penting sekali agar semua anggota trah hingga generasi paling muda paham asal-usul mereka,” kata Tono, cucu Kasandimejo yang mudik dari Bali.
Pembacaan silsilah itu, meskipun penting, barangkali formalitas belaka. Sebab, setiap ada perubahan anggota trah, baik menikah, bercerai, lahir, atau meninggal selalu diinformasikan melalui grup percakapan di ponsel, lengkap dengan fotonya. Pun demikian, pertemuan tatap muka dianggap lebih bermakna. ”Ini adalah momen mengumpulkan tulang-tulang berserakan agar tali persaudaraan tidak mati obor,” lanjut Tono.
Penting acara kayak gini supaya tahu saudara. Kalau enggak kini, nanti kelen ketemu saudara di jalan, enggak tahu pulak, kan repot.
Menjaga api itu juga berarti bergotong royong mengangkat kesejahteraan sanak saudara. Anggota trah yang dianggap sukses mesti memikirkan mereka yang masih berjuang. Caranya, bisa mengumpulkan dana darurat jika ada yang membutuhkan, atau membuka jalan karier. Obrolan semacam itu lebih cair jika bertemu muka daripada lewat kanal virtual.
Urusan pendanaan acara kumpul-kumpul itu dirundingkan dan disepakati bersama, biasanya melalui grup percakapan beberapa minggu sebelum hari raya. Trah Suswandono, misalnya, menyepakati biaya acara ditanggung bersama secara merata oleh sekitar 30 keluarga. Berapa pun jumlah anggota keluarga yang datang, tak jadi masalah. Patungannya tetap sama. Yang keberatan bisa ditalangi yang lebih mampu dan mau.
Tradisi Trah Drono Harjosuwongso berbeda lagi. Biaya kumpul-kumpul ditanggung bergantian oleh keluarga anggota. Tahun ini, giliran keluarga anak ke-12 Mbah Drono yang mengongkosi. Kebetulan keluarga itu yang dapat giliran sebagai tuan rumah. Tahun ini, acara itu dihelat di rumah tabon (peninggalan) Mbah Drono di Mangkuyudan, Mantrijeron, Kota Yogyakarta.
Prima Puspahapsari (40), perwakilan trah itu, menceritakan, acara tahun ini tak berbeda jauh dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya, membaca ikrar syawalan yang menegaskan bahwa mereka berjanji melestarikan tradisi kumpul keluarga pada bulan Syawal itu. ”Setelah itu, kami salam-salaman. Anggota trah yang baru, atau yang belum dikenal, diperkenalkan. Misalnya, ada yang mantu, tapi hajatnya tidak di Yogya,” katanya.
Pulang ke rumah
Keluarga besar Bani Syahidi di Desa Ponjong, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, juga rutin menggelar acara ini. Biasanya acara digelar satu atau dua hari setelah Lebaran. Tempat selalu sama, yakni di rumah yang dulu ditinggali almarhum Muh Syahidi yang mengikat keluarga ini. Mereka saling bercerita.
”Bapak atau si Mbah-mu dulu itu menekankan pentingnya pendidikan. Bapak punya prinsip, aku tidak akan meninggalkan warisan harta, tapi aku menyekolahkan anakku setinggi-tingginya. Warisan atau harta bisa menimbulkan perpecahan, tapi kalau ilmu malah akan mempersatukan keluarga,” ujar Mubari (68), anak kelima Muh Syahidi memberi wejangan.
Acara juga dilengkapi dengan makan dan foto bersama. Tengkleng, oseng tempe, terancam, ayam goreng, hingga sambel bawang menjadi menu yang menyatukan keluarga.
Tempat hajatan acara kumpul trah juga punya nilai sentimental tersendiri. Dua tahun terakhir ini, trah Irodimejo punya tempat kumpul tetap, yakni rumah yang ditinggali Sunarni (82) menantu sulung Irodimejo di Wonogiri, Jateng. Sejak S Slamet, suaminya, meninggal pada 2007, Sunarni tinggal sendirian di rumah itu.
”Sudah 17 tahun tinggal sendiri di rumah ini. Dua tahun lalu, rumah ini mulai dibangun menjadi dua lantai oleh anak-anak, terutama menantu bungsu,” ujar Sunarni. Sesepuh trah Irodimejo ini punya tujuh anak—dua di antaranya sudah meninggal, tujuh menantu, 18 cucu, dan 11 cicit. Mereka tinggal terpisah-pisah, seperti di Jember juga Jakarta. Mereka pulang ke Wonogiri.
Momen Lebaran membuat rumah itu meriah, seperti pada Minggu (23/4/2023) itu. Keluarga besar itu berkumpul, bersilaturahmi, bagi-bagi uang ”THR”, dan tak lupa joget dangdut di siang yang teriknya amit-amit itu. Sunarni cuma menyaksikan, tapi hatinya bungah. Dia bangga, rumah di atas tanah 500 meter persegi itu bisa menampung kegembiraan 150-an orang trah Irodimejo.
Kebahagiaan Sunarni bisa jadi meluntur di akhir pekan ini seiring masa libur usai. Satu per satu keturunannya kembali ke rumah mereka. Dia melepas anak-cucu-cicitnya dengan harapan tahun depan bisa berkumpul lagi dengan sukacita, seperti Lebaran tahun ini.