Bagai Laron Menuju Cahaya Rezeki
Yanti Rosmiati memelototi oven gas dengan aneka tombol waktu disuruh memanggang ayam. Sementara, Annah Andayani menjadi pekerja infal demi anak tercinta. Mereka rela mengorbankan kebersamaan dengan keluarga saat Lebaran.
Lebaran di ambang pintu, pekerja infal pun berduyun-duyun menuju perkotaan. Kegagapan menghadapi modernitas, kehilangan momen bersilaturahmi, dan menempuh jarak jauh, mereka lakoni. Upah yang lebih menggiurkan sudah jauh hari diincar demi membahagiakan keluarga.
Yanti Rosmiati (41) termangu-mangu saat mendapati rumah majikannya di Selong, Jakarta. Pekerja infal itu bekerja mulai Kamis (13/4/2023). “Baru lihat rumah segede ini. Sampai heran,” ucapnya seraya mengamati bangunan megah bertingkat itu.
Maklum saja, ia berasal dari Jasinga, Bogor, Jawa Barat, yang berjarak sekitar 85 kilometer. Belum berhenti takjub, Yanti harus memelototi oven gas dengan aneka tombol waktu disuruh memanggang ayam. Ternyata, kenop merah mesti ditekan dulu baru diputar.
Setali tiga uang pula ketika ia mesti membuat roti bakar dan kopi. Yanti tak kalah canggung mengoprek-oprek peralatan elektronik mutakhir. “Canggih banget. Untung, semua lancar. Teman yang ngajarin saya baik-baik. Enggak ada yang galak,” katanya diiringi tawa.
Ia lalu mengalihkan perhatian ke dedaunan yang berserakan di taman. Sembari menyapu, Yanti mengutarakan pertimbangannya soal pekerja infal sebagai pilihan terbaik. “Lihat-lihat di Youtube. Kerjanya enggak beda sama ART (pekerja rumah tangga), tetapi upah pekerja infal pas Lebaran lebih besar,” ujarnya.
Ia dibayar Rp 2 juta untuk bekerja selama 10 hari. Pada masa normal, jumlah tersebut sama dengan gaji PRT selama sebulan. “Malah, kalau di Jasinga, dapatnya paling hanya Rp 600.000 per bulan. Saya jadi pekerja infal lewat yayasan,” ucapnya.
Di kampungnya, ia sehari-hari mengais rezeki sebagai buruh cuci dan setrika sesuai pesanan sehingga upahnya pun tak menentu. “Bisa Rp 600.000, Rp 500.000, atau Rp 350.000 per bulan,” kata Yanti yang menjalani bimbingan menjadi tenaga infal selama sehari.
Baru Lebaran ini Yanti mencari pengalaman sebagai pekerja infal. Ia sudah meneguhkan tekadnya menghalau gundah lantaran tak bisa berkumpul dengan keluarga. “Saya beruntung, kok, teman-teman ngejelasinnya sopan kalau saya diminta memasak, mencuci, mengepel, dan menyapu,” ujarnya sambil tersenyum.
Sementara, Annah Andayani (34) duduk bersila di atas tikar bergambar angry birds sambil menatap ponselnya. Perempuan ini sembari mendengar pekerja-pekerja infal lain bercengkrama di gedung PT Dani Mandiri, Jakarta. Koper dan tas berisi baju menumpuk di belakang mereka.
“Sehari-hari, sambil menunggu, saya dan teman-teman diskusi pekerjaan, bersih-bersih, dan belajar bahasa Inggris lagi,” kata Annah dari Pekalongan, Jawa Tengah.
Sudah seminggu ia berada di perusahaan penyalur bidang jasa pelatihan dan penempatan tenaga kerja domestik di Jabodetabek itu. Berbekal keterampilan sebagai pengasuh bayi, ia harap-harap cemas menunggu. “Saya ikut pekerja infal karena gajinya dobel,” tuturnya.
Pada hari biasa, Annah yang tinggal di Cileungsi, Bogor, bisa mendapatkan Rp 150.000-Rp 200.000 per hari. Gaji ini bisa naik menjadi Rp 350.000-Rp 400.000 per hari selama Ramadhan. Pemasukan ini menambah pendapatan suaminya yang bekerja sebagai tukang di perusahaan mebel.
Ia baru menyelesaikan pekerjaan dengan majikan pada Agustus 2022, setelah bekerja sejak 2019. Ia bertekad menjadi pekerja infal dulu untuk mencari peluang sebagai pekerja permanen.
Karena itu, tak masalah jika harus mudik belakangan untuk bertemu keluarga. Anak perempuan semata wayang Annah yang berusia 11 tahun biasa ditinggal bersama neneknya.
Dulu, Annah sering harus mengikuti majikan lamanya antara lain ke Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat, termasuk saat Lebaran. Pekerjaan infal dilakukan Annah demi anak tercinta.
“Gaji saya alokasikan untuk tabungan karena sudah punya anak,” ujar Annah yang sudah bekerja sebagai pengasuh sejak berumur 17 tahun.
Erna Savira (25) dari Indramayu, Jabar, juga tengah menanti panggilan dengan sabar dari PT Dani Mandiri. Ibu satu anak ini telah tinggal di situ selama lebih kurang lima hari. Erna memutuskan kembali mencari pekerjaan sebagai PRT setelah vakum selama tiga tahun akibat pandemi.
Keuangan menjadi faktor yang mendorong. “Rencananya, untuk makan sehari-hari di kampung dan modal bertani,” ujarnya. Suami Erna bekerja sebagai petani penggarap dan petambak udang. Ia bisa mendapatkan sekitar Rp 250.000 sebagai pekerja harian dan mencapai Rp 4 juta sebulan. Bayaran lebih tinggi karena kian banyak pekerjaan yang harus dilakukan, seperti menyiapkan sahur dan menjamu banyak tamu.
Ingat kampung
Sembari menunggu, Erna bersama pekerja lain mengusir jenuh dengan bercerita, bermain ponsel, atau mencari jajanan. Mereka juga berbagi tugas. “Kami bangun setengah tiga pagi, menyiapkan sahur, lalu sholat subuh. Tidur, bangun jam enam untuk bersih-bersih, mandi, dan cuci baju. Setelah itu, bebas. Ada piket gantian masak,” ucap Erna.
Ia berharap segera mendapatkan pekerjaan, entah sebagai pekerja harian atau bulanan. Namun, ia belum tahu apakah akan melanjutkan pekerjaan jika mendapat tawaran yang permanen. Semua keputusan bergantung pada diskusi dengan suami.
Ia sudah siap menghabiskan Lebaran tanpa keluarga. Erna mengakui, adakalanya bekerja sebagai pekerja infal tak mudah. “Sedihnya pas takbir itu ingat kampung. Semua ngumpul, kita merantau. Kalau ada teman kerja, enggak apa-apa, tapi kalau sendiri, ya, ingat semua,” kata Erna.
Staf Administrasi PT Dani Mandiri, Aprilia, mengatakan, permintaan pekerja infal biasanya muncul sebulan sebelum puasa. Namun, karena masih pandemi, permintaan tahun ini kebanyakan mulai saat puasa.
Permintaan pekerja infal pun belum pulih seperti sebelum pandemi, di mana mereka bisa mengirim lebih dari 100 pekerja. “Per 12 April, yang sudah berangkat kerja ada 15-20 orang, kebanyakan ART,” tutur Lia, sapaannya.
Saat ini, di PT Dani Mandiri ada sekitar 30 pekerja infal yang menunggu. Kebanyakan pekerja berasal dari Jabar, Jateng, dan Lampung. “Kami biasanya punya orang yang merekrut di daerah, jadi tahu orangnya seperti apa. Untuk pekerja infal kami cari yang sudah punya pengalaman karena lebih banyak pekerjaan dibandingkan hari biasa,” kata Lia.
Perusahaan itu menyediakan paket sebulan dengan bayaran sekitar Rp 4 juta dan harian dengan bayaran Rp 250.000-Rp 300.000. Mereka menyediakan berbagai pekerja infal, seperti PRT, pengasuh anak, dan perawat lansia.
Desakan karena ibunya yang terserang strok membulatkan niat Pitantri Saraswati (44) merekrut pekerja infal mulai 19 April 2023. “Perawat yang biasa kerja mudik ke Cianjur (Jabar) sampai 1 Mei nanti. Ibu cuma bisa berbaring, jadi mesti terus dijaga,” katanya.
Tantri, demikian ia disapa, akan mencuci, memasak, dan membersihkan rumah. Ia mengupah pekerja infal itu Rp 300.000 per hari. “Bayar biaya administrasi juga Rp 1,5 juta. Ibu strok sejak 2021. Makanannya saja harus diblender dulu terus pakai selang,” kata warga Ulujami, Jakarta, itu.
Pelarian diri
Konsultan Independen Program Pembangunan PBB, Paramita Iswari, menilai, kota di mana pun selalu menjanjikan peluang kerja. “Di mana berbagai kebutuhan, termasuk infal pasti muncul. Saat Lebaran, orang kota yang kerja di kantor tak terbiasa dengan urusan rumah tangga,” ujarnya.
Mereka pun bergantung pada PRT untuk memasak, mencuci, dan membersihkan rumah yang secara tak langsung menjadi penyebab munculnya kebutuhan pekerja infal. “Di kota juga aliran uang berputar, termasuk saat Lebaran. Di mana ada THR untuk pekerja,” ucapnya.
Kebutuhan itu menjadi peluang yang digunakan sebagian warga desa. Bagaikan laron, pekerja infal berbondong-bondong menuju cahaya kota sebagai sumber rezeki. Kebanyakan dari mereka menjadikan ekonomi sebagai alasan sehingga memanfaatkan peluang kerja itu di kota. “Kapan lagi bisa bekerja dengan bayaran berlipat-lipat dibandingkan hari biasa atau bukan Lebaran,” katanya.
Maka, terjadi tukar-menukar dengan seimbang antara jasa yang dihadirkan selama momen hari raya dan dinikmati masyarakat kota. Terkadang, pekerja infal juga merupakan proses pelarian diri untuk perempuan-perempuan yang ditinggal suami di kampung. “Entah suaminya menikah lagi atau meninggal meski tak bisa dimungkiri, sebagian dari mereka menempuh cara itu dengan terpaksa karena tuntutan ekonomi,” ujar Paramita.