Menjejali Ruang Maya dengan Konten
Ruang maya yang kasatmata itu sejatinya penuh sesak. Isinya beraneka bentuk, yang kini disebut konten. Banyak orang mencari rezeki dari sini. Hiruk-pikuk tak terelakkan lagi.
Beragam cara ditempuh para pembuat konten, atau bahasa Inggrisnya content creator, untuk menarik perhatian penonton. Bekal uang kadang tak cukup. Beberapa memperkaya dirinya dengan riset, menambah pengetahuan supaya tontonannya kredibel; bisa dipercaya dan menambah wawasan buat penikmatnya.
Fitra Eri bisa jadi adalah pembuat konten video bertema otomotif paling tenar di Indonesia saat ini. Sering dia diajak berfoto bareng pengikutnya bahkan di lokasi yang tak pernah disangka-sangka. Ketika baru mendarat di Bandara Bologna, Italia beberapa waktu lalu, misalnya, ada warga Indonesia yang menegur dan mengajaknya berfoto. Fitra melayaninya dengan ramah.
Popularitas itu tak ia raih dalam semalam, atau lewat satu unggahan viral saja. Fitra membangun kredibilitasnya di bidang otomotif dengan menjadi wartawan majalah belasan tahun lalu, sambil membalap mobil. Sarjana teknik mesin ini memang mendalami bidang otomotif, khususnya mobil. Dia mulai membuat konten video saat membangun media Otodriver.
Sekarang, dia mengunggah video di akun Youtube setidaknya dua hari sekali. Terkadang dia mengulas produk mobil baru yang menjadi panduan bagi pembeli mobil. Sering juga videonya berisi cerita perjalanan yang tentunya masih berkaitan dengan otomotif. Pengikutnya di Youtube mencapai 2,7 juta akun, di Instagram 1,2 juta akun.
Pengikut Haydira Prili Ananza (22) belum sampai satu juta; 820.000 akun di Tiktok, dan 260.000 di Instagram. Pemilik akun @ananzaprili ini membuat konten yang berkaitan dengan pengembangan diri, tips psikologi, dan kecantikan. Finalis ajang kecantikan Gadis Sampul 2013 ini memutuskan jadi pembuat konten untuk mengisi kesibukan di saat pandemi Covid-19.
”Sebenarnya enggak pernah ada niatan untuk dijadiin profesi. Apalagi setelah lulus, ada hal lain yang sempat ingin aku capai. Tapi, setelah dijalani (membuat konten), banyak opportunity dan juga ada pemasukan. Bahkan, yang terpenting bisa membantu orang lain,” kata Ananza di Jakarta, Jumat (7/4/2023).
Konten bertema edukasi pengembangan diri disadari Ananza tidak akan seramai konten hiburan, apalagi yang sensasional belaka seperti mandi lumpur. ”Kadang sedih, sih, kok konten aku nggak seviral yang lain. Tapi, kalau aku ingat lagi tujuan awalku memang bukan untuk viral, tapi mau berbagi dan senang kalau bisa membantu. Pada satu titik, banyak yang ternyata merasa terbantu dan itu melegakan buatku,” tuturnya.
Topik yang ia pilih untuk diunggah membutuhkan sumber yang kredibel. Untungnya, sebagian besar temanya berkaitan dengan materi kuliahnya di Jurusan Psikologi Universitas Indonesia. Di awal-awal, Ananza sendiri yang meluangkan waktu melakukan riset dan membuat naskah.
Baca juga : Sihir Youtuber Desa
Bukan itu saja, urusan teknis juga dia kerjakan sendiri. Pengambilan gambar, penyuntingan, hingga pengunggahan video dieksekusi sendiri. Terkadang, riset yang dia kumpulkan untuk membuat naskah membutuhkan biaya, seperti mengikuti webinar dan kelas-kelas pembuatan konten. Uang jajannya dia sisihkan untuk itu.
Seiring pertumbuhan pengikut yang signifikan, diikuti keterikatan (engagement) yang baik pada masa awal masuk Tiktok, Ananza mulai dikenal. Ia mulai dapat pemasukan yang kelak dimanfaatkan untuk mengajak gabung beberapa orang. Ananza jadi punya tim untuk bertukar pikiran dan menambah ilmu. Selain itu, pengikutnya kadang memberinya ide dalam penentuan konten.
”Cerita teman-teman tim atau dari pengikut yang mengirim pesan bisa jadi inspirasi aku untuk tema konten. Kadang mereka cerita tentang permasalahan mereka, atau tanya tips. Jadi, ide konten nggak selalu dari aku,” tuturnya. Ananza kini punya bank konten yang bisa sewaktu-waktu dijadwalkan diunggah ke Instagram atau Tiktok.
Capek kerja
Yogi Hadi Wibowo (26) sudah tiga tahun bekerja di pabrik; dua tahun di Cikarang, Jawa Barat, dan setahun di Sidoarjo, Jawa Timur. Dia bosan dengan rutinitas kerjanya. Pada 2019, dia memutuskan pulang kampung ke Tulungagung, Jatim, menjajal peruntungan jadi pembuat konten. Karena belum terlalu yakin, dia menyambi berjualan makanan angkringan di rumahnya.
”Jadi, sore ke malam jaga angkringan. Ngonten-ku jam dua sampai jam lima pagi. Aku tidur siang. Sorenya bangun lagi, buka angkringan. Begitu terus selama Agustus-Desember 2020. Terus Januari angkringannya tutup. Aku nggak kuat. Capek,” kata Yogi. Pembatasan sosial selama pandemi turut mendorong sepinya pengunjung angkringan. Lantas, dibantu seorang temannya, Yogi memulai bikin konten video di Tiktok.
Usaha angkringan yang bertahan enam bulan lumayan memberinya modal membuat konten. Pemasukannya sebulan Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta. Uang itu ia pakai untuk membeli tripod dan lampu. Ponsel Android dibeli kredit selama enam bulan. Dengan ponsel kreditan itu, Yogi yakin hasil videonya tak kalah bagus.
Konten bikinan Yogi bertema busana ”before and after” yang populer. Baju-bajunya bergaya Korea. Aneka rupa modelnya. Terlihat mahal dan penuh gaya. ”Awalnya aku pakai baju seadanya, yang ada di lemariku. Terus aku cari referensi di Pinterest, outfit-outfitKorean style. Kalau beli, kan, mahal. Nah, aku cari yang mirip-mirip,” katanya, Jumat (7/4/2023), di Jakarta. Dia sekarang sudah berdomisili di Jakarta Barat.
Yogi mencontohkan, untuk model kaus oversize alias gombrong, Yogi menggantinya dengan kaus berukuran sangat besar: XXL atau malah XXXL. Sementara untuk kemeja putih, dia pakai kemeja yang dulu dikenakan waktu melamar kerja. Untuk menambah aksen, dia kadang menambah dengan jaket denim miliknya.
Bajunya rata-rata tak bermerek. Ia beli di lokapasar yang terkenal murahnya. ”Intinya, dulu itu meminimalkan pengeluaran untuk beli baju. Jadi, seadanya gitu. Kadang aku pinjam jas dari teman untuk konten,” kata Yogi blak-blakan.
Kini, akun Tiktoknya yang bernama @bobocu.id memiliki pengikut sebanyak 4,9 juta akun. Akun Instagram-nya berpengikut 152.000 akun dan bercentang biru pula, yang artinya dianggap sebagai akun berpengaruh.
Baca juga : Kampung Youtuber, Kaya Tanpa Pesugihan
Dengan pertumbuhan itu, sokongan (endorsement) mulai berdatangan. Ini yang menghasilkan uang. Sokongan pertama ia terima pada April 2021, alias sekitar empat bulan setelah memutuskan jadi pembuat konten. Setelah itu, sokongan lain bermunculan, misal dari produk busana atau perawatan kulit. Jumlah nominalnya tak ia sebut.
”Yang jelas sekarang bisa menabung. Pemasukan beberapa persen kusisihin buat tabungan, nggak disenggol sama sekali. Beberapa persen untuk kebutuhan konten, misalnya beli baju, alat, tripod, kamera. Sebagian buat hidup, makan, kasih orangtua. Jadi, sudah terbagi-bagi,” katanya. Untuk konten, alokasi penggunaannya 20 persen.
Jaga kreativitas
Membuat konten, kata Yogi, adalah pekerjaan yang gampang tapi susah juga. Susahnya terkait menjaga kreativitas. ”Untuk bisa dapat penonton itu kadang harus menyesuaikan tren, atau membuat tren sendiri. Berpikir bagaimana membuat konten yang menarik dan beda dengan konten lain itu susah banget. Apalagi kalau sudah viral, susah untuk bertahan tetap viral,” katanyaa.
Kendala yang sama juga diungkapkan Ananza. Konten yang dia bikin sulit bersaing dengan konten hiburan. ”Aku harus tetap memutar otak biar penyampaiannya fun dan masuk ke anak muda. Konten yang kubuat nggak semudah itu dilirik, walau tetap ada yang lihat. Makanya, cara penyampaiannya dibikin beragam: ada yang storytelling, tips to the point, atau sambil joget-joget juga,” ungkapnya.
Pengamat media Agus Sudibyo menganggap semakin banyak pembuat konten merupakan hal positif. Semua orang bisa membuat konten, tak harus jurnalis.
”Ini mendemokratiskan, membebaskan, bahwa setiap orang bisa bersuara lewat konten buatannya, bisa berekspresi, bisa berpendapat, bisa mengunggahnya langsung di tempat. Sebelum era media sosial, kita hanya bisa bikin rekaman lalu kirim ke (stasiun) TV biar dipublikasi, menjadi konsumsi publik,” kata Agus.
Salah satu dampak demokratisnya adalah semakin sulit penguasa bertindak sewenang-wenang. Penyelewengan makin mudah terekam karena setiap orang punya ponsel berkamera. ”Ada polisi nilep di jalan, (rekamannya) langsung disebar. Polisinya (jadi) terkontrol. Sebelum era media sosial, saya nggak yakin kasus Sambo atau Teddy Minahasa bisa viral dan harus ditangani secara proper oleh pihak berwenang,” kata Agus.
Dampak negatifnya, semua orang bisa dengan mudah menjadi pewarta; tanpa kepakaran, tanpa kompetensi. Menurut Agus, media sosial harus dipahami sebagai perangkat komunikasi khalayak, bukan grup kecil, atau interpersonal.
Jadi, selamat datang di era penuh kebisingan di mana setiap orang bisa bersuara, dan mata kamera mengawasi di mana-mana. Ruang privat jadi barang langka.