Demi Berbuka bersama Keluarga
Setiap petang, pekerja berduyun-duyun menempuh jarak jauh, mengarungi kemacetan, atau berimpitan dalam transportasi umum. Mereka punya pikiran yang sama, tiba di rumah untuk mengecap kebahagiaan berbuka bersama keluarga.
Berbuka puasa bukan cuma urusan makan dan minum. Bagi pekerja di perkotaan, bisa berbuka bareng keluarga di rumah adalah anugerah. Masalahnya, pulang dengan moda transportasi apa pun setiap petang adalah kekusutan tersendiri. Bisa jadi ini cermin kusam penghubung sentral geliat profesi di kota dan permukiman di wilayah pinggiran. Pulang ke rumah adalah perjuangan.
Asep Hendrawan (35) menatap kaca mobil dinasnya dengan gelisah. Jalan terhalang kendaraan derek besar yang tengah mengangkat truk terperosok. ”Katanya bisa delapan jam baru kelar. Sudah pasti enggak bisa buka bareng keluarga,” katanya, Kamis (30/3/2023).
Warga Tangerang itu selalu berupaya menikmati takjil bersama buah hati dan istrinya. Sore kian merambat, Asep masih saja berada di Lebak, Banten. Ia terpaksa mengarahkan mobil lewat Pandeglang dengan rute memutar menuju kantornya di Serang.
Saat akhirnya azan berkumandang, ia menepi untuk menuntaskan puasa dengan teh kemasan, kolak, dan gorengan di lapak kecil. ”Rasanya enggak afdal,” ujar Asep dengan nada kecewa sambil membayangkan kelucuan dua anak laki-lakinya di rumah.
Makan malam pun hanya di warung bertenda di pinggir jalan. Pegawai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Wilayah Banten itu baru tiba di kantornya di Serang sekitar pukul 20.30. Asep berkemas untuk pulang dengan langkah lesu dan gontai.
Ia masih harus berjuang dengan memesan ojek daring menuju pemberhentian bus. Di dalam kabin yang dingin, lantunan Ponce Pondaag, ”Kucoba Hidup Sendiri”, menambah sendu wajah Asep. Lelah dan murung jelas tergurat selama perjalanan berjarak sekitar 60 kilometer (km) tersebut.
Seraya melepas lelah sejenak, Asep menjelaskan dorongannya untuk sebisa mungkin menyantap bukaan dengan keluarga. ”Soalnya, hangat, menyenangkan, sekaligus mendidik anak-anak supaya bertakwa. Saya juga biasa tarawih berjamaah. Berburu berkah berbuka bareng,” ucapnya sembari tersenyum.
Ia biasanya membeli penganan dulu untuk dinikmati bersama-sama. Asep menikmati sop buah dilanjutkan shalat Magrib. ”Lalu, ke masjid sama anak-anak pakai peci, sarung, dan baju koko untuk tarawih. Baru kali ini saya terlambat,” katanya.
Setelah turun dari bus, ia mesti berjalan pula jauh ke dalam kampung hingga 2 km dengan gang bak labirin yang sulit dilewati mobil sebelum tiba di rumahnya. Jam menunjukkan pukul 23.00. Jelas, keluarga Asep sudah terlelap. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali mandi dan menuju peraduan.
Ia enggan bermukim di Serang karena sejak kecil tinggal di Pinang, Tangerang. Rumah Asep dengan orangtua dan saudara-saudaranya pun dekat. ”Habis sahur, mandi, saya berangkat. Perjalanan sekitar 1,5 jam. Kadang, tidur di bus. Pernah terlintas jenuh, tapi keluarga bikin semangat,” katanya.
Meski jatuh bangun berkejaran dengan waktu, hari itu Asep gagal mengecap kebahagiaan berwujud iftar bersama. Esoknya, ia memulai perjuangan serupa. ”Kalau bangun nanti, saya mulai dengan keyakinan bisa disambut tawa anak-anak setelah kerja,” ujarnya dengan mata mengandung secercah harapan.
Sementara, Rania Davianty (35) awalnya lega karena tak harus lembur di kantor konsultan kehumasan. Ia bisa pulang dari Blok M, Jakarta, pukul 16.30. Perempuan lajang ini membayangkan bisa berbuka di apartemennya di Kuningan.
Sore menjelang waktu pulang, mendung tiba-tiba menggantung. Hujan menderas saat ia sudah berkemas. Kecemasan sekejap menyergap. Pulang kantor ketika hujan bakal menambah kemacetan. Apalagi, rutenya merupakan jalur perkantoran yang padat setiap pagi maupun sore.
Apa mau dikata. Sudah sejak awal puasa, ia sepakat berbuka dengan adiknya, hal yang tak bisa mereka lakukan setahun lalu karena sang adik bekerja di luar negeri. Bulan puasa tahun ini adalah ajang reuni mereka.
”Sudah dimasakin. Enggak mungkin juga aku batalin buka puasa,” ujarnya. Rania mengabaikan pilihan bertahan di kantor menunggu atau berbuka dengan koleganya. Ia harus pulang demi janji yang terucapkan.
Sebelum puasa, jika tak hujan, Rania pulang naik MRT dari Blok M sampai Bundaran HI dilanjutkan ojek. Ongkosnya lebih kurang Rp 20.000. Kalau lembur sampai larut malam, ia pulang naik taksi dengan ongkos sekitar Rp 50.000.
Kondisi hari itu sama sekali berbeda. Hujan menyulitkan ia berjalan ke stasiun terdekat. Pada saat bersamaan, banyak pekerja yang berusaha pulang tepat waktu. Kombinasi hujan dan jam bubar kantor pada bulan puasa biasanya melipatgandakan kemacetan.
Rania memilih naik taksi. Ia memesannya lewat aplikasi. Waktu tunggunya pun lebih lama dari biasanya. Benar saja, perjalanan tersendat di Mampang Prapatan. Jalanan benar-benar riuh. Pengguna mobil dan sepeda motor berebut ruang terbatas. Maghrib berkumandang dari radio taksi. Rania memberi tahu keterlambatannya kepada sang adik. Ia menikmati bekal air mineral dan wafernya.
”Hampir 1,5 jam, padahal jaraknya enggak sampai 10 km. Ya sudah, akhirnya buka di jalan, deh, sama supir (taksi),” kata anak sulung ini. Biaya perjalanan pulang itu membengkak sampai hampir Rp 120.000. Itulah perjuangan yang harus ditebus.
Setibanya di apartemen, sang adik rupanya juga baru mengemil. Mereka lantas bersama-sama menyantap ayam goreng dan sayur lodeh, sambil mengobrol tentu saja. ”Macet emang makin enggak ketulungan lagi, sih, tapi, capek dan kesal hilang setelah bertemu orang di apartemen,” katanya.
Sering gagal
Berjibaku di jalanan juga dikeluhkan Faturrochman (33), warga Depok yang berkantor di Jakarta. Sampai hari ketujuh Ramadhan, ia baru dua kali berbuka bareng keluarga kecilnya. ”Hari pertama puasa, kan, libur. Sama Minggu,” kata pekerja bidang pemasaran perusahaan digital ini.
Pada hari kerja, sebisa mungkin Fatur sampai rumah sebelum beduk Maghrib ditabuh. Tapi, sering kali usahanya gagal. Ia membatalkan puasa di kereta komuter. Saban pulang, ia bawa teh manis dan roti atau gorengan. ”Makannya sambil berdiri,” ujarnya disambung tawa getir.
Transportasi andalannya itu tak pernah sepi setiap pagi dan sore. Kepadatan bertambah selama Ramadhan. Fatur menduga makin banyak orang yang ingin sampai rumah sebelum berbuka, sama seperti dirinya. Antrean di stasiun bahkan sudah padat sejak pukul 16.00, lebih awal daripada biasanya.
”Lebih nikmat makan dengan lauk sederhana, tapi bareng keluarga daripada di restoran sama teman-teman,” ujarnya. Ia bilang, putri bungsunya yang berusia empat tahun makannya lahap kalau ada ayahnya. Sedangkan, putra sulungnya, tujuh tahun, semangat kalau diajak shalat tarawih di masjid. Alasan itulah yang menarik Fatur pulang ke rumah meski perjalanannya padat dan menyebalkan.
Menurut Kepala Departemen Psikologi Universitas Padjadjaran Retno Hanggarani Ninin, siapa pun yang menjalani Ramadhan dengan pemaknaan spiritual akan melihat berbuka bukan sekadar waktu makan, melainkan bagian dari rangkaian pengalaman spiritual yang menyertai aktivitas Ramadhan.
Berbuka dengan pemaknaan spiritual tentu semakin membahagiakan bersama orang-orang terdekat. Jadi, bisa dipahami bahwa keindahan rasa yang menjadi penyerta berbuka di rumah sangat layak diperjuangkan meski mengorbankan beberapa hal.
”Misalnya, berdesakan di kendaraan umum atau mengarungi kemacetan,” ujar Ninin dengan bidang keahlian psikologi diri, religiositas, spiritualitas, dan budaya itu. Belum lagi, jika memperhitungkan keindahan pengalaman psikologis yang menyertai aktivitas malam-malam Ramadhan pascaberbuka ketika shalat Sunah, pengkajian Al Quran, dan makan bersama menjelang puasa berikutnya.
”Rumah adalah tempat terbaik mengembangkan dan memperkuat modalitas spiritual karena menyediakan ruang dan waktu personal,” ucapnya. Orangtua berperan utama menjadikan setiap anggota keluarga memiliki kesempatan mengembangkan modalitas spiritual.
Kuncinya, pertama, mengaplikasikan pengasuhan yang mendekatkan anak kepada Allah. Anak yang dekat dengan Allah akan merasakan kedekatan dengan orangtuanya. Kedua, menjadikan Al Quran sebagai referensi bagi keputusan dan perilakunya. Jika dijalankan, anak akan mampu bertindak benar dan secara umum merupakan individu yang bahagia.
Di atas kedua hal itu, orangtua idealnya menjadi model yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dan menjadikan Al Quran sebagai referensi mengambil keputusan dan berperilaku. Orangtua yang demikian lazimnya merasakan kedekatan dengan anak.
”Bukan hal mudah, tapi sangat terbuka kesempatan menumbuhkembangkan modalitas spiritual bersama sebagai keluarga,” kata Ninin. Dengan karakteristiknya yang bisa mempersatukan waktu, seperti makan, shalat Sunah, dan mengkaji Al Quran, Ramadhan seperti pusat pelatihan spiritual bagi setiap muslim yang memiliki kesediaan untuk memanfaatkannya.