Menjajal Purosangue, ”Ras Murni” Ferrari di Tanah Kelahirannya
Hari Rabu (1/3/2023), sejumlah jurnalis dari berbagai penjuru dunia diterbangkan ke Italia untuk menguji Purosangue, mobil terbaru Ferrari. Harian ”Kompas” menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia yang diundang.
Matahari masih malu-malu menyapa pegunungan Brenta Dolomites di Italia utara. Suhu udara baru saja menghangat, dari teritori minus menjadi 1-2 derajat celsius. Namun, di pagi itu, sejumlah Ferrari telah dibangunkan.
Tentu saja bukan sembarang Ferrari yang dibangunkan. Hari Rabu (1/3/2023), sejumlah jurnalis dari berbagai penjuru dunia diterbangkan ke Trento, Italia, untuk menguji Purosangue, mobil terbaru Ferrari. Harian Kompas pun menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia yang diundang untuk menguji Purosangue di kampung halamannya itu.
Mengapa dinamai Purosangue alias ”ras murni”? Karena, meski didesain berkolong tinggi (185 milimeter), dengan empat kursi dan empat pintu, Purosangue ini tetap sebuah Ferrari. Tetap sebuah supercar dengan mesin mumpuni, yang membuatnya mampu melesat kencang.
Untuk membuktikan klaim itu, sebuah Purosangue berwarna biru, blu corsa, pun telah menanti Kompas dan Tai Choo Yee dari CarPlus Malaysia di pelataran LeFay Resport & Spa Dolomiti, Pinzolo.
”Ah, Ferrari itu kan identik dengan merah. Seharusnya, kita dapat yang merah,” ujar Choo. ”Tidak jadi soal. Yang penting, mesinnya Ferrari,” ujar Kompas. Bagi Kompas, inilah suratan takdir menjajal Purosangue biru yang identik dengan warna font masthead koran Kompas yang juga biru.
Setelah mengamati Purosangue dari berbagai sudut, kami melesat meninggalkan kota Pinzolo ke arah utara. Purosangue itu akan dijajal mengelilingi Brenta Dolomites searah jarum jam dengan istirahat makan siang di Monte Bondone, Trento.
Baca juga: Purosangue, Sang Pengemban Kemurnian Ferrari
Hanya dalam 20 menit, kami telah mencapai kota Madonna di Campiglio, yang lebih dikenal sebagai ”Mutiara” Dolomites. Kota ini merupakan salah satu pintu masuk menuju Taman Nasional Adamello-Brenta. Untuk menghemat waktu, kami melintasi terowongan di bawah Madonna di Campiglio. Di dalam terowongan itu, raungan mesin V12 Purosangue langsung menerobos kabin. Merdu sekali.
Mengitari Brenta Dolomites dengan Purosangue sesungguhnya tidak mudah. Tantangannya bukan terkait teknik mengemudi, kondisi jalan, atau kemampuan supercar ini. Namun, pegunungan yang telah menjadi the UNESCO World Heritage sejak tahun 2009 tersebut sungguh indah.
Konsentrasi pun terbelah. Niat untuk mengeksplorasi mobil ini semaksimal mungkin ”diganggu” oleh panorama puncak-puncak gunung yang diselimuti salju dengan tebing dan lembah di kejauhan. Suasananya sangat magis.
Jalan yang kami lintasi juga sangat berkelak-kelok. Nyaris serupa dengan ruas-ruas jalan yang ditampilkan di berbagai gim balap mobil reli. Ada perasaan dejavu meski ini kali pertama menyusuri lereng dan lembah Brenta Dolomites.
Kualitas jalan pun begitu bagus. Nyaris tanpa lubang sama sekali. Jadi teringat kejayaan Romawi di masa silam berkat pembangunan jaringan jalan berkualitas baik ke berbagai penjuru negeri. Romawi membangun total hingga 80.000 kilometer jalan dengan perkerasan.
Purosangue dengan desain ground clearance yang tinggi seolah mubazir digunakan di negeri itu.
Di masa kini, kualitas jalan itu tentunya berbanding lurus dengan pajak pendapatan di Italia yang progresif berkisar 23-43 persen. Purosangue dengan desain ground clearance yang tinggi seolah mubazir digunakan di negeri itu meski kelebihan itu jelas akan sangat bermanfaat di Indonesia.
Selepas dari Dimaro, tepatnya setelah menyeberangi Sungai Noce, Purosangue akhirnya dapat digas meski tetap tipis-tipis saja oleh karena terdapat pembatasan kecepatan. Sejak awal, niat untuk mematuhi regulasi berkendara di Italia terus diteguhkan. Jangan sampai mempermalukan merah-putih dengan melanggar batas kecepatan betapa pun inginnya berlari dengan Purosangue.
Memasuki Autostrada A22, salah satu jalan bebas hambatan terpenting di Italia, barulah Purosangue dapat digeber dengan tetap mematuhi batas kecepatan. Suara mesin V12 dengan kapasitas 6.500 cc ini langsung memenuhi kabin. Suara mesin itu tidak mengganggu tapi justru memanjakan telinga.
Baca juga: Ferrari 296 GTB, Misteri Ferrari Tanpa Suara
Di atas kertas, Purosangue diklaim dapat melesat hingga 310 kilometer per jam. Sementara dari berhenti hingga 100 km per jam dapat dicapai dalam 3,3 detik. Adapun dari berhenti hingga 200 km per jam dapat dicapai dalam 10,6 detik.
Tentu kemampuan maksimal Purosangue tidak dapat dites di Autostrada A22. Kenyamanan dan kepentingan publik harus didahulukan. Walau kehadiran kami di A22 ternyata juga ”mengganggu” publik. Melihat Purosangue, ada sejumlah mobil yang tadinya mendahului kemudian tiba-tiba melambat untuk memerhatikan dari samping bahkan kemudian membuntuti kami.
Untuk sedikit memuaskan publik, Purosangue ini terkadang diakselerasi secara mendadak. Ketika putaran mesin makin tinggi, makin mendekati garis merah, suara raungan secara kresendo tercipta oleh mesin berkode F140IA, yang diciptakan khusus untuk Purosangue.
Suspensi aktif
Keluar dari A22, Purosangue kemudian diuji melewati jalur tanjakan Trento-Bondone (17,6 km). Jalur itu menjadi lokasi kompetisi mendaki bukit yang dimulai di Trento dan berakhir di Monte Bondone. Scuderia Trentina dari Automobile Club d’Italia menggelar kompetisi di jalur legendaris itu sejak 5 Juli 1925.
Sistem suspensi aktif True Active Spool Valve (TASV) Multimatic, membantu Purosangue melibas tikungan-tikungan tajam di jalur tanjakan itu. Inovasi terbaru Ferrari, yang untuk pertama kalinya ditanam di kaki-kaki Purosangue itu, dengan aktif memonitor gerak badan dan roda Purosangue sehingga mengurangi sensasi pergeseran bobot mobil ke depan, belakang, ke sisi kiri ataupun kanan. Purosangue itu pun menjadi lebih stabil.
Hanya dalam belasan menit, kami tiba di Monte Bondone, salah satu puncak tertinggi di Pegunungan Garda. Hari makin siang tetapi suhu luar ruang makin dingin karena salju mengguyur daratan dengan ketinggian rata-rata lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut itu.
Meski butiran salju mengguyur jalan raya, kepercayaan diri kami pun sama sekali tidak berkurang. Kami menyandarkan diri pada manettino dial, yang kerap disebut sebagai Ferrari Dial. Jika dibutuhkan, kami dapat mengatur pengendalian apakah pada mode Ice, Wet, Comfort, Sport, atau mematikan sama sekali pengendalian secara elektronik. Karena salju tidak terlalu tebal, kami tidak merasa perlu mengaktifkan modeIce.
Setelah makan siang di Chalet Rocce Rosse Mountain Lounge, kami menyepi di sebuah sudut Monte Bondone. Eksterior dan interior mobil unik ini pun dicermati secara mendalam.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Ferrari, pada kabin Purosangue terdapat empat kursi terpisah dengan empat pintu.
Dari sisi eksterior, tubuh Purosangue ini seolah terbagi dalam dua massa, yakni bagian bawah yang berliku-liku nan kekar dan tubuh bagian atas yang lebih sederhana tetapi mengesankan. Mobil itu makin terlihat kekar dengan pelek depan berukuran 22 inci dan pelek belakang berukuran 23 inci.
Empat kursi
Pada kabin Purosangue terdapat empat kursi terpisah yang masing-masing dapat disesuaikan secara independen. Mobil ini juga punya empat pintu sehingga memudahkan siapa pun keluar masuk kabin. Posisi duduk juga tidak terlalu rebah.
Meski suhu di Monte Bondone pada siang itu nyaris nol derajat celsius, tetapi berkat kursi ”canggih” Purosangue ini maka punggung, pantat, dan ibaratnya seluruh badan ini menjadi hangat. Kami juga sempat mencoba lima jenis pijatan yang diberikan oleh kursi Purosangue. Tampaknya, kemacetan di Thamrin-Sudirman Jakarta tak bakal terlalu mengesalkan jika kita duduk di dalam Purosangue.
Perjalanan pulang menuju LeFay Resport & Spa Dolomiti melintasi Danau Toblino pun lebih santai setelah kami tuntas memotret dan mengambil video. Dengan lebih rileks, kami menikmati pelukan kursi yang dibuat khusus oleh Alcantara. Inilah pelapis kursi pertama di dunia yang dibuat dari 68 persen poliester daur ulang pascakonsumen.
Kami juga tidak terlalu ngotot saat melintasi Strade Statali 237 dan Strade Provinciali 53, yang melingkari Brenta Dolomites. Melaju dengan kecepatan bervariasi seumpama latihan fartlek pun dilakukan. Kami tentu tak ingin egois. Kadang, kami melaju pelan-pelan untuk memperlihatkan Purosangue ke sejumlah warga yang penasaran.
Kami juga akhirnya berkesempatan mencoba sistem audio Purosangue ini. Produsen audio asal Jerman Burmester telah menanam 21 speaker, termasuk subwoofer, dengan total daya keluaran 1.420 watt di sekujur mobil untuk menghasilkan performa terbaik dari frekuensi rendah hingga tinggi. Sambil menatap puncak-puncak Brenta yang diselimuti awan, kami mendengarkan album Eminem.
Namun, tak sampai setengah perjalanan, kami memilih mematikan sistem audio. Bagi kami, suara raungan Purosangue lebih merdu dari musik mana pun. Selagi sempat, kami ingin merekam suara Purosangue, ”ras murni” dari Ferrari ini di dalam memori.