Rumahku, Jodohku...
Mencari rumah seperti mencari pasangan hidup. Meskipun cukup uang, kadang kala tak kunjung menemukan rumah yang pas. Rumah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga kesesuaian rasa. Karena rumahku, jodohku....
Tak mudah menentukan tempat bernaung yang kelak disebut rumah. Pilah-pilih dijalankan melalui segudang pertimbangan dan kemampuan meski pada akhirnya kata hatilah yang memutuskan. Layaknya mencari teman hidup, jelas tidak bisa buru-buru karena rumahku, jodohku….
Perjalanan yang dilalui Hindra (40), Nani Suryani (47), Imanina Aditiawati (33), dan Fitri Permana Sari (36) dalam berjumpa dengan tempat tinggal yang menjadi pusat kehidupan mereka saat ini hampir mirip. Kondisi finansial, lokasi, dan momen menjadi pertimbangan utama ketika wara-wiri menyaring kandidat kediaman yang tepat.
Fitri yang kini tinggal bersama suami dan kedua anaknya di kawasan Jatiwaringin, Bekasi, sejak 2014 memulai pencarian rumah setahun sebelumnya setelah anak pertamanya lahir. Survei-survei kecil bahkan sudah dilakukan sejak mereka menikah.
”Setelah lahir anak pertama, kami memang harus serius cari rumah. Pertimbangan utamanya tadinya dekat dengan lokasi saya bekerja. Karena sebagai ibu pekerja, kami ingin akses rumah ke kantor saya lebih mudah dan dekat,” ujar Fitri di Jakarta, Rabu (22/3/2023).
Ketika itu mereka masih tinggal di sebuah rumah kontrakan di kawasan Jalan Otista, Jakarta Timur, yang jaraknya hanya 5 menit dari kantor Fitri. Oleh karena itu, awalnya mereka mencari rumah di kawasan Otista, lantas melebar ke Condet, Cipayung, hingga melambung ke Jagakarsa di Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan. Yang mereka incar adalah rumah bekas (second).
Setelah mencari ke sana kemari, mereka akhirnya menemukan rumah bekas di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, dengan luas 115 meter persegi dan rumah bekas di Jatiwaringin, Bekasi, yang kini ditempatinya dengan luas 210 meter persegi. Harganya memang lebih mahal, tapi lokasinya dekat dengan tempat kerjanya yang berjarak sekitar 6 kilometer. Kriteria rumah sehat membuatnya dan suami mantap memilih rumah itu.
”Apalagi anak kami yang usianya masih 6 bulan tidak rewel saat ikut survei ke rumah yang sekarang. Bisa dibilang itu juga salah satu intuisi yang kami pakai. Anak nyaman dengan rumah itu menjadi penting,” tutur Fitri.
Semula sempat tebersit untuk mencari rumah baru di kompleks perumahan yang besar. Hanya saja, lokasinya pasti jauh dari tempat bekerja dan luasannya kurang dari 100 meter. Ditambah ia ingin tinggal di lingkungan yang guyub seperti di Yogyakarta, tempat asalnya.
Rumah dalam kluster berisi 12 rumah yang ditinggalinya saat ini dibeli dengan kombinasi cash keras dan cicilan dari kantor suami. Rumah itu memiliki ruang terbuka, cukup untuk disulap sebagai kebun mini. Sirkulasi udara dan pencahayaan rumah itu juga bagus. ”Bagi kami, rumah adalah tempat yang nyaman dan harus sehat untuk kembali dan berlindung bersama keluarga,” ucap Fitri.
Rumah sehat juga yang menjadi pertimbangan Imanina dan suami. Pengalaman tinggal di rusunami di kawasan Jakarta Selatan dirasanya kurang nyaman meski akses transportasi dan fasilitas lainnya mudah dijangkau. Terlebih Imanina dan suami yang sejak lahir di Jakarta justru ingin menepi mencari lokasi yang tenang dan masih cukup segar udaranya. ”Tapi tetap nyari yang tidak menyulitkan suami untuk berangkat ke kantor menggunakan KRL,” ujar Imanina.
Sebelum terjun ke lokasi, kisaran harga rumah yang sesuai dengan kemampuan menjadi pegangan utama. Mereka pun melanglang sampai ke Jonggol dan Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, mencari yang mendekati kriteria. Akhirnya, terpilihlah lokasi yang ditempatinya saat ini, yakni di Nanggerang, Tajur Halang, Bogor, Jawa Barat.
Rumah yang dibeli melalui KPR syariah ini memiliki langit-langit tinggi seperti dalam bayangan Imanina. Lokasinya pun terbilang privat karena jauh dari keramaian. Suasananya lebih asri dan udara lebih bersih meski tidak terlalu dekat dengan stasiun KRL juga pada akhirnya.
Mereka terbilang beruntung karena ketika memilih, lokasinya masih berupa tanah kosong. Setelah membayar uang muka, pihak pengembang baru mulai membangun dan Imanina bisa meminta desain bagian dalam yang sesuai sehingga mereka memiliki banyak ruang terbuka.
Ruang terbuka ini diubahnya menjadi taman di bagian depan, belakang, dan samping rumah. Kebetulan ibu Imanina yang ikut tinggal bersama hobi mengurus tanaman. ”Dari awal, kami memang ingin orangtuaku tinggal serumah dengan kami. Jadi, saat memilih, kecocokan hati mereka juga penting. Enggak cuma kami saja,” ujar ibu dua anak ini.
Mereka bersyukur berjodoh dengan rumahnya kini. ”Rumah bagi kami adalah tempat pulang dan berkembang bersama keluarga. Tidak hanya untuk melepas lelah, tapi juga untuk berkegiatan. Tinggal di sini, kami jadi belajar tidak buru-buru sehingga bisa fokus mengerjakan hal bermanfaat dan menikmati hidup,” katanya.
Rumah sendiri
Kebutuhan memiliki rumah tak melulu bagi yang sudah berrumah tangga. Hindra yang masih melajang memutuskan untuk tinggal di apartemen di Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat, dengan harga relatif masih bisa dipaksakan untuk dijangkau. Meski awalnya berharap punya rumah di Jakarta, ia terganjal keuangan. ”Tahun segitu (2014) aja rumah satu kamar, tusuk sate, di dalam gang sempit di kawasan Tomang harganya sudah 700-800 juta rupiah,” kenang karyawan perusahaan barang konsumsi yang menghitung gajinya tak akan cukup membeli rumah kala itu.
Berbekal kenalan, Hindra membuat riset pribadi seputar apartemen, mulai dari reputasi pengembang, harga pasaran per unit, hingga berbagai informasi lain. Ia getol mendatangi pameran perumahan dan apartemen. Dia pernah mendapat tawaran rumah dengan harga terjangkau, tetapi di luar Jakarta, seperti Cibubur, Tangerang, dan Bogor.
Ia berkonsultasi dengan pakar properti yang dikenalnya hingga yakin untuk memilih apartemen dua kamar seluas 34 meter persegi yang ditinggalinya saat ini. Namun, Hindra harus menunggu sekitar dua tahun setelah akad kredit, Mei 2015, hingga gedung apartemennya mulai dibangun.
Beberapa tahun awal tinggal di apartemen, Hindra harus banyak beradaptasi dengan pola kehidupan yang menurut dia baru. Ada sejumlah kebiasaan, aturan, dan persoalan yang sempat membuatnya terganggu dan sempat membuat tidak betah, mulai dari persoalan privasi lantaran dinding apartemen terlalu tipis, lift yang kadang rusak atau tak beroperasi, hingga antrean panjang untuk mengambil paket atau surat di bagian penerimaan.
”Suara denting gelas saat orang sebelah mengaduk minumannya bisa terdengar. Belum lagi kalau ada yang menyetel lagu agak sedikit keras. Sempat berpikir mau keluar, entah dengan menyewakan atau menjual apartemenku, lalu aku kos lagi, tapi ya mau bagaimana lagi? Toh, apartemen ini aku beli dan cicil dari uang gajiku sendiri. Sekarang, ya, enjoy saja,” katanya.
Nani bernasib mirip dengan Hindra. Tak memungkinkan mengambil rumah di Ibu Kota karena pendapatannya tidak mencukupi, ia akhirnya mengambil rumah di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Nani yang sebelumnya kos di dekat kantor di Jakarta sejak 2011 awalnya tidak membayangkan akan tinggal di Cileungsi. Ia lihat beberapa temannya yang tinggal jauh dari kantor selalu kelelahan karena menghabiskan banyak waktu dan tenaga saat pergi-pulang kantor.
Namun, pada 2015, Nani pindah kerja ke Cileungsi. Ia seperti ”ditakdirkan” untuk tinggal di sana. Daripada kos terus-menerus, ia akhirnya mulai bergerak mencari rumah di Cileungsi. Ia mengambil rumah sederhana dengan skema mencicil 13 tahun. Rumah itu mungil. Luas bangunannya hanya 25 meter persegi dengan satu kamar tidur. Luas tanahnya 72 meter persegi. Dua tahun kemudian, ia merenovasi dapur rumah dan menambah satu kamar tidur lagi. Semua dilakukan Nani agar ia betah dan bisa menikmati rumahnya.
Meski kecil, rumah itu lokasinya cukup strategis lantaran dekat ke pusat perbelanjaan dan rumah sakit. ”Ke tempat kerja ternyata juga enggak jauh kalau mau ke terminal bus Cileungsi. Di Terminal Cileungsi ada bus khusus tujuan ke Bandara Soekarno-Hatta. Jadi kalau saya ada tugas atau bepergian naik pesawat, benar-benar dimudahkan,” tutur Nani.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad Sulistyo Widhyharto, menjelaskan, banyak pasangan dan orang muda tidak punya banyak pilihan dalam mendapatkan rumah idaman pertamanya. Pilihan lokasi belum tentu nyaman dan urusan finansial berupa sistem pembayaran yang bisa jadi memberatkan.
Kendati demikian, sebagian dari mereka kemudian bersiasat. Misalnya, memilih apartemen atau kluster yang mudah mencapai akses transportasi meski tinggal di wilayah suburban. Akan tetapi, kondisi ini perlu dicermati karena berpotensi juga mengundang problematika. ”Jatuhnya menjadi gated community dan menutup diri. Tinggal di wilayah suburban yang warga sekitarnya punya nilai tradisional, tapi warga perkotaan yang masuk ke sana punya norma berbeda dan dibawa juga ke sana,” ujar Derajad.
Akibatnya, lanjut Derajad, bisa muncul benturan tradisi dan persoalan interaksi sosial yang bisa berujung pada gangguan keamanan.
Rumah yang nyaman sejatinya juga berkaitan dengan interaksi sosial sekitar. Jodoh itu soal hati, lebih pada sesama manusia, tak sekadar bangunan yang menaungi.