Berkain wastra sudah menjadi tren. Tetapi, adakalanya kita ingin memakai kain wastra dalam bentuk busana yang tetap menampakkan keindahan kain dengan sentuhan mode gaya modern serta praktis.
Oleh
SOELASTRI SOEKIRNO
·5 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Karya desainer Wignyo dengan menggunakan kain tenun dari Sulawesi Tengah yang ditampilkan di Muffest 2023.
Berkain wastra sudah menjadi tren. Tetapi, adakalanya kita ingin memakai kain wastra dalam bentuk busana yang tetap menampakkan keindahan kain dengan sentuhan mode gaya modern serta praktis.
Ajang Muslim Fashion Festival (Muffest) 2023 pada awal Maret 2023 menjadi kesempatan desainer Wignyo Rahadi memamerkan karya busana dari bahan dasar kain tenun wastra Nusantara yang ia padukan dengan tenun Gaya karyanya.
Wignyo, antara lain, mengangkat kain tenun Donggala dari Sulawesi Tengah (Sulteng) dan kain-kain tenun dari Sulawesi Tenggara (Sutra), yakni kain tenun Masalili dari Kabupaten Muna, kain tenun Sulaa dari Kabupaten Baubau, serta kain tenun Nira Lako dari Kabupaten Buton Tengah.
Artisan petenun kain Donggala, Masalili, Sulaa, dan Nira Lako merupakan binaan Bank Indonesia Sulteng dan Sultra. Bank Indonesia di kedua wilayah tersebut ingin membantu melestarikan kain-kain tenun khas tradisi dari Sulteng dan Sultra, sekaligus mengenalkan kembali ke khalayak.
Di sisi lain, Wignyo, yang mencoba membantu revitalisasi kain tenun Sulteng dan Sultra tanpa meninggalkan ciri khasnya, membuatkan desain busana kekinian untuk mengangkat nama tenun dari daerah-daerah tersebut.
Dari para artisan petenun kain tenun Donggala yang baru belajar membuat kain tenun dengan alat tenun bukan mesin menggunakan benang katun, Wignyo meminta kiriman enam lembar karya mereka dari kain warna biru bermotif bunga dan garis-garis, coklat bergaris abu, merah muda, abu bermotif warna abu tua dan putih, kuning-coklat bermotif garis, coklat muda bermotif garis dan bunga, hijau tosca bermotif garis hitam-putih, serta kain coklat muda dengan garis coklat lebih tua. Kain-kain itu ia buat celana longgar, rok panjang, terusan, atasan pendek, sampai luaran atau outer.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Karya perancang Wignyo di ajang Muslim Fashion Festival 2023 di Jakarta, awal Maret 2023.
Ia memadukan kain tenun dengan kain polos karyanya. ”Kain wastra harus tetap menonjol, tetapi jika hanya dari kain wastra kadang-kadang tampilan bajunya terasa ada yang kurang. Untuk mendukung tampilan si baju, saya memakai kain polos dari tenun Gaya,” kata Wignyo.
Ia mengombinasikan bahan kain tenun Donggala dengan kain tenun polos untuk menambah pesona dan ciri khas motif kain wastra tersebut.
Selembar kain Donggala warna biru, misalnya, berubah menjadi luaran panjang yang ia kombinasikan dengan dalaman terusan panjang warna biru polos. Sementara selembar kain tenun abu-abu bermotif geometris ia buat luaran selutut, tetapi agar tampilan tak monoton, ditambahkannya kerah lebar pada lapisan terluar dari warna abu, tetapi bermotif bintik-bintik.
Setelan celana panjang lebar warna abu polos dipadu luaran abu bermotif tersebut masih ditambah aksen motif garis memanjang dari wastra Donggala. Di bagian dalam, Wignyo memakaikan blus warna biru cerah yang membuat tampilan baju lebih berwarna.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Karya perancang Wignyo di ajang Muslim Fashion Festival atau Muffest 2023, di Jakarta, awal Maret 2023.
Tak cukup hanya memainkan padu padan, Wignyo, yang sudah lebih dari 30 tahun berkecimpung dalam desain kain dan pembuatannya, memberi aksen di ujung lengan blus pada setelan rok panjang warna kuning dengan blus lengan panjang warna oranye.
Ujung lengan atas pada blus motif garis warna dasar abu muda yang dikombinasikan tenun polos warna oranye itu ia buat model puff yang sedikit naik sehingga memberi garis tegas dan anggun kepada pemakai blus tersebut. Model lengan atas seperti itu sering digunakan mantan Ibu Negara Filipina Imelda Marcos pada gaun terusannya. Bedanya, puff ala Imelda dibuat lebih tinggi.
Untuk melengkapi tampilan, Wignyo membuatkan obi (ikat pinggang lebar yang biasa dipakai di baju kimono) dari kain polos oranye yang ditutup lagi dengan kain tenun Donggala bermotif garis. Bagian lehernya pun terbuat dari kain tenun Donggala. Penggunaan obi bertumpuk apalagi dari kain motif garis memberi kesan langsing.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Karya perancang Wignyo di ajang Muslim Fashion Festival (Muffest) 2023 di Jakarta, awal Maret 2023.
Hijab ”capuchon”
Pada bagian pergelaran untuk wastra asal Sultra, ia mengeksplorasi tenun Sulaa menjadi busana setelan yang terdiri dari rok panjang warna coklat tua dengan blus lengan panjang. Blus itu diberi aksen dan dilengkapi obi warna senada rok.
Sementara tenun Masalili dengan motif geometris (zig-zag), warna coklat tua, dikombinasikan dengan kain tenun polos warna kuning cerah sebagai celana panjang. Aksen semacam saku di celana bagian atas berwarna krem, sesuai warna salah satu blus menjadi pemanis yang unik.
Untuk bagian atas, Wignyo menutupnya dengan dua lapis blus dengan pola overslag yang menonjolkan motif zig-zag tenun Masalili dan memberi kesan modern.
Tenun Masalili yang lain dibuat celana longgar warna polos, tetapi motif zig-zag pada tenun itu ia tempelkan di celana kiri dan kanan. Tabrakan warna putih tulang, hijau tosca muda, dan kain tenun warna coklat membuat tampilan setelan celana longgar dan blus lengan panjang warna putih tulang lebih manis.
Khusus untuk koleksi wastra dari Sultra, Wignyo membuatkan hijab model capuchon (tudung kepala). Modelnya yang unik mencuri perhatian. Selain elegan, tudung kepala itu menyiratkan tampilan yang juga kekinian. ”Sengaja aku buat hijab model capuchon agar orang berhijab tak tampil begitu-begitu saja. Hijab capuchon ini memberi kesan modern dan praktis bagi pemakainya,” ujar Wignyo.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Karya perancang Wignyo di ajang Muslim Fashion Festival 2023 di Jakarta, awal Maret 2023.
Ia berharap, dengan menampilkan busana dari wastra bermacam daerah, kain dari Buton, Baubau, Buton Tengah, dan Donggala akan makin dikenal khalayak. ”Kain itu berasal dari daerah yang jauh, jika dikirim ke Jakarta, ongkosnya mahal. Saya berpikir sebaiknya mengedukasi warga, petenun, dan desainer lokal agar mereka menampilkan kain lokalnya menjadi busana yang menarik,” ujar Wignyo.
Jika wastra yang biasa untuk keperluan adat lebih dikembangkan menjadi bahan busana resmi atau sehari-hari, gairah artisan petenun untuk membuat banyak kain akan terpicu. Cara itu kelak akan menaikkan pamor daerah bersangkutan, sekaligus meningkatkan roda ekonomi daerah setempat.