Selagi Bisa, Sambangilah Konser Idola
Konser musik tak melulu soal musik itu sendiri. Ada perjumpaan dan pengalaman yang memperkaya jiwa. Selagi memungkinkan, mengapa tidak berbagi energi dengan sesama penggemar.
Hadir di pertunjukan musisi kesukaan memberi pengalaman berlebih daripada mendengar rekamannya. Melihat langsung idola beraksi adalah hal utama. Namun, merasakan suasana di arena, bertegur sapa dengan sesama penggemar, adalah hal yang pantas diperjuangkan. Demi itulah penonton berduyun-duyun datang demi musik yang mereka suka.
Kamis (9/3/2023) segera berganti Jumat ketika Patono (55) selesai mengepak pakaian dan cemilan dari rumahnya di Kota Serang, Banten. Istrinya melepas keberangkatan sang suami mendatangi ”muktamar” Deep Purple, grup band kesukaannya sejak remaja. Pensiunan perusahaan swasta ini siap melibas 600-an kilometer dengan mobilnya.
Patono tak sendirian. Ada Jefri Rinaldi (35) yang menemaninya. Mereka berdua bukan saudara, atau ayah-anak, melainkan tetangga satu kompleks perumahan. Seorang tetangga lainnya, Ferdy (52), juga turut serta.
”Sebenarnya ada satu orang lagi yang mau ikut, tetapi ada keperluan lain. Jalan bertiga, pas lah. Satu orang tidur, satunya menyetir, satunya nemenin ngobrol,” kata Patono. Mereka bertiga memegang tiket kelas festival, yang baru dibeli sepekan sebelum berangkat. Harga karcisnya Rp 1,5 juta per orang, belum termasuk pajak dan bea administrasi.
Perjalanan dari Serang menuju Surakarta mereka tempuh lebih dari 10 jam. Jalan santai, istilahnya. Setiap mengantuk, berhenti dulu di area istirahat jalan tol untuk mengopi atau mengunyah. Selain mengobrol, lagu pengiring perjalanan mereka adalah daftar putar dari Deep Purple dan God Bless.
Patono mencari tahu lagu-lagu mana yang sekiranya bakal dimainkan. Sumbernya adalah daftar lagu dari konser sebelumnya yang berserakan di internet. Setelah daftar lagu tersusun, ia mengunduh lagu lengkap dengan liriknya, supaya bisa berkaraoke di mobil. Sepertinya perjalanan yang seru.
Di kelas festival, Patono bergabung dengan ribuan penonton lain tanpa kursi. Mereka berdiri ketika band tampil, dan duduk lesehan di lantai saat jeda. Fisiknya masih tegap untuk berdiri berjam-jam dan tak khawatir masuk angin karena duduk tanpa alas di lantai.
Ini adalah konser Deep Purple kedua bagi Patono. Sebelumnya, dia menonton aksi Ian Gillan dan kawan-kawan di Jakarta pada 2002. ”Mumpung masih bisa menonton mereka, ya, perjalanan darat pakai mobil pergi-pulang layak dijalani. Kita enggak pernah tahu kapan lagi bisa mendengar langsung lagu yang dinyanyikan Ian Gillan, apalagi dia sudah sepuh juga, kan,” katanya.
Andai nanti ada konser Deep Purple lagi, dan jaraknya bisa direngkuh, dia akan mengupayakan sebisa mungkin. ”Kalau konsernya di Kanada, misalnya, ya, mungkin enggak terjangkau buat saya yang pensiunan begini,” lanjutnya.
Deep Purple adalah kesukaan Patono sejak remaja. Dia belajar main gitar di kampung halamannya, Klaten, dengan lagu ”Smoke on the Water”. ”Tahu lagu itu dari teman-teman yang lebih dewasa di kampung. Mungkin itu sekitar lima tahunan setelah Deep Purple pertama main di Jakarta, ya. Gaungnya terasa juga sampai Klaten,” kata pemilik studio musik di Serang ini.
Sejak itu, dia mengoleksi kaset Deep Purple. Sampai sekarang kasetnya masih terawat, tapi tape pemutarnya sudah rusak. Medium musik digital jadi teman pengiring perjalanannya di mobil sampai-sampai anaknya yang remaja ikut hafal. ”Kalau band Indonesia kesukaan, ya, God Bless. Ian Antono itu gayanya Ritchie Blackmore (mantan gitaris Deep Purple) banget,” ujarnya.
Malam itu, mereka bertiga kompakan memakai kaus Deep Purple yang dijual resmi oleh penyelenggara. Mengantre di depan kios cendera mata adalah hal pertama yang mereka lakukan begitu tiba di arena. Patono dan Ferdy memakai kaus yang sama, yang masing-masing harganya Rp 450.000. Sementara kaus yang dipakai Jefri lebih mahal, yakni Rp 550.000 karena berlisensi langsung dari manajemen Deep Purple. Padahal, Jefri belum tahu banyak soal band asal Inggris itu.
”Saya memang hobi nonton konser. Tapi, saya bukan penggemar berat Deep Purple, enggak seperti bapak-bapak ini,” kata Jefri terkekeh. Dia lebih suka Metallica. Namun, dia paham betul kalau Metallica pun mengidolakan Deep Purple. Jadi, kehadirannya di arena Edutorium UMS itu enggak salah-salah amat.
Obrolan asyik
Apabila Patono dan kawan-kawan datang dari sisi barat, Nonot (53) juga menyetir dari sisi timur, tepatnya Kota Surabaya, Jatim. Perjalanan Nonot dan teman-teman sebayanya memakan waktu sekitar empat jam. Baginya, menonton konser ini adalah ajang mengenang masa muda sekaligus menenangkan diri dari rutinitas sehari-hari.
Arena konser itu mulai ramai sejak selepas ibadah shalat Jumat, padahal pintu aula baru dibuka pukul 17.00. Sebagian besar pengunjung adalah masyarakat beruban. Rata-rata kaus yang dipakai berwarna hitam dengan grafis serupa poster pertunjukan. Ada juga sekelompok bapak-bapak berpeci dan bersarung dengan kaus bertuliskan ”Muktamar Deep Purple”. Ibu-ibunya banyak juga yang berkerudung.
Sebagian besar datang berombongan. Namun, yang datang sendirian pun akhirnya bisa menemukan teman mengobrol yang asyik di sana. Agus Mulyadi, misalnya, sedang asyik mendengar cerita teman barunya yang berdusta perihal harga tiket kepada istrinya. Teman lainnya, yang sama-sama beruban menimbrung betapa sulitnya pesan karcis lewat internet karena tidak punya surel. Suasana jadi penuh tawa.
Baca Juga: Harta yang Paling Berharga Adalah Metallica
Meski didominasi golongan senior, tak sedikit juga penonton yang muda-muda. Di kelas festival, ada Katerinna Artemis Tsimis (16), warga asing yang sedang bersekolah di Salatiga, Jateng. Dia datang bersama ayahnya. Uniknya, inisiatif menonton band rock veteran itu justru datang dari Kate. Kebetulan, sang ayah juga penggemar Deep Purple.
”Konsernya keren banget, sebuah pengalaman yang tak akan bisa dilupakan,” kata Kate girang. Tak jauh dari Kate, ada Xu Haiyan (23) dan Zheng Rumei (26) yang khusus datang dari Guangdong, China, ke Surakarta demi Deep Purple. Mereka berdua memilih nonton di Indonesia daripada di Jepang (13 Maret) ,antara lain karena biaya visa yang lebih murah. Keduanya merasa dapat bonus bisa lihat band Soneta yang baru pertama kali mereka dengar.
Beruntung
Ardo (25) masih ada di luar aula ketika sayup-sayup terdengar God Bless memulai set dengan lagu ”Musisi”. Itu lagu kesukaannya. Dia belum pegang karcis. Mau membeli karcis tersisa, Rp 1,5 juta, harganya kemahalan buat pemuda yang sehari-hari mengurusi konten media sosial sebuah gereja di Surabaya ini.
Bersama dua temannya, dia menunggu di luar. Harga yang ditawarkan calo masih kemahalan. Dia yakin, semakin malam harganya akan turun. Lagu ”Musisi” itu membuatnya makin gelisah. Perjalanan dari Madiun menggunakan Vespa PX harus dibayar tuntas.
”Tahu-tahu ada yang nyamperin kami, nawarin dua gelang (bentuk tiket). Katanya, teman dia enggak bisa datang. Harganya Rp 800.000. Saya coba tawar, tapi cuma bisa turun Rp 50.000. Itu saya beli aja karena tahu God Bless sudah main,” katanya. Seorang temannya lagi memilih di luar karena dagangan kausnya belum laku banyak.
Ardo baru bisa masuk aula menjelang God Bless beres. Dengan rompi yang masih beraroma matahari, dia masih kebagian lagu ”Bis Kota” dan ”Semut Hitam”. Ardo kegirangan. Apalagi, lagu terakhir God Bless adalah ”Trauma” yang jarang dia dengar dari panggung.
Sarjana ilmu komunikasi lulusan 2021 ini berkisah, semula dia ragu datang ke konser ini. Dia suka God Bless, tetapi tak terlalu mengikuti Deep Purple. Namun, dia ingin menonton konser. Keinginannya makin kuat ketika saudaranya bercerita pernah menonton God Bless sebagai pembuka Deep Purple tahun 1975. ”Saya makin yakin harus berangkat. Saya tukar hari libur dengan teman kerja,” katanya.
Modal yakin saja tentu belum cukup. Ardo menyiapkan Vespa kesayangannya, meski uangnya pas-pasan. Dia tetap berangkat, dengan ekspektasi rendah. Namun, keberuntungan sepertinya berpihak kepada orang yakin. Ardo menikmati betul ”Highway Star” yang sudah dia anggap sebagai lagu pengiringnya di atas Vespa sehari-hari.
Ardo mengerahkan upaya besar untuk bisa menikmati musik. Dia yakin suatu saat pengalaman ini akan menjadi cerita menyenangkan untuk dibagi. Ceritanya bukan hanya tentang penampilan musisi idola, melainkan juga pengalaman perjalanan atau keberuntungan yang dia terima.
Partono pun merasakan hal demikian. ”Sebagai penggemar, mestinya sebisa mungkin menonton musisi yang berpengaruh dalam hidup kita. Datangilah konser yang memang pantas diupayakan. Mumpung kita bisa dan idolanya masih aktif,” ujarnya.
Anda sepakat?