Perkembangan mode mengubah citra dan perspektif busana berbahan kulit. Sudah waktunya bagi Garut yang khas dengan produk kulit maju di panggung ”fashion” Tanah Air memberi warna keragaman gaya.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·4 menit baca
Dari gangster, geng motor, hingga para bintang rock identik dengan penggunaan pakaian berbahan kulit. Namun, perkembangan mode mengubah citra dan perspektif busana berbahan kulit. Sudah waktunya bagi Garut yang khas dengan produk kulitnya maju di panggung fashion Tanah Air memberi warna keragaman gaya.
Jika pernah dengar istilah ”asgar atau asli Garut”, pikiran spontan melayang pada para tukang cukur yang merambah kota. Namun, sebutan asgar ini ternyata juga digunakan oleh para penjual jaket yang melabeli jaket jualannya dengan jaket kulit asgar karena salah satu daerah di Jawa Barat ini memang populer dengan kerajinan kulitnya. Namun, tak semuanya sungguh dari Garut.
Desainer sekaligus Ketua Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI), Poppy Dharsono, melalui landas peraga di Indonesia Fashion Week, Jumat (24/2/2023), membawa jaket kulit asli Garut sesungguhnya untuk disuguhkan pada masyarakat.
”Dari 12 tahun yang lalu, saya sudah punya keinginan untuk bantu dan membawa mereka. Akhirnya, pada hari ini, bersama kerajinan perkulitan di Garut yang usianya sudah 100 tahun dan kini berbentuk UMKM ini, muncul 12 kreasi dengan kulit,” ujar Poppy sebelum pergelaran dimulai.
Dominasi tampilannya memang berupa jaket kulit dengan warna coklat dan hitam. Detail pembedanya ada pada bagian ritsleting yang dimodifikasi tidak hanya berbentuk lurus di tengah. Kerah pada bagian jaket pun ada yang berbentuk kerah tegak, tapi mayoritas menggunakan kerah notch lapel atau peak lapel.
Sebagian jaket juga dibuat panjang seperti mantel panjang. Ada juga yang berukuran pas pinggang dan khusus untuk perempuan dihadirkan jaket potongan crop yang manis ketika dipadukan dengan gaun batik atau rok batik khas Garut bersiluet A. Sementara yang berbentuk mantel panjang dikombinasikan dengan gaun pendek berbahan kulit dan boots kulit menutupi betis yang mengingatkan pada penampilan tokoh perempuan di kisah spionase.
Ada satu tampilan berupa mantel panjang yang diberi motif mengilap yang justru membuatnya layak dikenakan ketika pesta makan malam yang megah. Jaket kulit menjajaki dunia berbeda.
Sentuhan Poppy pada jaket kulit dan sejumlah busana berbahan kulit Garut kali ini memang seakan memberi napas baru bagi keberlangsungan perajin kulit di Garut. Poppy pun menuturkan, dari cerita sejarah yang didengarnya, kerajinan kulit di Garut ada sejak 1920-an.
”Ketika itu militer Belanda bikin pabrik di Garut untuk suplai kebutuhan perkulitan mereka, yang di antaranya untuk membuat sadel kuda. Setelah Belanda pergi, pabrik itu diambil Jepang. Baru setelah merdeka, kerajinan kulit dikelola oleh penduduk,” ujar Poppy.
Sayangnya, perkembangannya melambat bahkan nyaris tergerus zaman karena desain dan kualitas kerajinan kulit Garut tak mengalami perubahan yang semestinya. ”Desainnya dari A sampai Z, dari toko satu ke yang lain, semua sama. Tidak ada yang baru. Kan, sayang sekali, ya. Jadi memang perlu banyak yang ditingkatkan,” tutur Poppy.
Apabila mengacu pada laman resmi Kabupaten Garut, jaket kulit sapi yang lebih keras dan jaket kulit domba yang lebih lembut memang disebut sebagai komoditas andalan dari Garut. Selain bahan baku yang memadai, Garut juga memiliki sentra industri penyamakan kulit. Setidaknya kini ada 417 unit usaha formal dan non-formal yang bergerak di sektor industri pakaian dari kulit di Kabupaten Garut. Sebanyak 3.000 tenaga kerja pun terserap dari industri ini.
Go international
Permintaan pun sejatinya terus ada baik dari domestik hingga mancanegara, seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, Jepang, hingga Australia. Walakin, kendalannya seperti yang diungkapkan Poppy, yakni lemahnya pengendalian kualitas sehingga berpengaruh pada kepuasan konsumen dan membuat para perajin kulit Garut perlahan jadi kalah bersaing.
Untuk itu, Poppy pun turun tangan untuk memberikan pelatihan dan pemahaman agar kualitas barang dan desainnya berkembang. Pada G20 beberapa waktu lalu, para perajin Garut ini pun memperoleh kesempatan untuk tampil dengan tema Magnificent of Garut. Hasil karya para perajin ini juga dipamerkan di pameran kulit di Milan, Italia, beberapa waktu lalu.
Para desainer kulit dari Italia pun sempat diajak Poppy untuk berkunjung ke Garut dan membagikan ilmu terkait pembuatan pakaian berbahan kulit ini, termasuk juga aksesori, seperti dompet, tas, hingga sepatu. Dari bahan baku, Garut diyakini bisa bersaing dengan produk dunia.
”Bisalah jadi seperti Gucci atau jenama yang sudah mengemuka di dunia,” ujar Poppy di hadapan para hadirin dan juga Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki.
Namun, jika berbicara produk luar lain yang berbahan kulit, seiring dengan kampanye cruelty free dan tak lagi menggunakan bahan dasar hewan untuk pembuatan pakaian hingga produk kecantikan, jenama besar berinovasi. Stella McCartney, Yves Saint Laurent, Burberry menjajal bahan kulit yang diolah dari tumbuhan. Bahkan, umumnya untuk yang berbahan kulit ini memang tidak diproduksi dalam skala besar untuk tetap menjaga keseimbangan alam.
Kelak saat makin mendunia, pemahaman ini juga perlu diterapkan oleh para perajin Garut dan para desiner di Indonesia agar bisa tetap bergaya dengan busana kulit tanpa harus menyakiti atau merusak hewan dan lingkungan.