Kepedulian terhadap sesama tumbuh subur di Majalaya, Bandung, Jawa Barat. Mereka misalnya menggelar mitigasi banjir, mewadahi generasi muda untuk unjuk gigi tanpa ambil pusing soal keuntungan, dan menggalakkan literasi.
Oleh
DWI BAYU RADIUS, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·6 menit baca
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Riki Waskito (45) dan rekannya berdiskusi sambil mengamati parameter ketinggian air di badan Sungai Citarum yang melintasi Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/3/2023).
Kesetiakawanan tumbuh subur di Majalaya, Bandung, Jawa Barat. Warga memitigasi banjir, menggalakkan literasi, hingga menggelar ajang kreativitas tanpa ambil pusing soal profit. Mereka turut membangun tanah kelahiran dengan mengekspresikan kecintaannya, termasuk lewat musik.
Riki Waskito (45) meloncat ke sisi tembok di Sungai Citarum. Seusai hujan lebat yang turun, malam dan siang sebelumnya, ia bergegas menuju pengukur tinggi muka air. Admin Siaga Warga sekaligus Tim Pemantau Cuaca dan Diseminasi Informasi Jaga Balai itu bernapas lega.
”Sekarang masih aman,” ujarnya seraya menunjukkan permukaan air yang masih menyentuh indikator berwarna hijau di Bandung, Kamis (2/3/2023) sore. Kepedulian untuk membangun Majalaya hadir dengan upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana. Apalagi, Majalaya adalah salah satu daerah di Cekungan Bandung yang kerap dilanda banjir.
Riki tak ingin berpangku tangan dan sadar bahwa masyarakat daerah yang dilintasi Sungai Citarum perlu beradaptasi. Sejak tahun 2008, ia bersama sejumlah rekannya membentuk Garda Caah. Komunitas itu aktif memberikan informasi terkait potensi bencana, terutama saat permukaan Sungai Citarum naik ke permukiman. Seiring perkembangan teknologi, informasi potensi bencana pun beralih ke media sosial (medsos).
Bahkan, di sejumlah tempat, indikator ketinggian air dipasang agar masyarakat bisa mengamati perubahan permukaan Sungai Citarum. Informasi terkait perubahan cuaca hingga berbagai fenomena alam juga dikumpulkan dan disajikan di grup medsos sehingga bisa diantisipasi warga.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Pengemudi sepeda motor dan mobil melintas di sela kepadatan lalu lintas di Majalaya, Bandung, Jawa Barat, Jumat (3/3/2023).
”Ini cara kami beradaptasi dengan daerah rawan bencana. Setiap informasi kami sajikan berdasarkan asumsi dari pengamatan dan pengalaman kami saat menghadapi banjir. Jadi, tanda-tanda cuaca yang ada kami laporkan dan berikan peringatan jika ada potensi bencana,” ujarnya.
Jejaring sosial juga dianyam Majalaya.id, komunitas independen yang didirikan pada tahun 2020. Mereka mengistilahkan gerakannya glocal atau berwawasan global-lokal. Ide-ide kreatif regional dihimpun untuk menembus ranah internasional.
”Tahun 1960-an, Majalaya dijuluki Kota Dollar. Kami mau membawa lagi semangat serupa,” ucap Bagus Setiadi (30), Chief Technology and Operational Officer Majalaya.id. Demikianlah serangkai tersebut memanajeri pendistribusian tugasnya dengan modern meski bergeliat di pinggiran yang jauh dari Bandung dengan pamor smart city atau kota cerdasnya.
Tanpa bayaran
Zulfa Nasrulloh (30), misalnya, didapuk sebagai chief executive officer. Sementara Toni Ginanjar (30) menjabat chief marketing and finance officer. ”Febby Zany Adrian (30) jadi chief creative officer. Unsur pimpinan lainnya, Chief Communication Officer Efry Wildiansyah (28),” kata Bagus.
Kemaslahatan mereka sebarkan tanpa mengedepankan laba. Mereka menggelar Majalaya Ideas & Culture Festival atau Midefest, agenda setiap akhir tahun yang sarat dengan unsur etnik. Midefest 2022, umpamanya, melibatkan 30 grup musik dan solois. Penonton datang berduyun-duyun untuk menyaksikan konser seharian tanpa dipungut bayaran.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Pedagang tradisional menjual daging di Pasar Majalaya, Bandung, Jawa Barat, Jumat (3/3/2023).
”Banyak band di Majalaya yang karyanya patut dipertimbangkan. Kami bantu supaya mereka bisa unjuk gigi,” ucap Bagus. Setelah dikurasi, 14 peserta diantar ke dapur rekaman untuk menggarap album kompilasi yang akan diluncurkan seusai Lebaran mendatang.
Pelajar pun tak ketinggalan digandeng. Diikuti 28 grup dan penyanyi tunggal, seleksi mengerucutkan enam peserta dengan penampilan terbaik untuk berpentas. ”Mereka sudah direkrut jadi artis produsen musik setempat. Kami juga buatkan konten musik yang diunggah ke Youtube,” ucap Toni.
Majalaya.id digawangi 30 orang. Mereka menciptakan kanal interaksi dan ruang-ruang kreatif berbagai bidang. Siapa pun yang berani bergerak, belajar, dan berkreativitas bisa bergabung. Fokus Majalaya.id tak hanya musik. Saat Midefest 2021, contohnya, mereka menghelat diskusi sejarah dan industri kreatif.
”Midefest 2022 juga diawali lima pra-event (pendahuluan). Kami pun berkolaborasi dengan komunitas olahraga, budaya, dan edukasi untuk berkarya,” kata Toni.
Midefest terwujud dengan berburu sponsor. Majalaya.id harus berjibaku mengingat Majalaya bukanlah sentra gemerlapnya hiburan, terlebih dengan posisi dan infrastruktur yang belum mumpuni.
”Polemik karena beragam masalah memang belum pudar, tapi Majalaya punya banyak sekali potensi yang layak digali,” katanya. Berlandaskan idealisme, Toni dan rekan-rekannya menyemai bibit-bibit unggul di Majalaya dengan mengusung pesta rakyat.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Penyanyi hiphop asal Majalaya, Asep Balon, bersama Aura Kasih menghibur pengunjung Now Playing Festival 2023 di Bandung, Jawa Barat, Jumat (3/3/2023).
Perkumpulan tersebut bermula saat alumni SMP Negeri 1 Majalaya membahas reuni angkatan tahun 2007. Ide untuk mengantar kawanan itu menyemai manfaat untuk daerahnya pun mengemuka. Covid-19 yang menggila justru memacu mereka untuk mencurahkan pendapatnya (brainstorming). ”Kami tak memikirkan profit, tapi sangat meyakini banyaknya faedah yang bisa dinikmati masyarakat. Termasuk, kemaslahatan buat kami,” ucap Toni sambil tersenyum.
Keengganan membaca
Keresahan terhadap literasi di Majalaya juga mengusik pikiran Indra Mustofa (28). Hasrat warga untuk membaca, mulai dari pengetahuan hingga sekadar aturan, sangat minim. Kondisi itu ia amati saat menjadi pengurus organisasi pemuda di tempat tinggalnya pada tahun 2018.
”Waktu itu saya ikut Karang Taruna RW 006 Bojongreungas di Desa Majasetra. Saya lihat anggota-anggota jarang membaca tugasnya. Teman-teman sering abai jika ada pengumuman bahkan ada informasi penting,” ujarnya.
Keengganan itu berdampak kepada tugas yang tak maksimal. Bahkan, penanganan masalah warga tak berjalan baik karena harus diingatkan. ”Saya melihat kepedulian dan literasi ini sangat minim. Apalagi, anak-anak sekarang lebih suka bermain gim, menonton video, dan mengobrol dengan aplikasi percakapan dibandingkan membaca. Jadi, kebiasaan membaca warga di Majalaya perlu ditingkatkan,” ujarnya.
Keinginan membangun literasi ternyata sejalan dengan Nelly Auliani yang mendirikan kelompok Perintis Literasi. Meski tak saling mengenal, Indra melihat tujuan yang sama sehingga ikut merapat dan mengikuti berbagai kegiatan bersama.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Anak-anak bermain di Alun-alun Majalaya, Bandung, Jawa Barat, Jumat (3/3/2023).
Tak hanya mengumpulkan buku, Perintis Literasi juga merangsang minat baca dengan puisi dan diskusi. Indra bersama rekan-rekannya kerap mengadakan kajian dan malam berpuisi di kafe Halaman 134. Ruang kreatif yang dibentuk Indra bersama rekan-rekannya itu berada di Desa Majasetra.
”Melalui puisi, kami ingin mengajak anak-anak untuk lebih dekat dengan literasi. Saat melihat siswa dan anak-anak antusias, ini bisa membangun minat baca mereka sehingga literasi di Majalaya semakin terbangun,” ujarnya.
Dosen mata kuliah community development Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung, Erna Herawati menilai kuatnya tenggang rasa di daerah tertentu didorong modal sosial yang kuat. Modal sosial adalah serangkaian norma dan nilai yang dimiliki bersama.
Jika modal sosial kuat, terlepas dari latar pendidikan dan penghasilan, kecenderungan warga untuk peduli terhadap kepentingan, kebutuhan, hingga masalah bersama pun meningkat. Semakin kuat, kian besar pula kemungkinan masyarakat melakukan aksi kolektif secara sukarela.
Erna mengimbau masyarakat untuk membangun dan memupuk modal sosial agar tercapai tepa selira yang tinggi. Ia menyebut kiat yang beragam, seperti interaksi dan komunikasi intens antarwarga yang membuat mereka saling mengenal lebih dekat.
”Cara itu menumbuhkan empati dan peduli. Di Sunda ada nilai silih asah, silih asih, silih asuh (saling belajar, saling menyayangi, saling mengasuh),” ucapnya.
Falsafah tersebut merupakan bibit modal sosial. Namun, pandangan hidup itu luntur di kota dan desa. Jika dipupuk, setiap warga akan menganggap sesamanya kerabat. Tentu saja, selanjutnya muncul empati saling bantu.