Gairah Artisan Tenun Sarung Donggala
Setelah sempat ”tenggelam”, sarung tenun dari Donggala, Sulawesi Tengah, menjadi buruan warga lokal dan luar daerah. Banyak pihak berharap hal itu akan mengembalikan kejayaan sarung legendaris.

Sauna (77), artisan tenun senior sarung Donggala, menenun di teras depan rumahnya di Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (10/2/2023).
Setelah sempat ”tenggelam”, sarung tenun dari Donggala, Sulawesi Tengah, menjadi buruan warga lokal dan luar daerah. Banyak pihak berharap hal itu akan mengembalikan kejayaan sarung legendaris itu.
Nama sarung Donggala amat terkenal, sampai tertulis di buku pelajaran ilmu pengetahuan sosial tingkat sekolah dasar. Disayangkan, pada akhir era 1980-an hingga tahun 1990-an, pamor sarung tersebut nyaris tak terdengar.
Penyebabnya, pemakai sarung Donggala banyak beralih ke tekstil pabrikan yang harganya jauh lebih murah dan punya banyak pilihan warna dan motif. Selain itu, kebiasaan berkain sarung Donggala menurun sebab sebagian perempuan memilih berbusana gamis yang praktis.
Warga suku Kaili yang mayoritas tinggal di Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, dan sekitarnyalah yang tetap setia memakainya karena berkait dengan adat, seperti pernikahan dan kematian. Pada setiap upacara adat, warga suku baik lelaki maupun perempuan harus berkain sarung Donggala dan berkemeja dari bahan kain sarung Donggala.
Warga Desa Towalesampai kini masih setia mengadakan upacara adat memandikan patung kecil berbahan emas bernama Bulava Mpongeo atau kucing yang mengeong. Tradisi menghormati peninggalan leluhur tersebut diadakan setiap 1 Muharam. Ratusan rakyat hingga pejabat selalu menghadiri tradisi itu.
Menurut Kepala Desa Towale Muhamad Subhan (47) yang ditemui Jumat (10/2/2023) di kantornya, warga suku Kaili juga wajib menutupkan sarung Donggala ke atas jenazah. Tradisi-tradisi itulah yang membuat kain sarung Donggala tetap bertahan di tengah gempuran persaingan dengan kain lain.
Sarung Donggala merupakan kain tenun dengan lebar 100-120 sentimeter dan panjang sekitar 2 meter. Berbahan dari benang katun atau sutra dengan berat sarung kira-kira 1,5 kilogram. Motif sarung bisa garis geometrid (khusus untuk sero, motif yang dibuat miring) dan aneka bunga, seperti mawar, kamboja, bunga trompet.
Ciri paling dikenali dari sarung tersebut, pemakaian benang emas pada motif yang ada pada setiap helai kain sarung dan adanya tumpal yang sangat dibutuhkan untuk pemakaian di acara adat. Subhan, yang warga suku Kaili dan warga asli Towale, tak bisa menjelaskan perihal pemakaian warna emas itu walau ibu dan neneknya turun-temurun menjadi artisan penenun.
Ia dan para penenun menyatakan faktor kelihatan mewah menjadi alasan pemilihan benang emas tersebut. ”Orang sini suka yang ada benang emas. Kebetulan juga orang suku Bugis pun demikian sehingga banyak memesan sarung Donggala. Mungkin karena membuat warna kain lebih cerah dan mencolok,” ujar Subhan.

Desainer Wignyo Rahadi (kiri) mengajari perempuan Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (10/2/2023), memintal benang yang benar. Program itu diadakan oleh Bank Indonesia Perwakilan Sulteng.
Kebangkitan sarung Donggala mulai terasa pada tahun 2022 ketika Pemerintah Kabupaten Donggala mewajibkan semua aparatur sipil negara di wilayahnya berkain sarung Donggala setiap hari Kamis. Dengan jumlah ASN sekitar 5.000 orang, kebutuhan sarung Donggala pun melesat, membuat perajin kewalahan memenuhi pesanan.
Aisyah (51), penenun di Towale, mengakui ada kenaikan permintaan kain sarung walau belum tinggi. Sementara Ruslina (43), Ketua Umum Penenun Gedokan Desa Towale, mengatakan, kebijakan itu membuat penenun makin bergairah. ”Saya mengalami tahun-tahun 1990an tak banyak pembeli sarung Donggala, tetapi sekarang kami kewalahan. Orang banyak pesan dengan warna tertentu untuk seragam ke kantor,” ujar ibu empat anak yang menenun sejak usia SD itu.
Penenun biasanya butuh waktu dua minggu untuk membuat sehelai sarung Donggala (terdiri dari dua kain sebab gedokan atau alat tenun tradisional hanya mampu menghasilkan kain selebar maksimal 60 cm sehingga butuh dua kain untuk membuat sehelai sarung). Dalam sebulan mereka mampu membuat dua sarung dengan upah rata-rata Rp 500.000 per sarung. Sementara yang menenun hanya sebagai pengisi waktu luang bisa membuat sehelai sarung dalam waktu sebulan.

Perempuan Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (10/2/2023), belajar menenun kain dengan alat tenun bukan mesin. Program itu diadakan oleh Bank Indonesia Perwakilan Sulteng.
Andalan
Bagi warga Towale yang mayoritas nelayan dengan penghasilan tak menentu karena sangat bergantung kepada angin untuk bisa melaut, kain tenun menjadi andalan bagi warga. Peran perempuan yang menenun di sela-sela mengurus rumah menjadi sangat penting. ”Satu bulan jika rajin, bisa membuat dua sarung. Jika punya pekerjaan, minimal satu sarung,” jelas Roslina.
Dari penjualan sarung, artisan penenun bisa mendapatkan uang Rp 500.000 hingga Rp 1 juta. Uang itu terutama untuk biaya sekolah anak. Roslina yang menjadi orangtua tunggal bisa menyekolahkan empat anaknya, salah satunya seorang sarjana ilmu komputer dari hasil tenun.

Salah satu contoh tumpal pada sarung Donggala yang dibuat dengan alat tenun gedokan (tradisional). Tumpal harus dipakai di bagian belakang tubuh oleh lelaki dan perempuan yang ikut dalam acara adat suku Kaili di Sulteng.
Melihat potensi ekonomi dan peran sarung Donggala bagi warga Donggala, Bank Indonesia Perwakilan Sulawesi Tengah membantu mengembangkan pembuatan sarung Donggala. Kepala Perwakilan BI Perwakilan Sulawesi Tengah Dwiyanto Cahyo Sumirat mengatakan, Desa Towale punya banyak potensi untuk menjadi desa wisata.
Selain punya sarung Donggala, wilayah itu juga punya pantai yang indah untuk berwisata dan acara adat memandikan patung emas. ”Saya mengharapkan potensi di Towale bisa dikemas menjadi satu paket dengan keberadaan bangunan kuno di bekas pelabuhan Donggala,” kata Dwiyanto, Jumat (10/2/2023).
Mengenai pengembangkan sarung Donggala, ia berpendapat, sarung Donggala hasil dari tenun gedokan harus tetap dipertahankan. Namun, agar tenun Donggala makin berkembang, BI memberikan pelajaran menenun dengan alat tenun bukan mesin (ATBM).
Pada Januari 2023, BI Perwakilan Sulteng menunjuk desainer Wignyo Rahadi yang juga pemilik tenun Gaya mengajari penenun Towale menggunakan lima ATBM yang khusus dibeli untuk warga. Selama 28 hari, Wignyo dan tim turun ke sana untuk mengajari 24 perempuan Towale mewarnai benang untuk ditenun secara benar, memintal benang sampai membuatnya menjadi sehelai kain. BI Perwakilan Sulteng juga membuatkan rumah tenun agar artisan penenun bisa menenun dan memajang karyanya.

Kain sarung Donggala karya penenun Desa Towale Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, yang menjadi binaan Bank Indonesia Perwakilan Sulteng
Wignyo sepakat dengan ide Dwiyanto, pembuatan kain tenun dengan ATBM tak akan menghilangkan sarung gedokan. ”Keduanya berjalan berdampingan. Sarung gedokan tetap berkembang, tetapi warga juga bisa membuat kain dari ATBM dengan motif baru hasil pengembangan mereka,” tuturnya. Untuk lebih ekonomis, Wignyo juga membuatkan alat pemintal benang berdinamo listrik untuk mempercepat pekerjaan. Pengajaran pencelupan warna benang diharapkan akan mengakhiri keluhan warna kain sarung yang sering luntur.
”Semua teknik yang kami ajarkan juga bisa untuk penenun gedokan sehingga menambah mutu kain. Sementara pemakaian ATBM untuk mempercepat pembuatan kain agar penenun membuat lebih banyak kain untuk menambah pendapatan,” kata Wignyo.
Pembelajaran dari BI Perwakilan Sulteng tersebut menggembirakan perempuan Towale. ”Saya ingin bisa dua-duanya. Ya gedokan, ya ATBM biar pintar,” ujar Kartini (51), ketua Penenun ATBM yang juga penenun gedogan. Hari-hari ini Rumah Tenun di atas kantor Desa Towale ramai oleh perempuan yang sedang belajar mengoperasikan ATBM.
Karya artisan penenun ATBM akan menambah pilihan bagi penyuka kain Donggala tanpa mengganggu keberadaan sarung khas Donggala.

Kain tenun Donggala karya penenun Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, yang baru belajar dari Rumah Tenun Gaya milik desainer Wignyo Rahadi. Program itu dilakukan oleh Bank Indonesia Perwakilan Sulteng tahun 2023.