Menonton Film, Lalu Menemukan Diri
Film remaja seolah tak ada habisnya. Tema yang diangkat bermacam ragam dan disesuaikan perkembangan zamannya.
Penonton film cerita panjang dari kalangan muda potensinya besar. Tetapi baru berbondong-bondong menonton jika cerita film yang disajikan "nyambung" dengan apa yang mereka alami dan rasakan. Saat itulah mereka menmukan diri dalam film.
“Siapa di sini yang pernah jatuh cinta?” tanya Yesaya Abraham, pemeran tokoh utama Galih Rakasiwi dalam film Gita Cinta dari SMA saat menyapa khalayak dalam jumpa penggemar di bioskop CGV Grand Indonesia, Jakarta, Senin (6/2/2023).
Pertanyaan Yesaya disambut teriakan gembira khalayak yang sebagian adalah remaja. Sebagian dari mereka masih berseragam sekolah. Mereka berusaha mendekat, memotret idolanya, atau berswafoto di tengah keriuhan.
Antusiasme serupa juga terlihat dalam acara serupa yang digelar Starvision yang memproduksi Gita Cinta dari SMA di beberapa bioskop jaringan XXI di Jakarta, Banten, dan Bandung.
Gita Cinta dari SMA produksi Starvision ini merupakan versi remake dari film berjudul sama yang diproduksi pada 1979. Film yang diadaptasi dari novel remaja populer berjudul sama karya Eddy D Iskandar ini bercerita tentang kisah cinta sepasang remaja yang ditentang orangtua karena perbedaan status sosial dan ekonomi.
Pada versi lawasnya, para tokoh utama film diperankan Rano Karno dan Yessy Gusman, dua idola remaja kala itu. Rano memerankan Galih Rakasiwi dan Yessy sebagai Ratna Suminar. Dalam versi remake, posisi Rano dan Yessy digantikan dua aktor muda, Yesaya Abraham dan Prilly Latuconsina.
Gita Cinta dari SMA merupakan film laris pada pengujung 1979. Situs www.filmindonesia.or.id mencatat, film ini menyedot 162.050 penonton. Sebuah perolehan yang fantastis ketika itu. Film ini menjadi ikon industri budaya pop era 1970-an. Sebagaimana pada versi pertama, Gita Cinta dari SMA versi kekinian menyasar penonton muda.
Produser Chand Parwez Servia yang memproduksi Gita Cinta dari SMA versi remake melihat film bersegmen remaja di tanah air punya potensi sangat besar. Tetapi, bukan perkara mudah untuk bisa menjangkau mereka. Apalagi sampai bisa mengajak mereka berbondong-bondong datang ke bioskop dan menonton sebuah film. Perlu lebih dari sekadar menghadirkan film dengan plot cerita yang menarik, penggarapan yang bagus, dan bintang film yang digemari.
Segmen penonton satu ini, lanjut Chand, terbilang tricky dan selektif. "Biasanya mereka mau menonton satu film setelah viral terlebih dulu (di media sosial). Akan tetapi film bagus dan viral juga tak lantas menjamin orang mau datang ke bioskop. Anak-anak remaja ini bisa saja sabar menunggu film bagus tadi diputar streaming,” tambahnya.
Secara umum, lanjut Chand, penonton, termasuk remaja, senang dengan film yang menghibur, ceritanya unik, dan relevan dengan problematika kehidupan masyarakat saat ini.
Bergerak
Isu-isu terkait remaja dan anak muda yang banyak disorot oleh pembuat film dalam beberapa tahun terakhir ini, antara lain soal hubungan yang beracun, kesehatan mental, kekerasan seksual, seksualitas, dan perundungan di dunia maya.
Menurut pengamat film Hikmat Darmawan, sebagian isu-isu di atas sebenarnya sudah muncul sejak lama di layar lebar. Bedanya, saat ini pembuat film lebih detail mengulasnya.
Soal keterhubungan cerita film dengan perasaan kolektif anak muda kini, rupanya sangat penting bagi penonton muda. Salsabila Pratiwi (20), mahasiswa Ilmu Komunikasi Bina Sarana Informatika, menuturkan, film bertema remaja kisahnya harus nyambung dengan apa yang dialami remaja dalam kehidupan sehari-hari. Dengan membuat para remaja tergerak, baik secara emosi maupun ekspresi.
“Aku tuh suka kalau nonton film yang bisa mengekspresikan apa yang aku rasakan. Kok, kayak gue jadi merasa relate dengan apa yang dialami tokohnya, ya?” ujar Sabil, nama panggilannya.
Perasaan kurang lebih sama juga dialami Catharina Ayu (23), karyawan salah satu perusahaan lokapasar lokal. Dia menggemari film-film nasional bergenre drama yang semakin banyak diproduksi belakangan ini. Bagi Ayu film sepertjuga bisa jadi sarana berefleksi bagi para penontonnya. Dia bahkan mengalaminya sendiri ketika menonton film Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang beberapa waktu lalu.
“Aku langsung kontak kakakku habis nonton. Minta maaf kalau aku jarang pulang. Galau langsung juga setelah menonton,” ujar Ayu, yang kakak serta orang tuanya tinggal jauh di Surabaya, Jawa Timur.
Idola
Ketertarikannya pada sebuah film, lanjut Ayu, juga bisa muncul dari kehadiran bintang-bintang film kesayangan dalam film itu. Ia mengaku termasuk penonton yang mempertimbangkan terlebih dahulu faktor siapa sutradara serta aktornya sebelum dia memutuskan menonton sebuah film.
Hal sama juga dilakukan Asti Nurul W (19), mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, yang sebelumnya menyempatkan diri menonton film Mencuri Raden Saleh. Dia menonton film itu lantaran salah satu pemeran utamanya adalah bintang film idola, Iqbaal Ramadhan.
Asti sangat menyukai film-film bertema sejarah atau terkait tokoh-tokoh besar. walakin, dia senang melihat begitu banyak pilihan isu yang disodorkan pembuat film belakangan ini, terutama yang terkait isu anak muda.
Beberapa film yang pernah Asti tonton membahas isu-isu yang menurutnya sangat relevan dengan kondisi remaja yang rentan dan tengah mencari jati dirinya. Isu yang ia maksud antara lain kesehatan mental, seksualitas dan kesehatan reproduksi, upaya mencintai diri sendiri (self love).
Dia mencontohkan film Dua Garis Biru, yang beberapa tahun lalu ia tonton bersama sang ibu. Kisah film itu, menurut Asti, penting sebagai edukasi soal seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi remaja seperti dirinya.
Baru-baru ini Asti menonton film Dear David produksi orisinal Palari Films bekerja sama dengan platform pemutar film streaming berbayar global (OTT) Netflix. Dia merasa ada sejumlah adegan yang menurutnya terlalu risih untuk ditonton bersama orang lain, apalagi bersama orangtua. Oleh karena itu, ia menonton film itu sendirian.
Secara garis besar Dear David berkisah tentang Laras (Shenina Cinnamon), pelajar berprestasi penerima beasiswa, yang diam-diam punya hasrat seksual terpendam pada temannya, David (Emir Mahira). Hasrat itu dituangkan lewat tulisan berisi fantasi sensual berlatar kisah fiksi, yang sayangnya bocor dan menjadi viral sehingga membuat heboh di sekolah bahkan sampai komunitas gereja.
Walau bertujuan baik, Asti berharap para pembuat film yang mengangkat isu seksualitas remaja, menggarap dan mengemas filmnya secara hati-hati.
Dia mengingatkan para penontonnya banyak anak muda bahkan remaja. "Mereka masih dalam tahap mencari jati diri. Khawatirnya malah jadi mudah terpengaruh dan hanya meniru yang negatifnya. Jadi jangan bikin film yang sebebas-bebasnya atau terlalu liar juga sih,” ujar Asti.
Di OTT seperti Netflix, meskipun sudah ada batasan usia untuk film tertentu, namun siapa saja tetap bebas mengaksesnya. Perlu pendampingan atau pengwasan bagi pengguna akun yang belum cukup umur.
Penonton muda juga tertarik dengan film-film yang dibuat untuk menghibur, tanpa dibebani pesan atau misi tertentu. Irdzi Nasution (16), siswa SMA asal Medan, Sumatera Utara, mengatakan, selama ini ia menganggap aktivitas menonton film sebagai cara untuk melepas penat. Oleh karena itu, dia tidak terlalu suka dengan film-film bertema serius apalagi untuk ditonton bersama teman-temannya di bioskop.
“Aduh, kalau aku males nonton yang mikir atau yang temanya berat banget. Hidup ini sudah ribet. Ha-ha-ha. Jadi, pilihannya kalau enggak horor ya nonton komedi gitu. Film-film begitu asyik ditonton rame-rame,” ujarnya.
Lagi-lagi deretan paparan doi atas menguatkan bahwa pembuat film perlu cerdas membidik penonton. Entah itu sekadar untuk melepas penat atau bahkan mendapat pencerahan atas masalah hidup, film menarik ditonton jika memang nyambung dengan kehidupan dan problematika penonton. Mereka menonton karena menemukan diri dalam film.