Layar Tancap Menyintasi Zaman
Layar sobek, ban bocor, hingga mobil tak bisa masuk sampai pelosok hanya sebagian onak dan duri yang harus dilalui peyedia layar tancap. Belum lagi, angin kencang disertai hujan deras yang menyebabkan bambu-bambu patah.
Layar tancap melintasi masa dengan berkelit dari kemajuan teknologi digital yang menggilas, berikut pesatnya pertumbuhan bioskop. Di ruang-ruang publik suburban, hiburan rakyat itu masih dikerumuni warga, termasuk generasi muda yang tetap menggemarinya.
Gudang dengan luas sekitar 10 meter persegi itu disesaki gulungan-gulungan film yang menumpuk. Judul-judul film lawas seperti Makelar Kodok,Kanan Kiri Oke, hingga film India Main Khiladi Tu Anari tercantum pada lembar karton di samping timbunan film seluloid berformat 35 milimeter (mm) tersebut.
Tempat penyimpanan itu menyatu dengan kediaman Nur Iyan (50) di Kelurahan Pondok Benda, Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. ”Saya punya sekitar 450 judul. Film Mandarin dan Barat juga ada. Kalau film nasionalnya, 195 judul,” katanya dengan bangga dan senyum semringah, Rabu (18/1/2023).
Ia tetap setia merawat film dan proyektornya yang bertahan dari gerusan modernitas. Proyektor buatan tahun 1992 itu masih berformat kaku dengan kotak-kotak, kabel sebesar selang, dan kaki tripodnya sudah sedikit mengelupas, bahkan berkarat.
Kantong-kantong populasi Betawi di Tangerang Selatan, berikut konsistensi melanjutkan kebiasaan leluhurnya, telah menyelamatkan layar tancap dari kepunahan. Mereka bersiteguh menanggap hiburan yang biasa disebut misbar alias gerimis bubar tersebut.
”Ada yang kawinan, khitanan, tujuh bulanan, arisan, sampai ulang tahun. Layar tancap dari dulu hiburan yang bisa dinikmati semua kalangan,” katanya. Tak sedikit pengorder yang hendak mengenyam nostalgia. Mereka mantu kemudian meminta anak-anaknya untuk menggelar layar tancap.
Terpaan sinema-sinema mutakhir tak menyurutkan pula minat generasi muda melayangkan panggilan. Di ruang terbuka, mereka bisa bebas memekik saat sang jagoan mengempaskan lawannya, terbahak-bahak menyaksikan kenaasan pelakon bertampang konyol, atau menyoraki kedatangan musuh.
Anak muda usia 25 tahunan waktu nikah sajademen ngundang layar tancap. Teriak-teriak nonton film silat. Di bioskop, bisa diomeli.
”Masih suka begitu. Anak muda usia 25 tahunan waktu nikah saja demen ngundang layar tancap. Teriak-teriak nonton film silat. Di bioskop, bisa diomeli,” katanya sambil tertawa. Nur biasanya menyiapkan sekitar lima film yang diputar hingga tengah malam.
Ia menetapkan tarif tergantung jarak. Jika tujuannya masih di Tangerang Selatan, apalagi dekat, Nur dibayar mulai Rp 1,5 juta. ”Di Jakarta, tarifnya bisa Rp 4 juta sampai 5 juta. Mahasiswa kadang-kadang manggil layar tancap juga buat studi atau habis skripsinya kelar,” ujarnya.
Soal perawatan, Nur sebenarnya tergolong nyeleneh. Ia dengan santai mengoleskan minyak angin saja pada filmnya. Gudang pun tak ditaburi kapur barus. Malah, kabel, cakram kompak, tambang, selotip, kuas, layangan, sampai tabung gas tampak berserakan.
Saat mengecek film, Nur terlihat menerawangnya untuk menelaah kejernihannya. Ia memutar-mutar gulungan fiber sekaligus mengamati pita untuk memutar suara. ”Filmnya bukan plastik. Enggak bakal putus kecuali digunting,” ujarnya sembari menyentak lembaran film berulang kali dengan cuek.
Nur juga sedang memastikan rol-rolnya sudah digulung lagi setelah diputar. Jika tidak, film tersebut malah berjalan mundur. ”Setiap rol berdurasi sekitar 20 menit. Selesai digulung paling dua menit. Jadi, setiap film dipisah-pisah jadi minimal empat rol,” katanya.
Giliran proyektor dihidupkan. Lampu menyala seiring rol yang terus berputar ditingkahi getaran dan bisingnya yang sangat khas untuk menyinari tembok dengan citra bergerak. Adegan Laskar Pelangi lantas bergonta-ganti di tembok yang bisa ditangkap mata dengan nyaman.
Baca juga : ”Sakra”, Karya Donnie Yen yang Buru-buru
Layar sobek
Minat Nur menggeluti layar tancap disulut kegandrungannya sejak kecil. Berjalan kaki hingga 10 kilometer (km) pun ia lakoni asal bisa menonton film gratis. ”Saya lalu nyopir angkot mulai tahun 1991. Dasarnya hobi, saya beli proyektor tahun 2003,” katanya.
Onak dan duri sudah biasa dilalui Nur. Layar sobek, ban bocor, dan mobil tak bisa masuk sampai pelosok pernah ia alami. ”Peti harus dibawa pakai sepeda motor, padahal beratnya 50 kilogram. Terus, angin kencang dan hujan deras sampai bambu patah. Saya selalu bawa cadangan layar dan bambu,” ujarnya.
Pada hari yang sama, anggota LCD Tangsel, Pandi (42), sedang memperingati ulang tahun pertama organisasinya. Ia adalah salah satu panitia festival layar tancap di Lapangan Babakan, Kelapa Dua, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan. Usia organisasi itu masih sependek keterlibatannya dalam bisnis layar tancap. Semula, Pandi adalah penyedia jasa peralatan hajatan.
”Sejak 2019, saya menyewakan tenda atau bikin dekorasi pelaminan untuk hajatan. Baru pada 2020 saya sediain proyektor. Soalnya, banyak yang nanya bisa sepaket sama layar tancep, enggak,” kata penggemar film India ini. Sekarang, bisnis hajatan Pandi sudah lengkap: ada penyewaan tenda, pemutaran film, dan dangdut organ tunggal.
”Kalau mau bertahan di usaha hajatan, ya, harus lengkap. Kan, butuh tenda. Hiburannya yang laku layar tancap, sama dangdutan,” katanya. Untuk paket lengkap—termasuk tenda berukuran 8 meter x 6 meter, layar tancap, dekorasi pelaminan, dan organ tunggal—Pandi mematok harga minimal Rp 25 juta per malam.
Senang punya proyektor karena bisa mengenalkan film-film lama ke anak-anak muda.
Pandi membeli proyektor analog seharga Rp 20 juta dari bekas bioskop di Parigi, Serang, Banten, pada 2020. Film-filmnya perlahan dikumpulkan. Kalau ada permintaan film yang tak dimiliki, Pandi bisa menyewa ke anggota komunitas layar tancap lain.
”Yang punya hajat bisa milih mau diputerin film apa, biasanya harga sewanya saya naikin. Kalau judul filmnya dari saya, sewanya Rp 700.000 per layar. Saya bawain paling tiga judul sudah sepi yang nonton. Film India aja bisa sampai tiga jam,” kata warga Kelurahan Buaran, Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan, ini.
Meski hanya memiliki proyektor 35 mm, Pandi membuka kemungkinan lain. Ia bisa mencarikan proyektor 16 mm kalau ruang tontonnya kecil, atau mencarikan proyektor LCD jika pengundang mau diputarkan film digital.
Hampir setiap pekan, Pandi menerima order. Selama Januari 2023 saja, ada dua pernikahan yang dilengkapi layar tancap. Pengundangnya masih di Tangerang Selatan. Di luar hajatan, proyektor milik Pandi jarang padam. Acara kumpul-kumpul nonton bola atau komunitas sinema kampus kerap disambangi.
”Senang punya proyektor karena bisa mengenalkan film-film lama ke anak-anak muda. Namanya hajatan, apalagi di kampung, yang dateng macem-macem. Ada yang tua, yang muda juga banyak,” ujarnya. Ia yakin, selama masih ada hajatan, layar tancap masih akan dipancangkan.
Lihat juga : Festival Layar Tancap 21 Layar
Jbeng (45), demikian sapaan penyelenggara layar tancap yang enggan menyebut nama aslinya, menerapkan tarif mulai Rp 500.000 per order. ”Kalau tujuannya beda kecamatan dengan saya, tambah ongkos transpor,” ujar warga Desa Telagamurni, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, itu.
Jumlah film yang diputar bervariasi, namun biasanya dimulai pukul 20.00 hingga hampir subuh. Ia punya koleksi film digital sekitar 2.000 judul. ”Insya Allah, saya optimistis layar tancap selalu digemari masyarakat. Saya senang karena mau membangkitkan lagi hiburan rakyat seperti dulu,” katanya.
Sejak penjajahan
Layar tancap ditelusuri dari sejarahnya sudah menggeliat sejak masa penjajahan. Berdasarkan buku Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 yang ditulis Aiko Kurasawa dan diterbitkan Komunitas Bambu tahun 2015, saat Perang Dunia II berkecamuk saja, bioskop keliling sudah diselenggarakan sejak Agustus 1942.
Film menampilkan antara lain persahabatan Jepang dengan bangsa-bangsa Asia, patriotisme, dan operasi militer. Salah satu media propaganda terpenting itu menawarkan hiburan yang jarang saat kehidupan penuh penderitaan. Penduduk desa rela berjalan kaki beberapa kilometer meski lelah dan lapar.
Ketua Persatuan Layar Tancap Indonesia (PLTI) Muhammad Salam memandang layar tancap mampu menyintasi zaman karena hiburan yang terjangkau. ”Enggak makan banyak biaya. Kalau melihat media sosial PLTI yang didirikan sejak 5 Desember 2013, anggotanya sudah sekitar 20.000 orang,” ujarnya.
Ibhet, demikian sapaannya, mengungkapkan, film seluloid yang tak bertambah lagi. Media itu tak bisa dikopi dengan produksi terakhir tahun 2011. ”Setelah itu, film dibuat digital. Jumlah film seluloid kurang tahu juga, tapi kami berjalan saja untuk melestarikan layar tancap,” katanya.