Tak hanya musik dan film, budaya pop Korea juga makin mapan. Kini, mode milik Korea pun telah berani berbicara di kancah global.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·4 menit baca
”Gayanya Korea banget”. Ungkapan yang kerap muncul setiap kali melihat gaya minimalis nan unik dengan kombinasi aneka warna pastel yang menggemaskan. Padahal, mode Korea tak melulu imut dan semarak seperti ”cewek kue”.
Penampilan dua jenama asal Korea, Doucan dan Saint Ego, di Jakarta Fashion Week (JFW), akhir Oktober 2022, menepikan anggapan mode Korea identik dengan desain yang ”unyu@. Seperti katalog musiknya yang berasimilasi dengan budaya pop global, industri modenya juga bertransformasi.
Melalui lembaga ekonomi kreatif Korea Selatan, Korea Creative Content Agency (KOCCA), yang bekerja sama dengan JFW, Doucan dan Saint Ego menyuguhkan 18 tampilan pada koleksinya masing-masing. Kerja sama ini juga yang membawa jenama dari Indonesia, SOE, menapaki panggung Seoul Fashion KODE.
Kali ini, Doucan, milik desainer Choi Chung-Hoon, membawa koleksinya yang bertajuk ”Underwater Garden” atau taman bawah air yang indah dan misterius. Pada karyanya ini, Chung-Hoon masih bermain dengan motif floral dedaunan dan bunga, tetapi dikombinasikan dengan motif yang sekilas mirip gelombang ombak. ”Koleksi ini memang terinspirasi dari gerakan alunan ombak yang bergoyang-goyang dan disertai dengan terumbu karang yang berwarna-warni serta tumbuhan laut lainnya,” tutur Choi.
Siluetnya pun dibuat ringan melambai seperti dedaunan yang segar seusai hujan dan air yang mengalir. Ini sejalan dengan koleksi yang memang diluncurkannya untuk musim semi/musim panas pada 2023.
Sesuai pesan yang diusung Doucan, yakni mengenai perempuan tentang bahagia dan kecantikan, dominasi karyanya pun berupa gaun malam yang anggun dari gaun sepanjang lutut hingga sepanjang badan. Dari yang dibiarkan menjuntai hingga bertumpuk pada bagian bawah.
Selain gaun malam, Choi yang membesut koleksi ini selama enam bulan juga menawarkan set atasan crop dengan detail serut dan tangan gelembung dipadu bawahan berupa rok lebar bersiluet A yang ringan. Nyaman dikenakan ketika berlibur atau menikmati pesta pinggir pantai.
Doucan yang berdiri sejak 2011 ini memang tengah membawa nama Korea makin dikenal dunia lewat mode. Terlebih lagi Doucan juga telah menjejak banyak panggung mode dunia. Salah satunya Pekan Mode Paris.
”Makna dari setiap koleksi, termasuk yang saat ini, adalah harapan dan optimisme. Dari karya-karya yang ada, ingin menyampaikan pesan kepada dunia, terutama perempuan, bahwa kamu bisa melakukan apa saja dan bahagia,” ujar Choi Chung-hoon.
Meski pilihan warna gaunnya sebagian besar adalah hitam dan putih, Choi memanfaatkan motif terumbu karang untuk memberi warna cerah seperti merah muda, kuning, dan hijau membaur. Kesan minimalis khas Korea pun tetap dipertahankan. Hanya, titik berat kali ini adalah keanggunan, bukan gemas dan imut yang selalu diidentikkan dengan mode Korea.
Doucan kian menegaskan transformasi mode Korea tanpa meninggalkan kekhasan. Merujuk pada sejarah industri mode di Korea Selatan, kemunculan warna-warni dalam khazanah busana di Negeri Gingseng bukan tanpa sebab. Hanbok, yang merupakan pakaian tradisional Korea, menjadi salah satu pegangan. Hanbok sejak lama memang selalu memadukan warna cerah.
Keberagaman
Selain Doucan, jenama Saint Ego yang dijalankan Kim Young Hoo mengantarkan pesan berbeda lewat koleksi yang diusung di JFW kali ini, yakni ”My Universe”.
”Sebagai orang yang bekerja dengan mengandalkan kreativitas, saya ingin mengekspresikan dunia saya sendiri di antara jenis dunia yang ada. Saya menyebutnya ’Diversity’. Ini menjadi alasan mengapa saya menamai koleksi ini dengan ’My Universe’,” ujar Kim.
Jenama yang sejatinya diperuntukkan bagi pria ini nyatanya juga membuka peluang yang tertarik untuk mengenakan. Sejak berdiri pada 2018, Kim memang mengembangkan jenamanya berdasarkan kepercayaan bahwa setiap individu memiliki ego masing-masing yang harus dihargai oleh orang lain.
Inspirasi koleksi ”My Universe” yang dibesutnya ini berasal dari alam semesta dan isu keberagaman. Di tempatnya tinggal, isu keberagaman masih kerap disuarakan. Untuk itu, ini menjadi kesempatan untuk ikut mengamplifikasinya bahkan ke luar dari Korea melalui mode. Koleksi yang disuguhkan menghadirkan kesan surealis. Beberapa bahkan rasanya tidak terpikirkan. Distorsi mode konvensional.
Presentasi karya dibuat menarik, yakni wajah para model yang berjalan digambar angka yang merupakan analogi dari waktu. Ini juga menunjukkan bahwa karyanya bisa digunakan kapan pun, dari bekerja hingga untuk bersosialisasi.
”Menurut saya, yang membuat brand Saint Ego berbeda dengan lini streetwear lainnya adalah konsep dan pola pikir saya sebagai desainer,” ujar Kim.
Ia meyakini setiap orang memiliki gaya dan keunikannya sendiri. Begitu pula dengan desainer ketika mulai membuat karyanya. Untuk itu, ia tak ingin ada batasan yang mengekangnya dalam berkarya. Ia menyadari karyanya tak begitu saja mudah diterima, tapi pada akhirnya menemukan pasarnya.
Koleksi kali ini, Kim banyak menawarkan mantel dan jaket panjang berbahan kulit dengan pilihan warna hitam, merah, dan putih. Ada juga kaus dan celana kasual yang nyaman dikenakan kapan pun.
Kehadiran Doucan dan Saint Ego di kancah dunia mode ini mengukuhkan gelombang Korea kian merangsek budaya pop sejumlah negara. Dukungan penuh dari pemerintah negara terhadap perkembangan gelombang Korea ini membantu para pekerja kreatifnya terus berkarya.
Gelombang Korea ini juga menyadarkan bahwa tetap menjaga budaya lokal untuk menembus global bisa menjadi jawaban.