Anak Muda, Generasi Penerus Wastra Nusantara
Siapa bilang kain nusantara hanya untuk kondangan? Anak muda dengan kreativitasnya kini menyulap kain nusantara menjadi busana keseharian yang trendi.
Anak muda dan orang dewasa, pada dasarnya memiliki selera mode yang cukup jauh berbeda. Tampilan visual, estetika, kecocokan warna, menjadi pertimbangan utama generasi muda Indonesia. Hal-hal itu juga berlaku pada pilihan wastra atau kain tradisional Nusantara yang sarat akan makna budaya.
Setiap wastra memiliki ciri khas masing-masing yang dapat dibedakan dari simbol, warna, ukuran dan material yang digunakan. Kekayaan wastra Indonesia tumbuh dari keragaman situasi serta ruang hidup setiap daerah.
Masa depan wastra nusantara, kini bergantung pada generasi muda untuk melanjutkannya. Wastra perlu adaptasi dengan arus perkembangan zaman yang sangat cepat. Sentuhan kecil dari selera generasi muda mampu mewujudkan mimpi wastra sebagai produk lokal untuk global.
”Anak muda Indonesia suka dengan wastra bermotif minimalis, geometris, elegan, dan menunjukkan kesan modern. Hal ini dipengaruhi arus informasi yang masif akibat perkembangan teknologi,” ujar Ali Charisma selaku Ketua Nasional Indonesian Fashion Chamber (IFC) saat dihubungi di Jakarta, Senin (19/12/2022).
Wastra sebagai kain yang sarat akan makna terlalu berat tipe etniknya bagi generasi muda. Hal ini dapat diakali dengan desain yang lebih sederhana dan sporty–bukan untuk olahraga, melainkan pakaian untuk mobilitas yang aktif.
Dari segi visual perlu memanjakan mata sehingga desain atraktif menjadi kunci utama. Untuk tema dapat memilih motif wastra yang dipadukan dengan gaya hidup urban. Warna monokrom, senada, ataupun multicolor yang saling bertabrakan merupakan pilihan terbaik untuk menarik generasi muda.
Generasi muda mulai menunjukkan ekspresi ”Ini gue loh”, wujud kebanggaan mereka mengenakan motif asli dan lokal Indonesia.
Motif-motif lokal pada wastra, menurut Ali, dapat diterapkan menjadi inspirasi bagi generasi muda memilih moda pakaian. ”Motif wastra digunakan pada kaos, kemeja, dan pakaian lainnya, akan sangat cocok dengan karakter generasi muda saat ini,” ucapnya.
Pada Natal 2022 dan Tahun Baru 2023 merupakan momen motif wastra berwarna putih, emas, merah, dan hijau menguasai pasar. Pakaian atas bisa kasual tetapi motif bagian bawah dapat berupa batik. Untuk gayanya sesuai dengan kondisi wilayah dan preferensi personal.
Baca juga: Pemahaman Publik Kunci Pelestarian Wastra
Wilayah perkotaan cocok menggunakan tema street fashion ataupun urban lifestyle dengan desain simpel, minimalis, dan modern. Wilayah yang dekat dengan pantai dapat memakai busana santai agar kulit bernafas lega, warna terang, dan motif wastra yang ringan seperti geometri.
Khusus perayaan natal, tenun songket berwarna emas merupakan pilihan tepat. Wastra jenis itu menunjukkan sifat glamor, mewah, dan elegan sehingga indah dipandang mata.
Dominasi
Batik masih menjadi wastra yang mendominasi di Indonesia. Motif geometri pada batik Nusantara berhasil menarik minat generasi muda untuk mengenakannya. Batik menyediakan motif-motif yang lebih berani dan ekspresif serta lebih banyak dijual di pasaran.
Sejak 2009, batik ditetapkan sebagai warisan budaya dunia tak benda dari Indonesia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Batik juga berkembang sebagai mode yang lebih adaptif menyesuaikan kebutuhan generasi muda seperti kemeja, pakaian luar, kaos, celana, dan lainnya.
Meskipun demikian, adaptasi batik yang masif dapat berdampak pada penurunan maknanya. Akulturasi motif perlu terlaksana secara hati-hati tanpa perlu menurunkan makna awal kelahiran batik.
Pada wastra lainnya seperti kain Sumba, memiliki keistimewaan pada benang yang digunakan. Sebagian kain tenunnya terbuat dari benang kapas dari tanaman liar yang tidak dibudidayakan di Sumba. Oleh karena itu, penenun perlu bersabar menunggu hingga hasil panen kapas cukup. Untuk memenuhi jumlah kapas dibutuhkan dapat menunggu selama dua tahun (Kompas.id, 2/12/2022).
Di era modern saat ini, kata Ali, perpaduan motif antaretnik sangat mungkin dilakukan untuk mendobrak gaya wastra nusantara. Teknologi digital dalam bidang desain dapat mempercepat pemanduan dan proses eksperimen desain. Mencampurkan batik dan tenun sebagai suatu kesatuan yang ciamik baik segi visual maupun makna, merupakan keniscayaan.
Ali mengatakan ia pernah melakukan paduan antaretnik dalam desain busana. Walakin, campuran antaretnik membutuhkan keterkaitan baik dari warna, motif, makna maupun nilai-nilai estetika dalam proses penyatuannya. ”Cukup sulit memang untuk dilakukan, tetapi akan sangat menarik ketika berhasil,” tuturnya.
Prospek wastra Nusantara masih luas dan terbuka lebar untuk berkembang. Seluruh masyarakat baik perkotaan maupun pedesaan memiliki peran masing-masing untuk melestarikannya. Khusus generasi muda, mereka merupakan ujung tombak masa depan wastra Nusantara.
Selain itu, paduan gaya busana mulai dari atasan, bawahan, dan luaran dengan motif wastra juga dapat dikombinasikan. Seperti yang ditunjukkan model-model pada pembukaan Spotlight Indonesia dengan tema ”Celebrating Diversity” di Pos Bloc, Jakarta, Kamis (1/12/2022). Acara tersebut merayakan keragaman budaya dengan menampilkan kekayaan wastra nusantara yang dikemas dalam balutan kontemporer dan tren terkini.
Selera mode
Wastra masih menjadi pilihan mode busana sejumlah anak muda. Tidak mengenakan wastra dari ujung kepala hingga ujung kaki, melainkan paduan wastra dengan pakaian kekinian.
Alfa Aditya (26) contohnya, ia mencari atasan bermotif wastra di sebuah Pusat Perbelanjaan di Jakarta untuk dikenakannya dalam perayaan natal nanti. ”Gabungan motif kalau bisa, khususnya bagian kerah dan lengan yang memiliki corak berbeda,” katanya. Cukup berbeda memang, tetapi ia berencana tampil berani dengan gaya tersebut.
Baca juga: Wastra Nusantara Menjaga Ingatan Kehidupan Masyarakat
Entah mengapa bagi anak muda, mengenakan motif wastra dipandang mereka sebagai anti mainstream atau melawan arus. Hal itu merupakan daya tarik sendiri bagi mereka. Warga DI Yogyakarta, Okmalisda Imania (23), sejak duduk di bangku SMA telah menyukai wastra.
Baik luaran, kaos, kemeja, maupun celana dengan beragam motif wastra tertata rapi di lemarinya. Penggunaannya disesuaikan dengan keperluan, misalnya berkumpul dengan temannya di kafe, ia mengenakan luaran dengan motif batik berwarna hitam putih yang dipadukan dengan kaos santai putih serta celana polos hitam.
Perancang busana, Samuel Wattimena memandang tren ini lumrah di kalangan generasi muda. Fenomena ini harus disikapi secara positif sebagai bentuk pelestarian wastra Nusantara. Generasi muda mulai menunjukkan ekspresi ”Ini gue loh”, wujud kebanggaan mereka mengenakan motif asli dan lokal Indonesia.
Adaptasi wastra dengan gaya berpakaian modern, pada dasarnya tidak mengurangi makna dari motifnya. Wastra itu sendiri juga lahir dari akulturasi budaya antardaerah yang akan terus berkembang menyesuaikan zaman. Terlebih saat ini teknologi dan infrastruktur semakin membuka lebar akses wastra Nusantara dengan dunia global.
Akulturasi budaya menciptakan identitas baru dari suatu wastra. Oleh karena itu, memandang bahwa nanti makna wastra akan tereduksi akibat dikenakan bebas merupakan pandangan yang cukup keliru.
Saat ini, hanbok yang merupakan pakaian tradisional Korea Selatan mulai banyak diproduksi dan dikenakan generasi muda. Di Indonesia, paduan hanbok dengan motif wastra mampu menyentuh pasar-pasar yang diminati anak muda. Hal ini perlu dipahami sebagai bentuk perkembangan wastra Nusantara.
Baca juga: Perlu Terus Sosialisasi Wastra untuk Busana Harian