Nada Kebersamaan dari Desa
Bagi Teguh Cahyono, perayaan Natal dan Tahun Baru bersama kerabat dan kawan beda keyakinan menjadi cara mengungkapkan rasa syukur atas berkat Tuhan di sepanjang tahun.
Toleransi tumbuh asri di beberapa desa di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi Utara. Sembari bernyanyi dan menari, mereka mengukuhkan persaudaraan, seperti tecermin saat perayaan Natal. Harmoni terasa di sana.
Sebanyak 20-an warga Sidorejo, Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Minggu (11/12/2022) malam, berlatih menyanyi lagu berjudul ”Ojo Dibanding-bandingke” yang dipopulerkan Farel. Bagian tertentu mereka ubah dengan lirik terkait Natal. ”Ini latihan untuk perayaan Natal kelompok,” kata Aprilia Ike Kristanti (33), peserta latihan menyanyi.
Tiap perayaan Natal yang diadakan umat Gereja Kristen Jawi Wetan Desa Sidorejo, tak hanya umat Kristiani yang diundang, tetapi juga warga Muslim. Menurut Aprilia dan Teguh Cahyono (57), warga Muslim di desa dengan penduduk mayoritas Nasrani itu selalu memenuhi undangan itu. ”Di sini, perayaan Natal menjadi malam menyenangkan,” kata Teguh.
Kegembiraan berlanjut seminggu kemudian. Pada setiap 1 Januari, semua warga desa saling kunjung dan mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru kepada orang tua dan tetangga yang merayakannya. Seharian itu mereka menerima kerabat, kawan, sampai rekanan bisnis. ”Kawan sekolah saya yang Muslim dari sekitar desa sini maupun dari Surabaya, Malang, datang,” ujar Teguh.
Ruang tamu yang semula diisi dua setel kursi dan meja tamu disulap menjadi tempat pertemuan dengan beralas tikar. Mereka mengobrol, bercanda, makan, dan menyanyi bareng. ”Selalu ada gitar biar bisa ramai-ramai nyanyi,” imbuhnya.
Bagi Teguh, perayaan Natal dan Tahun Baru bersama kerabat dan kawan beda keyakinan menjadi cara mengungkapkan rasa syukur atas berkat Tuhan di sepanjang tahun.
Pendeta GKJW Sidorejo Dwi Cahyono (41), yang sudah bertugas enam tahun di sana, menyaksikan suasana kerukunan antarwarga yang jarang ia temui di tempat lain. Hal yang sama juga terasa saat Ramadhan. Pihak gereja menyediakan hidangan takjil bagi warga Muslim. Ketika Lebaran, warga Kristiani mengunjungi rumah warga Muslim untuk bersama merayakan Idul Fitri.
”Kuncinya mungkin karena antar-umat beda keyakinan sama-sama saling menghargai, tak mencampuri urusan berkait agama masing-masing,” kata Dwi.
Masak bersama
Sejumlah warga Kristiani dan Muslim Kampung Gunung di Gang Binjai, Kelurahan Alai, Kecamatan Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, biasa masak dan makan bersama setiap perayaan Natal atau Lebaran.
Seminggu sebelum Natal tahun ini, keluarga Albina (62) mulai menyiapkan pohon natal. Ia juga mulai sibuk menganyam daun kelapa menjadi ketupat. Ia dibantu oleh beberapa tetangga, salah seorang di antaranya Muslim, membuat sekitar 100 ketupat. Ketupat dari beras itu akan dibagikan kepada tetangga.
Satu hari menjelang perayaan Natal, Albina dan warga Nasrani lainnya kembali menyiapkan makanan untuk makan bersama warga kampung. Ada dua menu: halal dan nonhalal, yang dimasak dan disajikan secara terpisah. Menu halal dimasak keluarga Muslim di rumah keluarga Muslim. Semua alat dan bahan makanan juga disiapkan oleh keluarga Muslim. Makanan lalu dibawa ke tuan rumah yang merayakan Natal.
Seminggu setelah Natal, keluarga Kristiani kembali membagikan kue-kue kepada keluarga Muslim. ”Kami di sini beda, tapi sudah seperti keluarga sendiri. Jadi, sudah tidak memandang siapa dan apa agamanya,” kata Albina.
”Samua basudara”
Rasa aman dan nyaman juga dirasakan warga gereja GMIM Yarden Singkil Kampung Islam, Manado, Sulawesi Utara. Pada Rabu (14/12/2022), tampak teras rumah warga Kristiani berhias ornamen natal, seperti pohon dan garland natal.
MR Sianturi (59), salah seorang warga, menceritakan, ibadah dan perayaan Natal di wilayah tersebut selalu berlangsung damai. ”Ini tidak terlepas dari moto hidup kami bahwa torang samua basudara,” kata warga Lingkungan I Singkil Satu ini.
Menurut Sianturi, sudah jadi pemandangan umum pemuda Muslim dan Kristen bergantian menjaga ketertiban sekitar rumah ibadah pada hari raya. Ada juga warga sekitar dan saudara Muslim yang datang bersilaturahmi saat keluarganya membuka pintu rumah lebar-lebar pada 25 Desember.
Syahril (50), warga Muslim di Lingkungan I Kampung Islam, samar-sama memiliki kenangan pergi ke rumah teman-teman Kristen saat hari Natal. Ia ingat ke rumah mereka lalu makan kue serta minum minuman bersoda dan lemonade. Teman-temannya akan bergantian pergi ke rumahnya untuk merayakan Lebaran.
”Kondisi memang sudah berubah. Saya pergi merantau dan baru kembali, teman-teman lain juga so pindah ke Jakarta atau tempat lain. Kalau soal saling kirim parsel itu juga saya pernah dengar, tapi orang yang lebih tua yang tahu. Kangen juga,” kata Syahril.
Keluarga Anis Muniaga (75) yang tinggal di depan rumah pak haji malah sering mendapat rezeki. Biasanya, menjelang akhir tahun, tetangganya itu memberikan angpau. ”Dia bagi-bagi ke orang sekitar, termasuk kami, biasanya sekitar Rp 100.000. Memang kebiasaan itu berhenti sejak pandemi, tetapi interaksi masyarakat di sini bagus, silaturahmi ada,” ujar Anis Muniaga yang sedang menemani istrinya, Ellen Masael (66), membuat kue.
Saat Natal, keluarga dari pihak Anis yang beragama Islam di Tateli dan Bailang sering datang. Seharian mereka bercengkerama dan makan kue. Saat akan pulang, Anis membungkuskan kue untuk mereka. Jika saudara Muslim datang, keluarga Anis sengaja tidak masak daging babi. Sebagai gantinya, mereka menyiapkan ikan bakar, sop ayam, ikan goreng, dan ayam tuturuga.
Namun, tradisi saling kunjung saat hari raya di antara warga berbeda agama di desa itu dirasa tidak sehangat dulu. ”Dulu ada semacam arisan. Jadi, kaum Muslim pas Natal kasih kami minum, waktu mereka rayakan Lebaran kami kasih kue. Itu terjadi sekitar tahun 1980-an. Yang biasa lakukan itu so (sudah) meninggal semua,” tutur Ellen.
Ia kangen masa-masa itu, tapi zamannya sudah berbeda.
Perasaan serupa dirasakan Ronny Bogar (75) dan Marie Makaampo (74), warga Lingkungan III Kampung Islam. Pasangan itu menjadi saksi perubahan kondisi sosial Kampung Islam. ”Zaman dulu itu ada saling kirim parsel dari tahun 1960-an sampai 1980-an. Kondisi mulai berubah dari tahun 2000. Tapi, orang-orang tua di sini so banyak meninggal dunia atau mereka punya anak so jual tanah, terus tinggal jauh. Jadi, sekarang kebanyakan warga baru yang tidak tahu kebiasaan itu,” ujar Ronny.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulut Pendeta Lucky Rumopa berpendapat, kearifan lokal dan tradisi perlu kembali digali untuk mempertahankan toleransi antar-umat beragama. FKUB juga menyadari bahaya banjir informasi digital sehingga berusaha memperkuat tokoh agama untuk edukasi.
Sejarawan sekaligus budayawan Universitas Sam Ratulangi, Ivan Kaunang, berpendapat, pergeseran tradisi Natal terjadi akibat perkembangan zaman serta kemajuan ilmu dan teknologi. Dilihat dari perspektif budaya, faktor lain yang membentuk perubahan itu adalah konstruksi negara.
”Contohnya dulu pegawai kantor sudah pulang pukul tiga siang sehingga ada waktu untuk mendidik anak-anak. Sekarang kita seperti mesin karena pulang sampai rumah malam. Kita tidak sempat buat kue bersama, padahal itu ada kaitan dengan ruang privat untuk anak-anak belajar,” kata Ivan.
Meski begitu, tetap ada lagu kebersamaan yang mengalun dari desa-desa seperti di Kediri tadi.