Musisi Punya Rasa, Punya Hati
Sejumlah gitaris, diiringi musisi instrumen lain, menggelar konser amal untuk korban gempa Cianjur. Demi kemanusiaan, mereka bersekutu dan menyumbangkan kebisaannya. Musik jadi sarana untuk berempati.
Puluhan musisi, utamanya gitaris, melupakan sejenak lampu sorot panggung berkilauan demi tampil di acara penggalangan dana korban bencana. Dengan kebisaan yang mereka miliki, mereka tampil di panggung yang terbilang biasa saja untuk berbagi empati. Para musisi ini menunjukkan bahwa mereka juga manusia yang punya rasa dan hati.
“Candil, lu ngerasa, gak, lagu ini mewakili jiwa semua yang tampil di sini, punya rasa, punya hati,” kata gitaris Kongko Cadillac di panggung kepada Candil, mantan vokalis band Seurieus. Yang diajak bicara menimpali, “Kita sih kelihatannya aja garang-garang, begini, ya….”
Kongko Cadillac dan Candil lantas membawakan lagu “Rocker Juga Manusia” yang sudah bisa ditebak ratusan penonton di pelataran Bentara Budaya Jakarta, Palmerah, Jakarta, pada Rabu (7/12/2022) itu. Kongko dan Candil berbagi panggung dengan gitaris Ezra Simanjuntak, Denny Chasmala, Andre Dinuth, basis Wanda Omar, drummer Yandi Andaputra, dan kibordis Yongky Vincent.
Candil tampil dengan dandanan andalannya, berambut palsu kriwil dan bandana seperti rocker era glam rock. Suaranya masih melengking. Bedanya, dia tak sedang tampil di panggung besar dengan lampu yang menyoroti dirinya. Di acara konser amal bertajuk “Gitaris untuk Negeri: Donasi Gempa Cianjur” itu, panggungnya terbilang kecil. Tak ada lampu sorot. Hiasan panggung “hanya” lampu magenta yang menegaskan gurat ukiran kayu rumah pendopo kudus Bentara Budaya Jakarta yang jadi latar.
Penonton duduk di bawah tenda putih yang ditiupi angin semilir kipas angin. Sebagian penonton lainnya duduk di kursi, atau berdiri tanpa atap. Mereka serempak menyanyikan “Rocker juga manusia/punya rasa punya hati/jangan samakan dengan pisau belati//. Malam itu, yang menjadi “manusia” bukan cuma “rocker” saja, tapi juga penonton kebanyakan. Mereka berempati pada korban bencana gempa bermagnitudo 5,6 di Cianjur, Jabar, yang menyebabkan 334 orang meninggal, 593 luka berat, 8 orang belum ditemukan; serta merusak lebih dari 50.000 rumah sehingga memaksa 114.638 orang mengungsi.
Acara yang dimulai pukul 19.15 ini diramaikan oleh sedikitnya 65 musisi Indonesia beraneka instrumen, dan beragam genre. Selain itu ada pula pembacaan puisi oleh Sutardji Calzoum Bachri, Hasan Aspahani, dan Iga Massardi. Sejumlah perupa juga berpartisipasi, antara lain Ilham Khoiri, Ika W Burhan, Diana Dee Mohy, Gihon Nugrahadi, dan Tommy Kurniawan. Semua tampil pro bono, alias gratis, atas nama kemanusiaan. Tata suara panggung juga dipinjamkan oleh DSS Sound System.
Gerak cepat
Gagasan menggelar konser amal ini dipantik Dewa Budjana. Di panggung, gitaris band Gigi ini berujar, para gitaris ini telah beberapa kali menggelar konser amal merespons sejumlah bencana yang pernah terjadi. Mereka pernah berpentas menggalang dana untuk korban bencana gempa di Sulawesi Tengah dan Lombok pada 2018. Mereka berkomunikasi lewat grup percakapan Whatsapp. Pentas pertama terjadi pada 2010 yang digagas Budjana, Baron, dan Piyu gitaris Padi. Pentas berikutnya terjadi pada 2014 yang melibatkan 47 gitaris.
“Grup WA Gitaris untuk Negeri itu masih ada, nggak ditutup. Responsnya (dari anggota grup) cepat. Saya dan Ridho (Hafiedz) memilih Denny Chasmala sebagai music director,” kata Budjana. Selain beranggotakan musisi, grup percakapan itu juga diikuti perwakilan Harian Kompas, Bentara Budaya Jakarta, dan Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas. Budjana melempar ide untuk menggelar konser amal bagi korban gempa Cianjur.
Respons cepat itu lantas dimatangkan bersama Endah Widiastuti, Denny Chasmala, Ridho, dan Kongko Cadillac. Persiapannya sangat singkat. Sekitar satu minggu saja terkumpul 65 musisi yang terdiri dari gitaris, vokalis, pemain drum, basis, dan kibordis. Kesediaan mereka tampil di acara amal ini pantas diapresiasi mengingat jadwal konser dan festival musik sedang ramai belakangan ini. “Kalau acara bencana, semua tidak pernah menolak ikut karena hanya ini yang bisa kami sumbangkan,” kata Budjana, dalam jumpa pers.
Budjana tak cuma menggulirkan ide. Dia juga tampil membawakan lagu yang dia tulis bersama rekan satu bandnya, Armand Maulana, yakni “11 Januari”. Di panggung, lagu itu dinyanyikan oleh Andy, vokalis band rock /rif, yang sedang susah berjalan karena salah satu sarafnya “terjepit”. Saat tiba di lokasi, Andy berjalan ditopang kruk. Di masa /rif berjaya, Andy dan kawan-kawannya kerap tampil glamor dengan pakaian kulit ketat.
Meski kadang meringis menahan sakit, Andy ngotot ikut acara itu. Bagi dia, tampil di acara amal adalah sisi lain sebagai musisi. Dengan musik, dia bisa membantu saudara-saudara yang tertimpa musibah. “Saya merasa, dari musik kita bisa melakukan gerakan-gerakan sosial yang sangat bagus, positif,” ujarnya yang tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan ajakan Budjana. Kebetulan, tanggalnya juga pas.
Memupuk empati
Gitaris kawakan Ian Antono adalah salah satu musisi yang juga tampil Rabu malam itu. Ian “menyumbangkan” lagu “Rumah Kita” yang ia tulis bersama Theodore KS. Di panggung, lagu itu dinyanyikan oleh duet Ipang Lazuardi, dan Tompi, bersama gitaris Tohpati dan Kongko.
Bukan sekali ini Ian terlibat acara amal yang digelar para sesama gitaris ini. Pada 2018 silam, Ian juga ikutan mengumpulkan dana untuk korban bencana, antara lain bersama Andra Ramadhan, Baron, Balawan, Eet Sjahranie, dan Eross Candra.
“Menurut saya, seni itu garda terdepan (untuk kemanusiaan). Apa-apa lebih mengena, apalagi dengan nada dan musik. Mereka (publik) bisa menghayati apa artinya lirik untuk kemanusiaan,” kata Ian. Gitaris God Bless ini menambahkan, “Untuk kemanusiaan, para musisi akan langsung bergerak untuk terlibat. Semoga kegiatan serupa juga bisa dilakukan di tempat-tempat lain,” ujarnya.
Tolong-menolong adalah kata kunci keterlibatan para musisi di acara amal yang jauh dari kesan glamor ini. Ramadista Akbar, gitaris band Nidji, mengutarakan, tampil di acara amal adalah hal terkecil yang bisa dilakukan seorang musisi dan seniman seperti dirinya.
“Seniman, kan, sensitif, ya untuk yang begitu-begitu. Awalnya saya ikut konser yang ketiga (2018) diajak almarhum Baron dan Mas Budjana. Terus, ya setiap ada acara donasi saya selalu ikut. Ini sebagai partisipasi kita. Sekecil apa pun itu, semoga bermakna buat orang yang kita bantu,” kata Rama.
Bagi dia, empati sesama manusia harus terus dipupuk. “Gitaris juga manusia biasa. Saat tertimpa masalah atau terpuruk, pasti juga butuh bantuan. Semoga dengan support ini, saudara kita di Cianjur bisa senyum lagi, bisa hidup tanpa trauma,” kata Rama. Malam itu, Rama tampil membawakan lagu band Nidji, yaitu “Laskar Pelangi” yang bernuansa optimistik.
Lagu “Laskar Pelangi” itu dibawakan bersama gitaris lain, seperti Sonny dari band J-Rock, dan gitaris bergaya fingerstyle Jubing Kristianto. Dalam formasi ini, Jubing adalah anomali. Gitarnya berdawai nilon yang suaranya kalah nyaring dibandingkan senar logam gitaris lainnya. Tapi, penata musik Denny Chasmala cerdik mengatasinya. Jubing diberi porsi main tunggal di awal lagu, yang samar-samar diikuti gitar elektrik besutan Rama, Irvan Borneo, Sony, Andre Dinuth, juga Denny.
Jubing juga kembali dapat porsi di bagian interlude. Meski bunyi instrumennya kalah lantang, senyum Jubing merekah lebar. “Konser kemanusiaan seperti ini memadukan kita semua, termasuk para gitaris dengan genre berbeda-beda. Kita harus bisa mengatasi ego masing-masing di panggung,” kata dia.
Rabu malam itu sudah istimewa sejak acara dimulai. Bagaimana tidak, suara Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri (81) bergetar-getar ketika membacakan puisinya seperti “Gempa Kata” dan “Tanah Air Mata”. Dia sudah jarang tampil di depan publik.
Puisi “Tanah Air Mata” adalah media refleksi dan kritik. Begini petikannya, “Di balik gembur subur tanahmu/kami simpan perih kami/Di balik etalase megah gedung-gedungmu/kami coba sembunyikan derita kami//”
“Akan kita apakan mereka (penyintas bencana)? Apa kita masih begini-begini saja tahun depan? Apa ini akan dibiarkan? Apa tidak ada cara menanggulangi dan meningkatkan mutu hidupnya?” gugat Sutardji sebelum pentas. Di panggung, suara Sutardji tak selantang vokalis rock, tapi punya kekuatan tersendiri ketika membacakan puisinya di bawah gedung bertingkat malam itu.
Kehadiran Kaka, vokalis Slank juga memberi warna penting acara itu. Bersama gitarisnya, Ridho, Kaka yang melelang gitar itu menyanyikan lagu Slank berjudul “Solidaritas” yang sarat pertanyaan. Di ujung lagu, Kaka sedikit mengubah liriknya menjadi “Aku menangis lihat hari ini/Tapi tersenyum tatap masa depan/Mengapa harus tunggu bencana/Baru Indonesia bisa bersatu?//
Pertanyaan Kaka pada lagu itu agaknya sulit dijawab. Yang jelas, ketika lagu terakhir berkumandang, yaitu “Jangan Menyerah” dari band D’Masiv minus vokalisnya, sumbangan terus mengalir.
Nada dan irama dari Bentara Budaya Jakarta malam itu mungkin tak terdengar oleh penyintas gempa di Cianjur. Tapi semoga niat baik para gitaris dan donatur beresonansi kuat ke sana…